Mohon tunggu...
Julius Valenza
Julius Valenza Mohon Tunggu... -

Hanya pembaca, belum terlatih menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Menerka Babak Ekstrim dalam Kisruh Sepak Bola Nasional

14 Januari 2012   05:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam kenal Kompasianer, sudah terlalu lama rupanya penulis menjadi pembaca pasif di berbagai forum, akhirnya penulis tidak tahan juga untuk beropini lewat karya tulisan di kompasiana. Penulis sadar bahwa saya belum punya kemampuan jurnalistik sehebat para penulis lainnya, oleh sebab itu penulis akan membuat sebuah opini saja.

Prolog, PSSI vs KPSI (3-0)

Andaikan kisruh sepakbola nasional saat ini diibaratkan sebagai pertandingan sepakbola, maka PSSI saat ini sudah memimpin 3 gol dari KPSI. Uniknya, KPSI memegang bola jauh lebih banyak daripada PSSI, tetapi KPSI ternyata kurang lihai. Tidak ada satupun bola yang ditembakkan mengarah ke gawang, bahkan lebih banyak gol bunuh diri tercipta akibat visi bertanding yang salah. Gol pertama adalah surat FIFA yang menyatakan bahwa liga di luar yang diakui PSSI (dalam hal ini ISL) adalah liga ilegal. Meskipun banyak pihak dari KPSI berusaha bertahan sekuat tenaga menghadang bola ini, ternyata gol ini tidak bisa dicegah ataupun dianulir. Gol kedua terjadi akibat penolakan tegas KONI dan BOPI mengenai kasus Diego Michiels (saya tunggu sunatannya Pak Lalu Mara, nazar itu pertanggung-jawabannya ke Yang di atas), serta dilepasnya dukungan mereka terhadap KLB versi KPSI. PSSI melengkapi keunggulan mereka dengan melesatkan tendangan yang keras hasil permainan "sabar" dan "besar hati" pada menit-menit akhir, hingga terciptalah gol ketiga yang terjadi dari hasil verifikasi jumlah anggota yang menginginkan KLB yang ternyata kurang dari 2/3.

Serangan Balik KPSI

Selayaknya seorang pejuang, KPSI tidak mau tinggal diam. Beragam tektik sudah dicoba untuk menyamakan kedudukan, tetapi tidak kunjung berhasil. Alhasil cara ekstrim pun ditempuh, daripada kalah memalukan dengan skor telak, lebih baik buat kerusuhan saja hingga pihak yang berwenang menghentikan pertandingan ini dan keunggulan PSSI yang sudah ada sirna. Syukur-syukur pihak ofisial itu mau membuat pertandingan ulang dgn skor awal tentu 0-0 (semacam komite normalisasi di bawah Agum Gumelar), tapi kedua tim dinyatakan sama-sama kalah dan pertandingan dibubarkan tampaknya bukan pilihan yg buruk saat ini (pembekuan PSSI oleh FIFA). Toh sama2 tercoreng arang mukanya, tidak jelas siapa yg menang. Kami kan (KPSI) sudah kalah telak dan kemenangan tampaknya sulit dicapai dgn cara normal, daripada PSSI yg menang, mending sama-sama kalah aja.

Seperti perumpaan di atas, KPSI tampaknya sudah kehabisan akal dalam menghadapi PSSI. Beragam serangan sudah dilakukan KPSI, tetapi hasilnya malah gol bunuh diri. Seperti kehilangan akal, KPSI lantas meminta bantuan DPR (yg jelas-jelas parlemen negara, kekuatan politik) untuk ikut campur dalam kisruh sepakbola nasional. Kayaknya KPSI lupa kalau keikutsertaan DPR dalam kisruh ini dapat berakibat sanksi dari FIFA, saya pun jadi bingung ini penyelamat atau perusak sepakbola nasional? Tapi marilah kita kaji, apa sih yg mendasari KPSI melakukan hal itu? Meminta bantuan DPR, bisa saja bermaksud "mulia". Berikut sejumlah kemungkinan yang bisa terjadi apabila DPR benar2 turut campur dalam kisruh sepakbola nasional.

Skenario 1: FIFA mengulang kebijakan era revolusi kemarin

Mungkin KPSI berpikir bahwa FIFA itu sangat adil dan baik hati. Berkaca dari pengalaman sewaktu era Nurdin Halid dilengserkan, intervensi pemerintah dalam hal turut campurnya Menpora ternyata hanya disikapi dgn pembentukan komite normalisasi, dan bukan sangsi pembekuan PSSI. Hal ini mungkin mendasari mereka, kalau saja ada intervensi lagi dari pemerintahan dalam hal ini adalah dari DPR, maka FIFA akan mencap Djohar Arifin tidak pantas memimpin PSSI dan kembali membentuk komite normalisasi. Seandainya skenario ini yg terjadi, keunggulan 3-0 PSSI akan kembali menjadi 0-0. Siapa yg tadi hitam akan jadi abu-abu dan siapa yang tadi putih juga akan jadi abu-abu. KPSI akan semakin mudah dalam melangkah dan pihak penggagas revolusi akan semakin terdesak (perjuangan melawan lupa).

Skenario 2: PSSI kena sangsi pembekuan oleh FIFA

Skenario ini seperti yang ditakutkan oleh banyak pengamat sepakbola nasional. Indonesia kena sangsi pembekuan oleh FIFA dan tidak dapat mengirimkan timnasnya ke kompetisi FIFA manapun (piala dunia, piala Asia, Piala AFF). Indonesia juga tidak bisa mengirimkan klub-klubnya ke kompetisi klub Asia seperti LCA dan hanguslah slot 1 klub kita (hasil kerja keras PT LI) di LCA yg sebenarnya adalah bentuk rasa kasihan dari AFC.

Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Nah, skenario ini bisa bercabang lagi menjadi 2.

Skenario 2a: KPSI menggerakkan "rakyat" Indonesia dan melengserkan Djohar Arifin, dkk

Rakyat akan sangat-sangat marah, lalu menyalahkan PSSI atas pembekuan ini. KPSI memanfaatkan kesempatan ini untuk menggerakkan rakyat dan menurunkan Djohar Arifin, dkk dari kepengurusan PSSI. Orang-orang KPSI akan mengkudeta PSSI dan menjalankan kompetisi sesuai "kehendak rakyat". Transparansi dan akuntanbilitas kembali dihilangkan, audit diremehkan (mana ada pemimpin perusahaan yg lupa nama auditornya? Entah karena auditornya super ga jelas atau jangan2 arena mmg tidak pernah ada?), APBD digunakan kembali dalam sepakbola nasional, celah korupsi menjadi terbuka kembali, "pembinaan instan" ala PSSI lama dibangkitkan kembali. Setelah sangsi FIFA dicabut (mungkin 2-4 tahun kemudian), saya ga yakin pengurus yg telah gagal membina pemain kita selama 8 tahun akan mampu menciptakan keajaiban setelah sangsi tersebut dicabut.

Skenario 2b: Rakyat sadar bahwa KPSI-lah yg menghancurkan, bukan PSSI, KPSI di-"lengser"-kan rakyat

Rakyat sadar, bahwa yg membuat PSSI dibekukan oleh FIFA bukanlah ulah PSSI itu sendiri, melainkan KPSI. Siapa suruh KPSI ajak-ajak DPR dalam kisruh sepakbola nasional? Seperlu itukah KPSI mengajak DPR? Kok KPSI bawa-bawa unsur politik yah, padahal uda jelas olahraga ya olahraga jangan dipolitisasi, kok ajak DPR, bukannya lebih ajak FIFA ato AFC yah? Bisa apa DPR dibanding FIFA ato AFC? Apa tidak ada cara lain? Rakyat menjadi terbuka matanya dan sadar kalau selama ini KPSI-lah yg membawa sepakbola kita ke jurang kekelaman.

Rakyat selanjutnya melengserkan KPSI dan mengembalikan amanat sepakbola ke tangan PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin. Apakah bangsa ini mengalami kerugian? Ya, mungkin kita merugi, tapi tidak ada salahnya merugi sedikit di awal untuk mendapat keuntungan besar di akhir. Sepakbola akhirnya tidak semenarik dulu bagi lahan politik. Pak Djohar Arifin bisa fokus membina pemain muda tanpa adanya goncagan dari luar. Toh sekalipun PSSI dibekukan, latih tanding persahabatan antar negara masih bs dilakukan. Liga kita pasti akan turun pamornya, pemain asing malas main di Liga Indonesia. Apa itu kerugian? Tidak juga. Kalau mau jujur, penambahan pemain asing belum tentu meningkatkan kualitas sepakbola nasional. Banyak pemain asing digaji sangat tinggi, tapi kemampuannya biasa-biasa saja, suka rusuh di lapangan, dan kelakuannya di luar lapangan juga buruk. Jadi ga rugi-rugi amat kehilangan mereka.

Pelan-pelan kita belajar sepakbola yg profesional dan mandiri, hingga suatu hari liga kita mampu lebih baik daripada liga Thailand (berdasarkan AFC) dan bahkan Liga Jepang! Ketika sangsi FIFA dicabut, saya yakin, apabila sepakbola kita dikelola sebagai sebuah olahraga dan bukan kendaraan politik, kita akan mengalami kemajuan pesat 2-4 tahun mendatang. Sepesat apa? Ya, tidak sampai mengalahkan Jepang atau korsel, tapi bisa lah ya mengangkangi Vietnam dan Thailand? Haha..

Penutup

Opini di atas hanya suatu bentuk pemikiran kalau-kalau saja sangsi FIFA jatuh akibat blunder KPSI ynang membawa DPR ke ranah olahraga.

Maaf bila ada salah kata, saya baru belajar menulis. Bila ada yg ingin didiskusikan, silahkan saja diutarakan. Penulis awalnya netralmania (ga suka Liga Indonesia, cuma suka timnas, sukanya liga inggris), tapi ternyata kita ga bisa netral dalam kisruh sepakbola saat ini. Cuma ada 2 pihak, putih (PSSI) atau hitam (KPSI). Mana yang ANda pilih? Netral artinya cuek dan tutup mata akan kisruh ini. Saya sih, pilih yg benar saja.

Maju terus sepakbola Indonesia!

Revolusi masih belum selesai, mari berjuang melawan lupa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun