Kopinya tak kunjung kau seduh, bahkan kau abaikan
Air mata itu terus saja kau beri hak untuk bicara
Sementara lidahmu keluh, tebal dan kaku
Sedangkan bibirmu bak terjahit
Rapuhnya pandanganmu, takut yang terlanjur berbalut rasa kehilangan dan kepergiaan
Sejak matahari mengintip dan berlahan merayu di ufuk timur
Cawan kopi ini tak kau sentuh lagi
Aromanya pun telah tererai diambang keremangan satu lukamu
Luka yang kau coba simpul namun sia-sia terurai dengan derasnya air mata
Roti-roti ini pun hambar sudah dimakan angin
Rasa pahitnya kau telan bulat-bulat
Kau tenggelam dengan pekatnya realitasi yang harus kau utarakan
Berapa kali harus aku kata, tak mengapa!
Bicaralah berlahan..
Ada pundakku untuk berbagi, ada jemariku untuk menemani
Ada mataku untuk kau cari penjagaan, dan ada senyumku juga untuk setia mewajari
Lantas apa yang kau ragu lagi?
Dengan cara bagaimana lagi harus ku yakinkan hatimu yang telah lekat dengan duka nestapa
Siang telah datang, menyambut gerahnya hati yang tak kunjung mau untuk beranjak
Sering kali ingin mulai bicara, tetapi angin membawa serumpunan kata-katamu kembali masuk kedalam ruang gelap
Serut-serut cahaya panas, mulai menghangatkan kopimu lagi
Ah, aku harus gimana?
Kini semilir angin senja pun menyapa
Mencoba hadir diantara kamu, aku, dinding-dinding bambu rumah kecilku dan bunga-bunga si selir keindahan petang
Ianya mencoba memaksamu untuk bicara,
Air mata, kebisuan, keluh, sedih dan resah
Suasana-suasana semacam ini, apa yang kemarin terjadi padamu?
Kau datang dengan tertatih, ku tawarkan secawan kopi pun hingga senja tak kau sentuh
Apakah terlalu pahit kejujuran yang kau bawa
Hingga kopi pun tak ingin kau nikmati lagi?
Seharian ini aku hanya menemani kediamanmu
Ketidakmampuan ku untuk menerka cara unik mu bersedih
Aku tak tau, apakah ada pelekat di kursi tempat kau duduk, hingga lututmu tak mau bergeser
Ataukah kedua bibir bekerja sama dalam keheningan ini?
Aku harap kau tetap baik-baik saja
Meski ku tau secawan kopi kali ini mungkin sedang sejiwa dengan tuannya
Dumai, 04 07 20