Prosa ini adalah bentuk lain dari kata hati seseorang, bentuk lain dari keluh kesah batin, bentuk lain dari gaungan emosi yang tidak sempat terucap.
Asalnya dari suara hati yang tidak pernah ingin didengar, merasa tidak terdengar, atau khawatir tidak akan ada yang mendengar.
Tidak terlalu pelik untuk yang membaca, tetapi sangat sulit diterima untuk yang merangkainya.
Bila mana memori mulai berdatangan. Ramainya bak laron di musim hujan.
Bagiku sekarang, sebuah musik yang berdering, malam dipenuhi bintang dan redup sinar rembulan, setiap sisi jalanan, tempat-tempat bermakna, firasat yang hadir tiba-tiba, kejadian-kejadian de javu yang kian nyata, mengingatkan aku pada satu kenangan indah.
Ya harusnya indah. Namun, sekarang berbeda.
Aku mencoba untuk terbiasa dengan berpikir; sepertinya semua sudah normal.
Namun, beberapa aku coba nyatanya aku belum rela seutuhnya, belum kering sembuhnya, dan belum terima sepenuhnya.
Tulisan tiap tulisan ingin aku sampaikan kepadanya, tetapi semua ini bagai kertas kusam yang khawatir dianggapnya bungkusan yang tiada bermakna.
Tulisan tiap tulisan ini akhirnya hanya mengendap di sini atau di dada yang terkadang berlapang, tetapi keseringan terpaksa menopang.
Lelah letih sudah biasa, dan apakah asing kini telah lebih disukai?
Aku ingin dia yang hilang, tetapi aku tahu dia takkan lagi aku temukan.
Aku ingin dia yang pergi lekas kembali, tetapi itu hanyalah sebuah ilusi
Lalu?
Biarlah aku dan perasaan ini memudar dengan sendirinya atau aku yang harus tumbuh lebih besar dari rasa sakit ini.
Sebabnya, apapun yang terjadi hidup tetap harus berjalan, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H