Nilai tukar Rupiah Jumat (18/5/2018), kembali menembus level Rp14.100 per USD. Dilansir Bloomberg Dollar Index, Rupiah pada perdagangan spot exchange melemah 47 poin atau 0,33% ke level Rp14.104 per USD. Rupiah pada hari itu selalu bergerak di kisaran Rp14.053-Rp14.104 per USD.
Padahal untuk mengantisipasi hal itu, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,5%. Namun semua usaha tersebut belum berdampak terhadap penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dollar. Malah mata uang Garuda terus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada level Rp14.100 per USD.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pemerintah dan BI terus mencermati perkembangan yang terjadi dengan mata uang dolar Amerika Serikat. Pasalnya arah normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat yang mendorong kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (Rupia Anjlok Pasca BI Naikkan Suku Bunga, Begini Jawaban Sri Mulyani).
Prediksi Ancaman Krisis 20 tahunan
Sebenarnya, banyak ekonom sudah memperkirakan kejadian siklus krisis tahunan bakal terjadi. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun-tahun 1965, 1998 dan 2008. Walaupun terkadang krisis tersebut bukan dari Negara kita sendiri, namun disebabkan dari Negara luar. Nah tahun 2018, tanda-tanda krisis sudah mulai kelihatan. Dimulai dengan kebijakan ekonomi Presiden AS, Donald Thrump yang kontroversi seperti lebih menutup perekonomiannya atau proteksionis serta melancarkan perang dagang dengan China secara terbuka. Â Â
Faisal Basri, setahun yang lalu sudah memprediksi akan adanya ancaman krisis 20 tahunan (Menghindari Kutukan Siklus Krisis 20 Tahunan ). Ia menyiratkan bahwa siklus  krisis 20 tahunan akan tepat terjadi pada tahun 2018. Menurutnya dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia yang serba tak pasti dan tekanan proteksionisme serta perekembangan politik global yang ditandai oleh maraknya populisme, cara terbaik bagi Indonesia untuk mengantisipasinya adalah dengan memperkokoh fondasi perekonomian atau meningkatkan daya tahan domestik. Itulah makna dari tekad kita untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Penulis, juga sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah agar sangat mewaspadai siklus krisis tersebut agar tidak dibarengi dengan krisis pangan. Â Sesuai dengan keahlian penulis, krisis ekonomi moneter akan menjadi kepada krisis social jika pangan menjadi langka atau tidak tersedia dan mahal. Dampaknya pasti lebih parah, sejarah telah membuktikannya baik di negeri sendiri maupun Negara luar sana.
Masyarakat Indonesia pasti ingat dengan krisis ekonomi global pada tahun 1998 dan 2008. Mendengar kata-kata krisis tentu membuat trauma telinga bangsa ini, karena ada pengalaman pahit disana. Bagaimana orang tua mereka kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), anak-anak banyak yang putus sekolah karena mahalnya biaya.
Krisis tersebut telah memporak porandakan perekonomian negara-negara dunia tidak terkecuali di Indonesia. Namun krisis tersebut telah berlalu dan kita semua bisa melewatinya. Bahkan perekonomian justru tumbuh dikarenakan strategi kebijakan yang tepat diambil pemerintah pada waktu itu.
Perekonomian yang hancur akan berkorelasi langsung dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Ciri khas masyarakat tak mampu adalah daya beli mereka yang lemah. Mengapa? ya, semua harga serba mahal sedangkan pendapatan per bulan sangat rendah. Pemerintah sudah menyadari semua fenomena yang terjadi, oleh karena itulah harus dibuat kebijakan yang lebih pro kepada rakyat miskin.
Bagaimana caranya? tentu dengan membuat kebijakan perlindungan social. Baik kebijakan perlindungan kesehatan, perekonomian, pendidikan maupun pangan. Salah satu kebijakan perlindungan social pemerintah yang dinilai berhasil adalah dengan memberikan subsidi pangan murah kepada masyarakat miskin. Kebijakan ini sampai dengan sekarang dikenal dengan raskin (beras warga miskin) atau rastra (beras sejahtera).
Kebijakan rastra atau beras murah tidak hanya sebagai kebijakan perlindungan sosial semata. Namun disana langsung tercakup kebijakan pangan dan perekonomian. Â Dimana pembagian rastra sangat berperan dalam hal menciptakan stabilisasi harga, baik ditingkat petani maupun ditingkat produsen. Mengapa? karena beras yang disalurkan kepada masyarakat merupakan hasil petani dalam negeri sehingga petani padi harga jual gabahnya tidak rugi.
Sedangkan stabilisasi harga konsumen tercipta karena beras yang digelontorkan dalam jumlah banyak dan merata di seluruh Indonesia. Dikarenakan beras merupakan makanan utama bangsa Indonesia, maka inilah alasan kuat mengapa ketika harga beras mahal akan membuat harga barang lainnya menjadi naik. Oleh karena itulah, ketersediaan beras harus dijaga baik harga dan aksesnya agar beras tidak menciptakan tingginya nilai inflasi. Â Â
Untuk mengatasi krisis pangan 1998, serta menghindari kemungkinan terjadinya krisis sosial, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi pangan bagi masyarakat melalui Operasi Pasar Khusus (OPK). Ternyata, langkah yang diambil pemerintah waktu itu sangatlah tepat. Program pemberian subsidi pangan ini, seiring berjalannya waktu sangat efektif meringankan beban pengeluaran masyarakat.
Dikarenakan, banyaknya masyarakat umum yang membutuhkan, maka pada tahun 2002 sampai dengan sekarang program tersebut sedikit dimodifikasi dengan menerapkan system targeting, yaitu membatasi sasaran dengan hanya membantu kebutuhan pangan bagi Rumah Tangga Miskin (RTM) saja.
Kemudian krisis global kembali terjadi 10 tahun kemudian di tahun 2008. Krisis tersebut bermula di negara Amerika Serikat. Krisis ekonomi menghantam perekonomian negara penganut mekanisme pasar ini, sehingga ambruk akibat dorongan konsumsi yang sangat tinggi. Krisis mengakibatkan para investor asing menarik dananya secara besar-besaran dari indonesia, hingga mengakibatkan jatuhnya nilai mata uang rupiah.
Pada tahun 2008, justru pemerintah menambah pagu rastra dimana semula tahun 2007 sebanyak 15,7 juta RTS menjadi 19,1 juta RTS. Jumlah sasaran ini, merupakan jumlah sasaran tertinggi selama RASTRA disalurkan dan mencakup semua rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial tahun 2008. Semua ini dilakukan guna meredam gejolak krisis global agar dampaknya tidak begitu terasa bagi masyarakat.
Hasilnya sudah bisa ditebak, negara kita mampu melewati krisis tersebut disaat negara-negara di luar sana perekonomiannya ambruk. Bahkan BI (Bank Indonesia) mencatat bahwa perekonomian Indonesia secara keseluruhan justru tumbuh diatas 6,1%.Â
Semua ini menjadi sebuah tanda tanya besar bagi negara di luar sana, tidak terkecuali negara dengan perekonomian terkuat macam Amerika Serikat. Semua ini tentu tidak lain dan tidak bukan, karena pemerintah waktu itu mengambil pelajaran dari krisis 1998. Pemerintah waktu itu telah mempersiapkan diri agar tidak terjatuh pada lubang yang sama ke dua kalinya dengan sejumlah kebijakan yang sangat tepat.
Pemerintah sekarang sepertinya belum menyadari akan pentingnya rastra dalam menstabilkan harga. Buktinya, sampai sekarang Kementerian Sosial (Kemensos) tetap bersikukuh untuk mengganti program rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Ini terlihat jelas dari ujicoba di 44 kota besar pada tahun 2017, yang keberhasilannya sangat rendah.
Ada apa dengan BPNT? penjelasannya sebenarnya sederhana. Pada program BPNT, masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras dengan tingkat harga sesuai pasar. Artinya, harga beras tergantung pada harga yang berlaku saat itu atau yang lazim dikenal dengan istilah "mekanisme pasar". Artinya disini, peran pemerintah tidak ada sama sekali dalam mengendalikan kestabilan harga.
Sehingga bisa kita bayangkan ketika sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin atau lebih kurang 60 juta jiwa menyerbu beras ke pasaran. Sudah bisa dipastikan tekanan permintaan beras ke pasaran umum akan menjadi tinggi, dampaknya ya bisa ditebak pasti ke harga. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau krisis ekonomi benar-benar terjadi? Disaat perekonomian menjadi kacau, beras pasti menjadi mahal dan langka, lalu pemerintah tidak punya stock untuk menstabilkan harga karena tugasnya sudah diserahkan kepada pasar.
Dalam situasi seperti itu, apakah cukup uang Rp 110 ribu per bulan untuk membeli kebutuhan pokok? lalu, apakah pelaku pasar tetap mau menjual harga beras seperti biasa? atau jangan-jangan malah melakukan permainan dengan menimbun barang, agar harganya menjadi lebih mahal akibat kelangkaan?
Argumen saya diatas sebenarnya sudah disadari oleh Pemerintah, dalam hal ini Dirut BULOG Budi Waseso (Buwas). Ia mengatakan bahwa pasar beras tanah air sudah dikuasai oleh pasar bebas. Skema produksi hingga distribusi ini masih dipermainkan oleh pasar bebas atau pelaku-pelaku dan segelintir orang yang bisa mengendalikan harga pangan. Hal ini yang perlu tanggapi segera yaitu dengan pengelolaan secara keseluruhan oleh negara dalam hal ini Bulog.
Jauh panggang dari api, jika kita menduplikat seratus persen system Amerika. Negara yang sudah ratusan tahun merdeka, tingkat pendapatan perkapita tertinggi di dunia, perekonomian terbesar, demokrasi sudah berjalan ratusan tahun, kesadaran masyarakat yang besar hingga tingkat pendidikan yang tinggi.
Oleh karena itulah, pemerintah seharusnya cepat sadar bahwa ada yang salah dengan kebijakan pangan yang diambil selama ini. Ketika menyangkut soal beras yang merupakan kebutuhan pokok, seharusnya tidak hanya dipandang dari tugas satu Kementerian saja. Beras bersifat multi demonsional artinya terkait kepada beberapa sector, oleh karena itulah beberapa Kementerian terkait harus juga duduk bersama. Ini bertujuan agar tercapai titik terang dan mampu memahami filsosofi beras serta mendudukan posisi beras sebagaimana semestinya.
Kita berharap pemerintah cepat mengantisipasi tanda-tanda krisis ekonomi yang sudah di depan mata. Semoga krisis ini mampu terlewati dan tidak menjalar menjadi krisis pangan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H