Kebebasan informasi dan menyatakan pendapat adalah hak setiap warga negara. Karena hak itu adalah hak dasar bagi manusia sebagai bagian dari Negara yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Namun, kebebasan berpendapat ini seringkali berbenturan dengan pasal-pasal defamasi (pelanggaran pidana pencemaran nama yang dilakukan secara lisan maupun tulisan) di Indonesia yang mengkhawatirkan bagi iklim demokrasi.
Kasus-kasus yang sering terjadi dan menjerat warga negara atas tuduhan pencemaran nama (defamasi) ini semakin marak ketika jatuhnya Orde Baru pada Mei 1998. Kalau kita ingat sebagai contohnya yang terjadi pada Muhammad Arsyad, Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) pada tahun 2014 silam karena dianggap mencemarkan nama baik Nurdin Halid lewat status BlackBerry Messenger yang menyebutkan bahwa Nurdin Halid sebagai koruptor.Â
Dalam UU ITE, keadilan justru bukan sebagai tujuan melainkan sebagai bentuk aksi balas dendam, barter kasus, pembungkaman kritik, shock therapy, dan persekusi ekspresi. Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan merupakan delik biasa melainkan pemahaman ini harus dilihat pada 2 hal yaitu segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis.
Seperti yang terjadi belakangan ini, pasal defamasi seringkali dipakai sebagai 'senjata' pemangku kekuasaan untuk menghindari kritik agar mereka dapat dengan tenang menjalankan segala kepentingannya. Hak menyatakan pendapat seharusnya dipenuhi dan dilindungi dari berbagai intervensi pemangku kepentingan. Lantas jika kebebasan berpendapat ini berbenturan dengan pencemaran 'nama', sampai manakah batasnya? Apakah ada unsur objektif dan tidak terlalu 'kabur' untuk menjelaskannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H