Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Tafsir Surplus Beras 2.8 Juta ton

30 Oktober 2018   14:29 Diperbarui: 30 Oktober 2018   14:51 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teka-teki apakah negeri ini benar-benar surplus beras, akhirnya terungkap juga. Badan Pusat Statistik yang sudah tiga tahun puasa data akhirnya berani mengeluarkan hasil perhitungannya. Sudah bisa ditebak, angka hasil release BPS pasti jauh berbeda dengan milik Kementerian Pertanian (Kementan).

Perbedaan data hasil release BPS mengenai produksi beras di Indonesia dengan Kementerian Pertanian, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejumlah pengamat dari awal banyak yang meragukan optimisme Kementerian Pertanian yang mengatakan kita surplus beras walaupun ditengah cuaca ekstreem.

Keadaan ini semakin membuat publik bertambah bingung lagi, tatkala Kementan mengatakan akan berencana mengekspor ke Malaysia.

Padahal faktanya, kondisi tersebut seakan bertolak belakang dengan fakta yang ada saat itu. Dimana, di tahun 2017 terjadi sejumlah paradoks yang antara lain kontroversi pemberlakuan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, situasi hujan yang terus melanda yang menyebabkan kualitas gabah beras tidak baik, kekosongan stock beras medium hingga pembentukan satgas mafia pangan.

https://indonesiana.tempo.co/read/119240/2017/11/15/romadhonjulkhaidar/ekspor-beras-mimpi-atau-nyata

Hasil Release BPS

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan Indonesia mengalami surplus beras 2.85 juta ton selama 2018. Surplus tersebar di beberapa sektor, seperti di 14,1 juta rumah tangga produsen dan sekitar 47 persen stok ada di pinggilingan, pedagang, dan beberapa sektor lain.

Selain itu, juga dijelaskan bahwa terdapat pembaruan informasi terkait luas lahan bahan baku sawah pada 2018. Data terbaru menunjukan luas bahan baku sawah saat ini mencapai 7,1 juta hektar yang dihitung menggunakan metode KSA, maka luas panen padi pada 2018 diperkirakan 10,9 juta hektar.

Dari hasil panen tersebut, produksi padi dalam bentuk GKG diperkirakan sebanyak 56.54 juta ton atau setara dengan 32.42 juta ton beras. Sementara angka konsumsi beras rata-rata per provinsi pada 2017 sebesar 117.58 kg per kapita per tahun atau setara total konsumsi 29.50 juta ton secara nasional. Jadi, dari perhitungan tersebut Indonesia mengalami surplus beras 2.85 juta ton selama 2018.

(https://kilaskementerian.kompas.com/kementan/read/2018/10/23/172200726/tahun-ini-indonesia-surplus-beras-2-85-juta-ton-ini-kata-pengamat-).

Dari beberapa pernyataan diatas, ada beberapa poin penting yang patut menjadi perhatian bersama. Pertama, dari hasil release BPS dikatakan surplus 2,85 juta ton didapat dari pengurangan produksi beras 32,42 juta ton beras dikurangi angka konsumsi beras rata-rata per provinsi pada 2017 sebesar 117,58 kg per kapita per tahun atau setara total konsumsi 29,50 juta ton secara nasional.

Sekedar informasi saja, sebenarnya untuk menyatakan bahwa negeri ini surplus dan tidaknya, ditentukan oleh dua faktor. Faktor penentu tersebut yaitu angka total produksi dan konsumsi. Angka produksi didapat dari perkalian luas areal panen yang dikalikan produktifitas panen per hektar. Sedangkan angka konsumsi didapatkan dari angka-angka berdasarkan survey berbagai lembaga baik BPS dan Kementan.

Sebelum BPS merelease berdasarkan metode terbaru yaitu Kerangka Sampling Area (KSA), kita lihat dulu beberapa pernyataan pejabat Kementan dengan optimisme tinggi yang mengatakan bahwa negeri ini sudah surplus beras dari awal tahun.

Pernyataan pertama seperti dikutip dari halaman kompas.com. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi mengklaim ketersediaan beras nasional di tiga bulan awal 2018 dalam kondisi yang aman. Agung berujar, berdasarkan data Kementan dari proyeksi luas panen bulan Januari hingga Maret 2018, diprediksi ketersediaan beras nasional dalam batas aman bahkan mengalami surplus beras. "Ketersediaan beras nasional selama Januari 2,8 juta ton, Februari 5,4 juta ton dan 7,4 juta ton Maret," ujar Agung melalui keterangan resmi, Kamis (25/1/2018).

(https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/25/112632426/kementan-klaim-januari-maret-2018-indonesia-surplus-beras).

Pernyataan kedua dapat dilihat di tribunnews.com. Dimana menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang ada. "Jika dibandingkan dengan luas tanam tahun 2018 periode Januari-Agustus seluas 10.079.475 hektar, dampaknya masih kecil, yaitu 1,34% atau 135.226 hektar (http://www.tribunnews.com/nasional/2018/08/29/kementan-optimistis-produksi-padi-terjaga-saat-kemarau.)

Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika berdasarkan data Kementan artinya surplus 2.8 juta ton hanya di bulan Januari saja. Sehingga wajar dengan optimisme data tersebut mereka berani memakai angka konsumsi yang lebih tinggi dari BPS yaitu 124 kg per kapita. Tidak hanya disitu, Kementan juga tidak mengkhawatirkan dampak kekeringan pengaruhnya terhadap luas tanam padi yang ada. Bahkan mereka masih menyangsikan angka ramalan dari BPS, dan masih menunggu angka resmi atau angka tetap dari BPS.

Untuk menilai permasalahan diatas biar lebih objektif, sebaiknya kita gunakan kombinasi dari dua instansi tersebut. Angka produksi kita pakai dari BPS sedangkan angka konsumsi kita pakai dari Kementan sebesar 124 kg per kapita.

Angka produksi menurut ramalan BPS adalah 32,42 juta ton sedangkan jika kita memakai angka konsumsi Kementan, maka angka total konsumsi rakyat Indonesia sebanyak 250 juta jiwa adalah 31 juta, sehingga Indonesia surplus 1,42 juta ton. Namun jika kita memakai angka BPS pada tahun 2011 sebesar 139 kg per kapita per tahun, maka konsumsi menjadi 34.75 juta ton dan artinya terjadi defisit sebesar 2,2 juta ton.

Berdasarkan angka tersebut, sebenarnya surplus yang diperkirakan sebesar 2.8 juta ton sangatlah tidak aman. Disana pasti terdapat nilai error dan biasnya, karena sekali lagi, data yang digunakan untuk memperkirakan produksi beras adalah berdasarkan sampel, sedangkan data konsumsi berdasarkan survey. Sehingga kemungkinan besar kesimpulan prediksi surplus sangatlah tipis dan kemungkinan besar bisa bergeser menjadi defisit jika memakai angka 139 kg per kapita.

Pertanyaannya sekarang, mengapa kita harus memakai angka 139 kg per kapita? Setelah tahun 2011, BPS memakai angka konsumsi beras penduduk turun menjadi 117,58 kg per kapita. Menurut BPS, penurunan terjadi karena terjadi pergeseran di masyarakat dari mengkonsumsi beras menjadi mengkonsumsi mie yang berbahan dasar terigu.

Pergeseran ini diakibatkan karena terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini wajar, mengingat harga sebungkus mie yang dapat dikonumsi 1 orang, sama dengan harga seperempat kilo beras yang dapat dikonsumsi oleh 4 orang.

Angka konsumsi 139 kg per kapita sangat relevan lagi kita pakai, jika mengingat kondisi ekonomi sekarang dimana 1 dollar US setara dengan Rp 15.000. Tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap harga mie instant yang kemungkinan akan naik, mengingat bahan baku dari 100 persen terigu yang diimpor dari amerika. Sehingga pada akhirnya, masyarakat Indonesia akan kembali ke fitrahnya untuk mengkonsumsi nasi.

Kedua, surplus 2,85 juta ton tersebar di beberapa sector yaitu 14,1 juta rumah tangga produsen dan sekitar 47 persen stok ada di pinggilingan, pedagang, dan beberapa sektor lain.

Poin kedua ini menjadi poin yang sangat penting untuk kita cermati bersama. Surplus yang ditafsirkan penulis tadi bahwa sangatlah tipis bahkan bisa menjadi defisit, ternyata diperparah stocknya sebagian besar berada di penggilingan dan pedagang. Gangguan sedikit yang terjadi pada harga beras, akan membuat harga beras semakin naik dan harganya tidak terkendali.

Kondisi ini semakin riskan dan menjadi sangat berbahaya ketika pemilihan presiden (pilpres) sudah di depan mata. Biasanya tensi politik yang tinggi, akan semakin tinggi ketika Negara dalam kondisi rawan pangan dan tidak memiliki cadangan pangan nasional.

Poin ke dua ini sebenarnya juga menjawab kebingungan selama ini, mengapa harga beras selalu naik dan tidak kunjung turun. Hal ini disebabkan karena stock terbesar berada ditangan pedagang, penggilingan bukan ditangan pemerintah.

Tafsir Surplus 2.8 Juta ton

Pemerintah pada tahun 2019 akan melaksanakan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), yang seratus persen menganut system mekanisme pasar. Artinya, pemerintah membiarkan masyarakat bebas membeli beras di pasar sesuai dengan tingkatan harga beras di pasar.

Angka 2.8 juta ton akan ditafsirkan sebagian besar pedagang "nakal" sebagai patokan akan tipisnya cadangan beras pemerintah.

Apalagi BMKG sudah memprediksi akan adanya gangguan cuaca ekstreem yang akan mengakibatkan produksi beras turun. Hal ini semakin membuat pedagang memasang strategi untuk menahan stock beras agar harga beras semakin tinggi. Mereka tentu sangat hapal betul dengan hukum ekonomi yang mengatakan harga barang akan naik jika barang di pasaran langka sedangkan permintaan tetap.    

Banyak pihak yang menyarankan agar Kementan melakukan evaluasi kinerja besar-besaran di jajarannya. Seharusnya para pejabat Kementan mundur dari jabatan, sebagai bentuk tanggung jawab moral. Bahkan ada juga pihak yang menyarankan agar BPK melakukan audit terkait anggaran besar yang digelontorkan namun hasilnya tidak signifikan. Bahkan ada juga yang menyarankan agar KPK masuk untuk memeriksa ada tidaknya penyelewengan anggaran yang terjadi.

Namun terlepas dari itu semua, banyak hikmah yang bisa dipetik dari gonjang-ganjing surplus 2.8 juta ton. Pemerintah seharusnya semakin menyadari disinilah arti pentingnya campur tangan pemerintah dalam kebijakan perberasan. Pemerintah harus sadar bahwa pangan yang menyangkut hidup orang banyak tidak bisa dilepaskan saja ke dalam mekanisme pasar bebas.

Kebijakan perberasan yang dimaksud adalah kebijakan BPNT seperti yang sudah djelaskan diatas. BPNT yang sangat tendensi terhadap mekanisme pasar bebas sangat rawan untuk diterapkan pada kondisi seperti sekarang.  

Pemerintah sekali lagi harus berhitung dengan cermat dan tepat. Jika BPNT tetap dilaksanakan seratus persen pada 2019, maka terlalu besar pertaruhan yang akan diambil. Tetap menjalankan program rastra adalah pilihan tepat daripada menerapkan konsep yang belum tentu berhasil. Untuk mengemban tugas tersebut, sudah barang tentu harus ada lembaga pangan yang kuat untuk mengaturnya.

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun