Ombudsman selaku lembaga pengawas kebijakan publik memberikan sejumlah rekomendasi terkait kisruh antara Dirut BULOG dan Menteri Perdagangan terkait impor beras. Lalu apa masukan Ombudsman?
Lembaga ini mengatakan bahwa kebijakan perberasan semakin tak menentu semenjak program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) menggantikan rastra. Ini juga menggambarkan bahwa sampai dengan sekarang kebijakan perberasan dari hulu ke hilir belum terintegrasi. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa program BPNT lah sebagai biang kekisruhan antara Buwas selaku Dirut BULOG dan Enggartiasto selaku Menteri Perdagangan?
(Ombudsman Minta Presiden Tegur Jajarannya)
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial serta untuk mendorong keuangan inklusif, Presiden Republik Indonesia memberikan arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurkan secara non tunai, dengan menggunakan sistem perbankan atau dikenal dengan istilah Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
BPNT adalah bantuan pangan dari pemerintah yang diberikan kepada KPM setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli pangan di e-Warong KUBE PKH/pedagang bahan pangan yang bekerja sama dengan Bank. Masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras yang ada sesuai selera dan terserah untuk membelanjakannya. Â Selain itu uang Rp 110 ribu per bulan jika tidak dibelanjakan akan terakumulasi atau tidak akan hangus.
Walaupun banyak pendapat para ahli kebijakan pangan yang mengatakan bahwa program BPNT belum tepat untuk diterapkan di Indonesia, namun Kementerian Sosial tetap ngotot untuk melaksanakan program ini (BPNT di Tengah Pusaran Mafia Pangan).
Program yang membebaskan masyarakat untuk membeli kebutuhan pokok, merupakan adopsi dari Amerika Serikat yang menganut system pasar bebas. Program ini mungkin bisa dilaksanakan di Indonesia puluhan tahun nanti, namun belum tepat untuk sekarang.
Bahkan para ahli berpendapat bahwa kegagalan Kementerian Perdagangan menurunkan harga beras belakangan ini, akibat dari mulai dilaksanakannya program BPNT untuk menggantikan rastra (beras sejahtera). Hal ini terbukti ketika operasi pasar yang dilakukan oleh BULOG jauh dari sasaran. Target yang ditetapkan pemerintah 15 ribu ton, namun nyatanya terserap  seribu ton. Hal ini pada akhirnya berimbas terhadap kestabilan harga beras di pasaran (Kenaikan Harga Beras Membuat Gerah Istana).
Namun anehnya, justru Menteri Sosial (Mensos) Agus Gumiwang Kartasasmita tetap menargetkan transformasi Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tuntas pada awal 2019. (Kemensos targetkan transformasi Rastra ke BPNT tuntas awal 2019)
Untuk membuktikan bahwa program BPNT terkesan dipaksakan pelaksanaannya, walaupun banyak mengalami kendala di lapagangan, berikut beberapa kutipan keluhan dari daerah di tanah air.
Dikutip dari pernyataan Kepala dinas sosial Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah Indar Daeng Silasa (Senin, 20/8/2018) mengungkapkan, meski program yang diluncurkan pemerintah pusat bertujuan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti bantuan pangan non tunai BPNT, namun karena letak geografis yang berbukit-bukit serta masih adanya daerah yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi secara maksimal, menyebabkan program BPNT di Toli toli sulit terlaksana.
"Selain belum tersedianya perangkat, kendala lain yang ditemui dilapangan yakni belum adanya E-warung atau kios khusus yang dapat dipergunakan membelanjakan voucher yang terdapat dalam kartu BPNT" (Kondisi Geograifs Jadi Kendala Program BPNT di Tolitoli).
Lain di Toli-Toli, lain juga dengan yang di Bengkulu. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu mengatakan bahwa program BPNT di kotanya terkendala tempat pengambilan BPNT. Meskipun jumlahnya banyak, namun sebagian besar dikhawatirkan belum bisa memaksimalkan pemaksimalan BPNT itu sendiri. Dicontohkan seperti BRILink yang ada discounter handphone maupun toko yang notabenenya bukan toko atau warung manisan yang menjual kebutuhan bahan pokok seperti beras dan telur ayam
(Evaluasi Kendala Realisasi BPNT) Â Â
Selanjutnya, kelemahan BPNT juga terungkap dari hasil kunjungan DPR RI ke Provinsi Sumatera Utara. Anggota Komisi VIII DPR RI Rahmat Handoyo menyayangkan banyak kendala terhadap penerapan program unggulan pemerintah itu. Dia menilai, salah satu penyebab utama timbulnya masalah penyaluran BPNT adalah tidak akuratnya data yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial.
Permasalahan BPNT ditemukan oleh Komisi IV saat berkunjung ke Medan, Sumatera Utara. Di sana, Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menyampaikan kepada anggota dewan bahwa tidak ada saldo pada kartu yang diberikan oleh pemerintah melalui bank penyalur.
(Legislator Ungkap Kendala Program BPNT).
Ini akan menjawab pertanyaan mengapa Budi Waseso menolak menerima impor beras dengan alasan gudang penuh. Sebenarnya kecukupan stock beras selama beberapa tahun terakhir akan mengalami pergeseran. Stock di gudang BULOG selalu menjadi patokan bagi pemerintah, untuk memutuskan impor atau tidak.
Mengapa stock BULOG dijadikan acuan? Hal ini karena stock BULOG lah yang bisa dikuasai pemerintah, riil dan mudah dalam penghitungan. Pemerintah tidak perlu menjadikan stock beras yang berada di tempat lain, seperti pedagang, rumah tangga sebagai acuan. Karena stock ini tidak bisa dimobilisasi jika terjadi bencana atau keadaan darurat lainnya.
Alasan kuat impor diperbolehkan karena melihat stock yang dikuasai BULOG. Pada tahun 2018 ini, ketika terjadi pergeseran kebijakan rastra menjadi BPNT, telah membuat perbedaan pandangan terhadap stock beras yang harus dikuasai oleh BULOG.
Jika pada tahun 2017, pemerintah menganggap stock aman yang harus tersedia di gudang BULOG adalah 1,5-2 juta ton. Namun pada tahun 2018, dengan dihapuskannya program rastra maka stock beras nasional dibawah 1 juta sudah dikategorikan aman.Â
Hal dikarenakan stock tersebut biasanya dipakai untuk menyalurkan rastra selama 4 bulan pada tahun depannya, operasi pasar menjelang akhir tahun, hingga percepatan rastra serta cadangan beras untuk berjaga-jaga sebagai antisipasi mundurnya masa tanam.
Untuk rastra selama 4 bulan, stock yang harus disalurkan per bulan berkisar 300 ribu ton atau total 1 juta ton. Operasi pasar dibutuhkan sekitar 250 ribu ton, percepatan rastra juga dibutuhkan 500 ribu ton. Itulah mengapa, stock akhir tahun harus berada diatas 1,5 juta ton baru dikatakan aman dan tidak impor.
Namun semenjak perubahan kebijakan perberasan pada tahun 2018 rastra menjadi BPNT, BULOG yang menyalurkan beras sebanyak 250-300 ribu ton per bulan, praktis tidak ada beras yang disalurkan sama sekali. Akibatnya sudah bisa dipastikan stock beras impor menumpuk di gudang-gudang BULOG. Itulah mengapa aneh, baru kali ini Dirut BULOG melakukan penolakan terhadap impor beras. Hal inilah juga yang pada akhirnya menimbulkan kekisruhan.
Namun Ombudsman selaku lembaga pengawas kebijakan publik, jeli melihat pangkal permasalahan yang terjadi. Ombudsman menarik kesimpulan besar bahwa penetapan program BPNT sebagai pemicu komplikasi. Hal ini dikarenakan, kebijakan penerimaan impor beras tidak disertai dengan pembaruan kebijakan skema distribusi bagi Bulog, termasuk penerapan disposal stock policy.
Oleh karena itu, kebijakan yang salah terkait perberasan jangan diteruskan kembali. Harus ada evaluasi mendalam yang harus dilakukan pemerintah untuk mengembalikan kebijakan perberasan semula yaitu program beras sejahtera (rastra). Jika pemerintah tetap ngotot melaksanakan program BPNT tanpa memikirkan dampaknya maka sudah bisa dipastikan kejadian kejadian diatas akan terjadi lagi. Malahan dampaknya akan lebih besar lagi dari sekedar kisruh.
Koordinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI)
Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H