Mohon tunggu...
Jumangat Bae
Jumangat Bae Mohon Tunggu... -

Seperti pada umumnya, lebih banyak membaca, sulit menyusun kalimat untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang-orang Kalah di Lebaran

16 Agustus 2012   09:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi mudik lebaran bagi manusia rantau seperti sudah menjadi kwajiban setiap tahun. Setiap orang dengan berbagai suku agama dan ras (sara) berbondong-bondong sambil menggendong buntelan dari berbagai penjuru Indonesia. Mereka mempunyai satu tujuan yaitu kampung halaman, tempat sanak famili dan keluarga besar berkumpul, dari penjuru yang berbeda. Kota-kota besar menjadi sunyi, hampir semua orang migrasi massal untuk beberapa hari sebelum kembali dengan membawa cerita entah suka atau duka.

Anak -anak yang paling senang, mereka bergembira dengan pakaian baru dan tentu saja dengan sangu yang akan didapatkan nantinya. Mercon meletus setiap waktu seperti perang dunia kesekian, juga kembang api. Tapi kegembiraan itu tidak semua orang bisa menikmati. Ada yang mengaggap lebaran ini seperti mimpi buruk dalam perjalanan hidupnya. Bahkan hari-hari menjelang lebaran seperti hari paling galau, cemas yang menyedihkan. Semua karena ketiadaan duit, terbayang sudah dikampung sanak keponakan berwajah anak-anak dengan paras imutnya seakan meminta beberapa lembar rupiah untuk sangu.

Ketakutan itu dialami oleh seorang teman saya yang kebetulan nasibnya kurang beruntung. Dia seorang pengangguran di perantauan, karena suatu sebab dia mengaggur. Senyumnya pupus menjelang lebaran, sebuah tradisi mengharuskannya untuk mudik. Saling meminta maaf pada orang-orang yang dijumpainya lebaran tahun lalu yang sebenarnya belum saling berbuat kesalahan. Lebaran kali ini dia harus menanggung malu, tidak ada angpau untuk anak-anak kecil, tidak ada oleh-oleh dari kota. Bahkan mungkin kali ini dia tidak membawa senyum untuk keluarganya.

Seorang teman saya yang lain hampir sama nasibnya, karena terlalu banyak utang THR-nya harus melayang setelah hanya sebentar di pegangnya. Gaji bulanan yang tak seberapapun mulai berkurang sehingga tidak ada yang bisa diperoleh selain ongkos pulang pergi. Tahun lalu masih sempat dia membelikan oleh-oleh untuk keluarganya. Tapi tahun ini tak banyak yang bisa diperbuat selain hanya mengikuti tradisi mudik. "Mungkin tiga hari lebaran aku sudah kembali ke kota" katanya. Dia tidak ingin berlama-lama dalam penderitaan.

Seorang teman saya yang perempuan memiliki nasib lebaran yang lain. Dia tidak ingin pulang kampung bukan karena tidak ada uang, melainkan diumurnya yang cukup dia belum mendapatkan pasangan. Sementara teman-teman sebaya dan banyak yang dibawahnya sudah memiliki satu atau dua momongan. Tentu saja mereka akan bertanya atau sedikit meledek "kapan menyusul?" pertanyaan yang dianggapnya seperti palu yang berkali-kali menghantam kepalanya. Bagi perempuan lajang seusianya musuh utamanya adalah usia itu sendiri.

Masih saja ada orang-orang kalah di hari lebaran. Tidak semua orang ingin lebaran terlalu cepat datang, ada yang belum siap menghadapainya. Tidak semua keluarga menjadi rukun karena lebaran, dikampung tempat mereka berkumpul selalu ada sedikit persaingan. Si kaya dengan mobilnya datang dan senyum mengembang. Si miskin dengan mindernya berpura-pura tersenyum untuk menutupi kepahitan hidupnya. Mereka bertemu dalam keluarga untuk pura-pura, memainkan perannya masing-masing.

Tiba-tiba aku terpikir "Sebaiknya aku kembali kemasa kanak-kanak". Disitu aku selalu menang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun