Mohon tunggu...
Jumadal Afrizal
Jumadal Afrizal Mohon Tunggu... -

Minat membaca, menulis dan meneliti

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjadi Pemimpin di Saat Krisis

5 Desember 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:00 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik bisa terjadi dalam lingkungan mana saja. Misalnya di lingkungan keluarga. Konflik yang biasa muncul antara anak dengan orang tua. Antara suami dengan istri. Bahkan antara seorang menantu dengan mertua. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara kedua belah pihak yang berkonflik terhadap suatu persoalan. Masing-masing pihak merasa pendapatnyalah yang paling benar.

Di lingkungan kerja pun bisa juga terjadi konflik. Bawahan yang tidak menyukai gaya kepemimpinan atasannya. Ketidakcocokan antara sesama bawahan sehingga terciptalah suasana kerja yang penuh hawa panas. Sedikit saja terjadi gesekan maka api pertikaian pun bakal berkobar membakar jiwa yang penuh amarah. Akibatnya rusaklah manajemen dan sistim kerja yang ada di kantor tersebut. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri tanpa ada saling koordinasi. Tim work yang terbangun pun hanya kompak dan solid diatas kertas sementara pada prakteknya tim yang ada penuh ketimpangan karena tidak semua mau bekerja. Tidak semua orang mau bertanggungjawab dalam pekerjaannya. Apabila bekerja pun tak lebih karena terpaksa dan tertekan. Pekerjaan yang ringan pun terasa berat untuk dilaksanakan karena hilangnya rasa nyaman dalam bekerja.

Bahkan di lingkungan pendidikan pun tidak luput dari hawa konflik. Secara filosofis dalam lingkungan pendidikan setiap orang boleh berbeda dalam berpikir dan mengemukakan pandangannya. Karena dalam dunia pendidikan aspek berpikir adalah aspek paling penting dalam mengembangkan kecerdasan intelektual. Namun tetap saja yang namanya konflik tidak dapat dielakkan. Karena selalu saja ada individu atau kelompok yang tidak dapat menerima perbedaan pendapat. Selalu saja ada pihak yang ingin memaksakan kehendaknya dengan mengabaikan pandangan pihak yang berseberangan cara berpikir dengannya. Selalu saja perbedaan yang tidak bisa dipertemukan harus menjadi musuh yang berhadap-hadapan saling menjatuhkan. Itulah yang terjadi saat ini di dunia pendidikan kita. Akibat cara berpikir yang berbeda dalam memajukan pendidikan justru bisa menciptakan konflik antara kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Mereka harus saling berhadapan untuk mempertahankan pandangan masing-masing. Konflik pun akan semakin seru apabila ada pihak ketiga yang ikut membantu mengompori suasana perpecahan ini.

Pendeknya tidak ada lingkungan yang bisa steril dari konflik. Sebab konflik tidak dapat dihindari karena selama perbedaan itu ada maka di sanalah benih-benih konflik akan selalu muncul. Dalam pandangan agama perbedaan itu adalah sunnatullah. Kalau bisa dikelola dengan baik maka perbedaan yang ada bisa menjadi rahmat yang menguntungkan semua orang. Tapi kalau ditangani secara tidak arif maka kehancuranlah yang akan menimpa kita. Tentu kita tidak menginginkan konflik dapat menyebabkan permusuhan di antara sesama kita. Tinggal bagaimana cara kita mengelola konflik menjadi suatu keadaan yang bisa membawa rahmat bagi lingkungan.

Selama konflik itu bukan konflik bersenjata tapi hanya sebatas konflik pandangan, konflik cara berpikir, konflik akibat salah dalam mengambil keputusan tentu bisa diselesaikan tanpa harus berdarah-darah. Tanpa harus terlebih dahulu memakan korban jiwa yang tak berdosa baru konflik bisa selesai. Tinggal bagaimana memfasilitasi pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk mau duduk bersama dalam satu meja untuk saling beradu argumen memaparkan cara berpikirnya. Biarkan kemarahan itu meledak-ledak. Biarkan tangan memukul meja. Biarkan saja semua kemarahan itu terjadi. Toh semua itu hanya terjadi di belakang meja. Tak ada dampak apapun. Tak akan ada darah yang menetes. Yang mungkin ada hanya hujatan, makian, dan sumpah serapah. Tergantung cara orang dalam menyampaikan pikirannya. Ada orang yang cuma pandai menghujat tanpa pernah bisa melihat sisi baiknya tapi ada juga orang yang santun dalam berbahasa mampu memilah-milah mana yang sudah baik dan mana yang masih perlu pembenahan.

Biarkanlah suasananya seperti air mengalir. Jangan dihambat atau dibatasi bila ada yang terang-terangan menghujat. Apalagi kesantunan yang sengaja dibumbui dengan bahasa yang penuh dengan kata-kata manis untuk menampakkan seolah-olah tak pernah ada masalah. Karena secara psikologis konflik terjadi akibat keluh kesah yang tak didengarkan. Mendengarkan langsung keluh kesah dari orang yang berbeda cara berpikirnya dengan kita tentu saja akan membuat suasana lebih cair jauh dari ketegangan.

Secara normal tidaklah mudah menghadapi situasi ini dimana setiap orang yang berbicara bebas untuk melampiaskan kekesalannya. Tentu dibutuhkan pemimpin yang mampu mendengar dengan baik, sanggup menahan diri untuk tidak marah, dan tentu saja yang paling penting mampu menangkap intisari persoalan yang menjadi penyebab konflik.

Memang tidaklah gampang menjadi pemimpin di saat krisis. Pemimpin yang mampu mempertemukan dua pihak yang saling bertikai karena masing-masing pihak mempunyai cara pikir yang berbeda dalam memandang suatu persoalan. Dibutuhkan pemimpin yang jernih dalam berpikir. Sehingga mampu menangkap akar permasalahan walau sekeruh apapun masalahnya. Ibarat memancing ikan di air keruh tentu sangat sulit tapi dalam saat krisis seorang pemimpin harus mempunyai strategi yang jitu untuk melakukannya.

Di saat krisis seorang pemimpin akan sangat sulit menghadapi pihak yang berselisih paham dengan cara-cara yang arogan. Bila ini dilakukan justru akan menjadi bumerang bagi si pemimpin karena akan dianggap juga sebagai musuh dalam pikiran pihak-pihak yang berseberangan. Seharusnya dalam masa krisis pemimpin harus mampu menjadi mediator yang handal sehingga dapat menghilangkan sikap saling curiga dari pihak-pihak yang berselisih sebab khawatir tidak ada netralitas dalam penyelesaian masalah.

Sejauh mungkin arogansi dihindari dalam setiap penyelesaian masalah sebab arogansi identik dengan kekerasan. Setiap ada masalah maka jalan yang diambil main hantam kromo tanpa peduli terhadap aspirasi. Lebih suka mendikte pihak yang lemah dan menekan pihak yang menentang. Tak ada kompromi. Jika tidak mengikuti kebijakan yang diambil maka bakal ada konsekuensi yang serius. Itulah namanya arogansi kekuasaan. Apabila gaya seorang pemimpin seperti ini maka akan selalu banyak musuh-musuh di sekelilingnya. Walaupun ada teman tak lebih cuma sesaat yang hanya ingin mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dimilikinya.

Sudah cukup jelas bagi kita bahwa seorang pemimpin tidak boleh arogan namun bukan berarti tidak boleh tegas. Ketegasan tetap diperlukan karena ketegasan dengan arogan pada prakteknya adalah dua sikap kepemimpinan yang berbeda. Kalau pemimpin tidak tegas maka akan sangat mudah diombang-ambing oleh para pihak yang berselisih yang selalu ingin mempengaruhi kebijakan yang diambil demi keuntungan salah satu pihak saja.

Padahal yang namanya penyelesaian terhadap suatu persoalan yang terjadi haruslah menganut prinsip “win-win solution”. Artinya tidak ada pihak yang menang atau yang kalah. Kedua belah pihak merasa menang karena dua-duanya tidak merasa dirugikan sebab kebijakan yang diambil benar-benar menyentuh akar permasalahan. Hanya saja mampukah seorang pemimpin mempraktekkan prinsip ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun