Beberapa pertanyaan standar yang diajukan di antaranya, bagaimana perasaan keluarga korban? Apakah ada firasat sebelumnya? Serta sederet pertanyaan sejenis yang diajukan untuk mengaduk perasaan narasumber.
Ia banyak mengutip gagasan yang tertuang dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, jurnalis Kompas.
Intinya, jelas mantan pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan ini, sebagian awak media lebih suka mengeksploitasi cerita traumatik dari para korban dan keluarganya, daripada mengembangkan liputan yang memberi optimisme. Padahal, liputan demikian justru turut memperparah rasa trauma korban.
Pendiri Lembaga Studi dan Informasi Anak (Lisan) ini juga mengeritik media-media yang masih minim melakukan reportase terkait mitigasi bencana. Walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana.
Pemberitaan media massa di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, sejauh ini cenderung hanya marak pada saat kejadian (emergency). Sementara ketika masuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana, maka pemberitaannya pun sepi.
Padahal ketika poses rehabilitasi dan rekonstruksi, liputan para awak media juga sangat dibutuhkan. Satu di antara tujuannya sebagai alat kontrol guna mencegah penyalahgunaan bantuan yang telah disalurkan, baik dari masyarakat maupun pemerintah kepada para korban dan keluarganya.
"Karena itu saya mengusulkan perlu ada semacam buku saku tentang peliputan bencana bagi para jurnalis. Ini agar ada semacam panduan bersama para wartawan yang disepakati terkait liputan bencana," jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini.
PRB
Sementara Muhammad Al Amin, mengawali paparannya dengan menjelaskan definisi bencana menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yakni peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bisa disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Ia juga memaparkan potensi bencana per masing-masing kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Semisal potensi gempa itu rawan terjadi di Kabupaten Bone, Luwu, Lutim, Toraja, dan Enrekang. Bencana banjir paling sering terjadi di Kabupaten Maros, Pangkep, Jeneponto, dan Bulukumba.
Bencana longsor paling rawan terjadi Kabupaten Jeneponto, Sinjai, dan Gowa. Walaupun potensinya minim, tsunami tetap berpotensi mengena Makassar, Pinrang, dan Selayar. Sementara bencana kekeringan rawan terjadi di Maros dan Jeneponto.