Sekarang aneh bin ajaib, justru pada tahun 2017 ini, ketika negara tidak dalam tekanan IMF tapi kita justru mau "melepaskan beras" lewat program BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) dengan menghapuskan program Rastra/Raskin. BPNT atau istilah awalnya voucher pangan sangat kental nuansa "free market" yang populer dikenal dengan sebutan "mekanisme pasar".Â
Dimana harga keseimbangan sangat ditentukan oleh kekuatan penjualan dan pembeli. Tambah ironi lagi.. ? Setali tiga uang, disisi lainnya dengan menghapuskan rastra, jelas-jelas membuat kontrol/intervensi pemerintah terhadap harga beras nyaris tidak ada sama sekali.
Uraian diatas adalah cuplikan artikel saya satu tahun yang lalu ditulis di kompasiana. Itulah prediksi saya ketika terjadi perubahan kebijakan dari Rastra menjadi bantuan pangan non tunai (BPNT).Â
Harga tidak akan terkontrol dan sewaktu-waktu akan naik tajam. Walaupun kedua program ini memiliki tujuan yang sama yaitu meringankan beban hidup warga miskin, terutama dalam masalah kekurangan pangan, namun terdapat karakterisitik yang jelas-jelas sangat berseberangan.
Kekhawatiran saya di tahun 2018 akhirnya terbukti. Diawal tahun, Presiden langsung memanggil Menteri teknis terkait untuk rapat bagaimana caranya agar stabilisasi harga tercapai. Mengingat bulan puasa Ramadhan dan Idul Fitri semakin dekat.Â
Harga beras diawal tahun melonjak tajam, walaupun sudah digelontorkan untuk operasi pasar namun harga tak kunjung turun. Kementerian Perekonomian dan Kementerian Perdagangan menjadi bingung. Ada apa gerangan dengan tahun 2018 ini? Apa yang menjadi pembeda tahun ini dengan tahun sebelumnya? Â
Desain perubahan tersebut sangatlah berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Jika program rastra pemerintah langsung menyalurkan ke masyarakat, sedangkan pada BPNT masyarakat bebas membeli di pasaran umum. Namun, entah mengapa yang terjadi sekarang. Kementerian Sosial yang dalam hal ini sebagai Kementerian terkait sudah jelas-jelas tahu kelemahannya, namun masih tetap ngotot melaksanakan BPNT.
Akhirnya inilah yang terjadi. Harga beras diawal tahun menjadi melonjak tajam. Kementerian Sosial belum memahami secara utuh filosofi beras. Seharusnya mereka sadar betul, bahwa beras merupakan komoditas pokok strategis bangsa ini. Sehingga segala kebijakan mengenai beras akan berdampak terhadap stabilitas politik, ekonomi dan social.Â
Namun, mereka belum sepenuhnya paham. Kebijakan rastra hanya dipandang sebagai kebijakan pengaman social saja. Seharusnya jika paham, maka akan dikaitkan dengan dampak stabilitas ekonomi yaitu terciptanya stabilisasi harga. Mengapa? BPS membuktikan bahwa beras merupakan bahan makanan yang mampu menjadi penggerak atau trigger kenaikan bahan pangan lainnya yang mampu memicu tingginya inflasi. Â
Inilah dampak yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan selama ini yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang diungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah dalam hal ini Kemensos semakin menyadari bahwa BPNT belum layak untuk diterapkan tahun depan. Pernyataan KPPU yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya juga dijadikan pedoman dalam membuat keputusan.