Pemerintah sekarang sepertinya belum menyadari akan pentingnya rastra dalam menstabilkan harga. Buktinya, sampai sekarang Kementerian Sosial (Kemensos) tetap bersikukuh untuk mengganti program rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Ini terlihat jelas dari ujicoba di 44 kota besar pada tahun 2017, yang keberhasilannya sangat rendah.
Ada apa dengan BPNT? penjelasannya sebenarnya sederhana. Pada program BPNT, masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras dengan tingkat harga sesuai pasar. Artinya, harga beras tergantung pada harga yang berlaku saat itu atau yang lazim dikenal dengan istilah "mekanisme pasar". Artinya disini, peran pemerintah tidak ada sama sekali dalam mengendalikan kestabilan harga.
Sehingga bisa kita bayangkan ketika sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin atau lebih kurang 60 juta jiwa menyerbu beras ke pasaran. Sudah bisa dipastikan tekanan permintaan beras ke pasaran umum akan menjadi tinggi, dampaknya ya bisa ditebak pasti ke harga. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau krisis ekonomi benar-benar terjadi? Disaat perekonomian menjadi kacau, beras pasti menjadi mahal dan langka, lalu pemerintah tidak punya stock untuk menstabilkan harga karena tugasnya sudah diserahkan kepada pasar.
Dalam situasi seperti itu, apakah cukup uang Rp 110 ribu per bulan untuk membeli kebutuhan pokok? lalu, apakah pelaku pasar tetap mau menjual harga beras seperti biasa? atau jangan-jangan malah melakukan permainan dengan menimbun barang, agar harganya menjadi lebih mahal akibat kelangkaan?
Argumen saya diatas sebenarnya sudah disadari oleh Pemerintah, dalam hal ini Dirut BULOG Budi Waseso (Buwas). Ia mengatakan bahwa pasar beras tanah air sudah dikuasai oleh pasar bebas. Skema produksi hingga distribusi ini masih dipermainkan oleh pasar bebas atau pelaku-pelaku dan segelintir orang yang bisa mengendalikan harga pangan. Hal ini yang perlu tanggapi segera yaitu dengan pengelolaan secara keseluruhan oleh negara dalam hal ini Bulog.
Jauh panggang dari api, jika kita menduplikat seratus persen system Amerika. Negara yang sudah ratusan tahun merdeka, tingkat pendapatan perkapita tertinggi di dunia, perekonomian terbesar, demokrasi sudah berjalan ratusan tahun, kesadaran masyarakat yang besar hingga tingkat pendidikan yang tinggi.
Oleh karena itulah, pemerintah seharusnya cepat sadar bahwa ada yang salah dengan kebijakan pangan yang diambil selama ini. Ketika menyangkut soal beras yang merupakan kebutuhan pokok, seharusnya tidak hanya dipandang dari tugas satu Kementerian saja. Beras bersifat multi demonsional artinya terkait kepada beberapa sector, oleh karena itulah beberapa Kementerian terkait harus juga duduk bersama. Ini bertujuan agar tercapai titik terang dan mampu memahami filsosofi beras serta mendudukan posisi beras sebagaimana semestinya.
Kita berharap pemerintah cepat mengantisipasi tanda-tanda krisis ekonomi yang sudah di depan mata. Semoga krisis ini mampu terlewati dan tidak menjalar menjadi krisis pangan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H