Budi Waseso Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Budi Waseso mengancam mundur dari jabatan jika Kementerian Sosial (Kemensos) mengambil alih 100 persen penyaluran beras untuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tanpa melibatkan Perum Bulog.
Namun sikap tersebut menuai sorotan dari banyak pihak.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang komaruddin, menilai bahwa semua program pemerintah seharusnya bisa dibicarakan di internal pemerintahan terlebih dahulu agar tidak menjadi kontroversi di masyarakat.
Jika terus ribut, ini akan memperlihatkan seakan koordinasi dan komunikasi diantara kementerian ini jelek. Efeknya, citra pemerintah dan Presiden Jokowi pun menjadi tercoreng.
Lalu apa sebenarnya yang diributkan oleh Buwas, hingga mengancam mundur dari Dirut Bulog?
Jawabannya adalah perubahan kebijakan pengalihan dari bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Â Semula bansos rastra sebagai tempat penyaluran beras yang diserap oleh Bulog, namun ketika BPNT diterapkan Bulog tidak dilibatkan. Hal ini otomatis membuat beras di gudang Bulog akan menumpuk dan tinggal menunggu kerusakan saja.
Jadi wajar jika Buwas menjadi berang dan keluar naluri kepolisiannya. Buwas tidak ingin beras hanya dijadikan permainan bisnis segelintir pihak untuk mengeruk keuntungan. Ia ingin walaupun kebijakan bansos rastra diubah menjadi BPNT, namun harus tetap melibatkan Bulog. Ia ingin pemerintah benar-benar hadir ditengah masyarakat dalam bentuk campur tangan. Dimana bansos rastra yang identik dengan intervensi pemerintah akan coba digantikan dengan BPNT yang kental dengan mekanisme pasar.
Akhirnya pemerintah mulai menyadari ada kekeliruan dalam kebijakan perberasan nasional yang selama ini ditempuh. Menteri Sosial Agus Gumiwang di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (4/7/2019) mengatakan akan mempercayakan penyaluran beras BPNT ke masyarakat kepada Bulog. "Kemensos siap memberikan 100 persen beras BPNT kepada Bulog untuk disalurkan kepada masyarakat, Bulog tak hanya akan diberi tugas menyalurkan beras BPNT ke daerah terpencil, tapi juga ke tempat yang mudah dijangkau.
Selain itu, Mensos juga yakin beras yang dimiliki Bulog berkualitas baik. Ia juga menunjuk Bulog, yang akan berperan sebagai manajer supplier terhadap distribusi beras di e-Warung setiap wilayah. Â Â
Sebuah langkah yang sangat tepat. Para akademisi serta pengamat pertanian sudah beberapa tahun yang lalu mengingatkan akan dampak yang ditimbulkan. Mereka menginginkan pemerintah mengkaji sebuah kebijakan supaya lebih komprehensif. Tidak hanya mengkaji pada sisi kebebasan masyarakat penerima manfaat dalam membeli, namun juga harus mengkaji dampaknya terhadap kebijakan perberasan nasional secara keseluruhan.
Kebijakan perberasan nasional sebelum diberlakukan BPNT sudah terintegrasi dari hulu ke hilir bagaikan sebuah puzzle. Namun ketika BPNT dilaksanakan, maka susunan puzzle kebijakan perberasan nasional menjadi berantakan. Â Bulog selaku lembaga yang bertugas menyerap dan mengamankan harga gabah ditingkat petani kesulitan untuk menyalurkan berasnya.
Dampaknya sudah semakin kentara dan terang benderang. Beras yang diserap Bulog akan menumpuk di gudang, lama kelamaan menjadi rusak dan tugas Bulog yang lebih besar selanjutnya seperti menstabilkan harga ditingkat konsumen dan petani tidak akan tercapai. Itulah latar belakang, Budi Waseso menegaskan akan mundur jika penyaluran beras selama ini diambil alih oleh Kementerian Sosial.
Buwas juga menyinggung bahwa hendaknya beras bantuan sosial janganlah dijadikan proyek bisnis. Dia juga menegaskan bahwa penyalurannya ini jangan berpihak kepada mereka yang menjadikannya sebagai lahan mencari keuntungan. Secara tidak langsung, Buwas mengkritik pedas kebijakan BPNT yang kental dengan aroma mekanisme pasar. Ia menginginkan pemerintah tidak abai terhadap kebijakan yang menyangkut kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Kebijakan perberasan seharusnya memang perlu dikontrol oleh pemerintah, bukan dibiarkan membentuk keseimbangannya sendiri. Argumentasi pemerintah mengalihkan program Rastra menjadi BPNT sangatlah lemah dan terkesan tidak memikirkan dampak lanjutannya yang lebih besar. Â
BPNT dan Dilemanya
Beberapa argumentasi keunggulan BPNT yang didengungkan pemerintah sebenarnya banyak yang sudah dipatahkan oleh para pengamat. Namun waktu itu, Kemensos tetap saja tidak meyakininya sembari melakukan uji coba pada 44 kota pada tahun 2017, dan bertahap agar menjadi 100% di tahun-tahun selanjutnya.
Disisi yang lain, pemerintah juga sudah secara langsung mengungkap kelemahan dari program BPNT. Namun kelemahan ini dianggap biasa-biasa saja dan merupakan hal wajar. Padahal justru hal inilah yang akan menimbulkan polemik di masa yang akan datang. Â Berikut beberapa pernyataan mengenai BPNT dari pemerintah beserta argumentasi dari pengamat yang mementahkannya. Â Â
Pernyataan pertama, "kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mampu mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong". Argumentasi yang mematahkannya adalah bahwa stabilisasi harga sangat dibutuhkan negeri ini dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya. Beras merupakan makanan pokok yang sangat powerfull dan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokomotif kenaikan harga pangan lainnya.Â
Semua pasti ingat dan mengetahui bahwa beras merupakan golongan bahan makanan yang sangat besar menyumbang inflasi. Ingatkah krisis 1998, gara-gara inflasi super tinggi, harga pangan meroket, 10 juta orang kehilangan pekerjaan hingga memicu kerusuhan sosial berupa penjarahan dimana-mana. Selain itu jangan kita lupakan juga peristiwa tritura tahun 1966, serta runtuhnya Uni Sovyet karena langkanya pangan yang memicu tingginya harga.
Pernyataan kedua "kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan. Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra"
Argumentasi yang mematahkannya adalah bahwa inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang sudah terungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum tepat untuk diimplementasikan di Indonesia.Â
Pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya dijadikan panduan.
Membiarkan masyarakat bebas membeli beras pada harga tingkat pasar adalah sangat riskan. Ditinjau dari teori ekonomi, uang Rp 110.000/bulan akan dilihat para pedagang sebagai peningkatan pendapatan yang identik dengan tingginya permintaan. Permintaan yang tinggi dari eks masyarakat penerima bantuan beras rastra akan diartikan para pedagang sebagai peningkatan daya beli. Konsekuensinya, tentu permintaan yang tinggi pasti akan dibarengi dengan peningkatan harga jual. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kenaikan harga beras tanpa diketahui asal pemicunya.
Hal ini bisa saja disebabkan; Pertama,terjadi pergeseran selera penerima BPNT dimana selama ini mengkonsumsi beras medium ke beras premium. Harus kita ingat, bahwa beras premium lah yang menjadi biang keladi kenaikan beras medium. Semua ini bisa saja terjadi, karena mereka menganggap uang yang mereka terima cukup memadai untuk membeli beras premium serta bisa saja dalam pikiran mereka masih ada stigma yang melekat "kalau nasinya enak, maka tidak ada lauk juga tidak apa-apa". Kedua; adanya mafia pangan yang sengaja bermain untuk mengatur pasokan beras sehingga harga terus naik sesuai dengan yang mereka inginkan. Ini sudah dibuktikan, dengan penggerebekan yang dilakukan oleh satgas pangan.
Dengan fakta diatas, sehingga sangat riskan jika apa yang saya asumsikan benar-benar terjadi, yaitu peralihan selera konsumsi dari beras medium ke beras premium. Karena, tidak ada pihak yang bisa memantau dan yang bisa melarang penerima BPNT, agar tetap mengkonsumsi beras medium. Jika mereka ikut-ikutan mengkonsumsi beras premium (daya beli semu), konsekuensinya juga harus mereka terima.Â
Di mana pada tingkat ini, konsumen tidak perduli dengan harga beras berapapun harganya. Ujung-ujungnya uang tersebut semakin tidak mencukupi dan sedikit sekali untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok.
Padahal secara gizi, tidak ada beda antara beras premium dengan beras medium. Perbedaan harga ini hanya berdasarkan mutu fisik saja. Sehingga, justru tujuan awal BPNT agar masyarakat mendapatkan gizi beragam dan berimbang, malah sebaliknya.Â
Masyarakat penerima BPNT menderita kurang gizi bisa saja terjadi, jika tetap dibiarkan membeli harga beras semaunya. Bagaimana jika mereka benar-benar kurang gizi...? rantai setan perangkap rawan pangan sudah menunggu. Akibat gizi kurang, kerja tidak semangat, anaknya menjadi tidak fokus belajar, ujung-ujungnya produktivitas dan prestasi rendah.
Pernyataan ketiga "kita juga enggak tahu, bisa jadi itu dipakai buat beli yang lain". Argumentasi yang mematahkannya adalah andaikata kartu BPNT digunakan untuk membeli yang lain seperti ditukar rokok, pasti sudah bisa dibayangkan. Bahaya rokok tidak hanya menimpa kepala keluarga namun juga berbahaya bagi kesehatan keluarga mereka sendiri dan lingkungan sekitar. Niat baik pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan justru berbalik dengan mengeluarkan biaya subsidi pada rumah sakit untuk pengobatan.
Dari hulu, Bulog tetap melakukan penyerapan gabah beras petani, di sisi hilir Bulog tetap menyalurkan beras kepada masyarakat miskin. Dua tugas yang dahulu tidak saling mendukung, sekarang bisa terhubung kembali dalam satu rantai.
Dengan demikian, kebijakan perberasan nasional yang agak mulai terganggu akan kembali normal dan tertata. Tidak adalagi kekhawatiran akan adanya gangguan pada sisi hilir. Sekaligus ini juga membuktikan keberpihakan pemerintah pada seluruh komponen masyarakat Indonesia.
*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H