Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perlukah Indonesia Memiliki Lembaga Regulator Pangan?

6 Mei 2018   07:38 Diperbarui: 9 Mei 2018   20:04 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan diatas akan terjawab dengan sendirinya, jika kita melihat polemik pangan yang terjadi belakangan ini. Ada banyak fakta peristiwa untuk meyakinkan bahwa Negara memang butuh lembaga yang berfungsi sebagai regulator dalam bidang pangan. 

Lembaga regulator adalah lembaga yang berwenang menyusun kebijakan dan peraturan. Pemerintah mempunyai wewenang untuk membuat peraturan dan regulasi agar roda perekonomian negara bisa berjalan dengan baik.

Kasus impor beras sudah menjadi bukti kuat adanya ketidak sinkronan antar Kementerian terkait. Yang satu mengatakan tidak perlu impor karena surplus, yang satu juga mengatakan butuh impor karena harga melambung tinggi dan stock menipis. Masing-masing saling ngotot, walaupun ending ceritanya, mereka mengakui sama-sama tahu dan saling berkoordinasi. 

Masalah koordinasi pangan antar lembaga selama ini menjadi batu sandungan terbesar. Seharusnya koordinasi yang lancar akan menguatkan serta mensinkronkan antara kebijakan dengan pelaksanaan. Keselarasan yang harmonis tentu akan mewujudkan ketahanan pangan di negeri ini menjadi kuat dan tangguh. Serta yang terpenting tanpa ketergantungan impor pangan dari negara lain.

Dari satu cerita diatas, masyarakat sudah dapat menyimpulkan bahwa ada suatu kepentingan kelompok yang biasa dikenal dengan istilah ego sektoral yang masih sangat kental dalam negeri ini. Mengapa? karena, ketika suatu keputusan dilakukan maka ini akan berkaitan dengan kinerja mereka. 

Publik pasti bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukan lembaga tersebut selama ini? Sungguh inilah dasar yang kuat melatar belakangi, kenapa sering kita lihat, antar instansi, lembaga atau kementerian saling ngotot dan saling tidak mau mengalah.

images-3-5af2f10aab12ae7a0c7a5822.jpeg
images-3-5af2f10aab12ae7a0c7a5822.jpeg
Untuk lebih meyakinkan akan butuhnya Negara ini lembaga pangan yang langsung bertanggung jawab dibawah Presiden, maka kita akan telisik kasus-kasus pangan besar yang belakangan ini terjadi. 

Di Indonesia menurut catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) praktik kartel pangan pernah terbongkar pada (1) kesepakatan tertutup antar produsen garam dalam mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera Utara pada tahun 2005, (2) praktik kartel dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah tahun 2010, (3) kasus impor bawang merah dan putih yang menyebabkan kelangkaan tahun 2015, (4) kasus penimbunan sapi oleh feedloter yang menyebabkan harga daging sapi tembus Rp 140 ribu per kg tahun 2015, (5) kasus pemusnahan anak ayam hingga membuat harga ayam naik juga pada tahun 2015.

Diatas baru hasil penemuan KPPU yang membongkar terjadinya praktek kecurangan usaha di sector pangan. Belum lagi, cerita temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018 mengenai pelanggaran impor pangan, lalu temuan dari Ombudsman mengenai kesalahan-kesalahan administrasi dalam tata kelola pangan dan terakhir adalah hasil tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaku suap impor atau perizinan pangan.

Sembilan bahan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, akhir-akhir ini harganya naik dan cenderung tidak terkendali. Pemerintah seolah-olah tidak berdaya menghentikan kenaikan harga sembako mulai dari beras hingga bahan pangan kecil seperti bawang dan cabai. Instansi pemerintah yang mengurusi masalah pangan seperti mengalami "kebakaran jenggot" menghadapi fenomena kenaikan harga sembako.

20150427101511461-5aefa476ab12ae5e162a59d2.jpg
20150427101511461-5aefa476ab12ae5e162a59d2.jpg
Peristiwa pangan diatas sudah menunjukkan bahwa pengelolaan pangan di negeri ini masih carut-marut. Sebenarnya wakil rakyat sudah menyadarinya, maka untuk mengatasi hal itu lahirlah Undang Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012. Instansi pemerintah yang mengurusi masalah pangan dinilai banyak kalangan berjalan sendiri-sendiri atau individualistis. Kebijakan yang dibuat dinilai begitu banyak yang tumpang tindih dan cenderung saling tidak mendukung.

Oleh karena itulah pemerintah didorong perlu meleburkan berbagai instansi untuk menjalankan kebijakan pangan.  Lembaga yang bernama Badan Otorisasi Pangan (BOP) ini diharapkan sebagai pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional. 

Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan pada Pasal 126 dalam UU pangan No. 18 tahun 2012 berbunyi, "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden" serta pada Pasal 127 disebutkan, "Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan".

Urgensi pembentukan badan pangan nasional atau badan otorisasi pangan sangatlah mendesak. Apalagi sekarang dunia dalam ancaman perang dagang antara negera USA dan RRC. Bayang-bayang hantu krisis monenter sudah di depan mata. Jangan sampai kejadian krisis moneter pada tahun 1997, akan terulang di tahun 2018. Tanda-tanda itu sudah mulai Nampak ketika rupiah sempat mendekati Rp 14.000 per US Dollar. Apalagi laporan terbaru yang menyatakan merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta ditambah lagi adanya sejumlah bank yang mengalami kredit macet.  

Namun, krisis moneter tahun 1997 sebenarnya sudah kita ambil pelajaran. Ketika krisis global terjadi pada tahun 2008 dan 2015, Indonesia berhasil melewatinya. Walaupun krisis tersebut  berawal dari Negara lain dan akhirnya menjalar ke Negara kita hingga terdampak kepada seluruh Negara di dunia. Krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 sangat terasa dampaknya karena dibarengi dengan kemarau yang panjang. 

Dalam situasi seperti itu, stock pangan cadangan pemerintah menipis, harga pangan menjadi mahal dan terjadi kelangkaan. Fenomena panic buying terjadi, bagi yang mampu membeli tidak masalah, namun bagi yang tidak mampu membeli mereka akan turun ke jalan untuk berdemonstrasi.

20150331080515066-5aefa5dcf1334422cc6638d2.jpg
20150331080515066-5aefa5dcf1334422cc6638d2.jpg
Itulah mengapa, bahwa fakta sejarah mengatakan ketika kebutuhan pangan tidak ada akan tercipta chaos atau kerusuhan sosial. Pangan adalah hak asasi yang paling dasar yang harus dipenuhi setiap saat. Ketika pangan menjadi mahal dan langka, perut menjadi lapar keroncongan, pikiran menjadi pendek apalagi melihat anak dan istri menjerit menahan lapar. Dalam situasi seperti ini, emosi seseorang pasti cepat sekali terbakar. Tidak peduli lagi dengan situasi sekitar, penjarahan akan terjadi dimana-mana, situasi menjadi kacau, perekonomian menjadi stagnan akibat rush.

Oleh sebab itulah, jangan sampai krisis ekonomi kembali terulang di tahun 2018. Walaupun rupiah jatuh, IHSG merosot, banyak kredit macet yang dialami perbankan, namun jika stock pangan kita kuat maka dampaknya tidak akan terlalu parah. Untuk itulah kelembagaan pangan di negeri ini harus segera diperkuat. Harus ada lembaga yang mampu menjaga ketahanan pangan di negeri ini.  Pangan harus terpenuhi bagi negara sampai dengan perseorangan atau individu. Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau.

Harus ada lembaga yang focus terhadap tercapainya ketahanan pangan, karena ini akan memudahkan langkah menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Tiga pilar ketahanan pangan harus dijaga mulai dari ketersediaan, keterjangkauan fisik dan ekonomi serta stabilitas pasokan dan harga. 

Jika kita telusuri lebih mendalam, sebenarnya lembaga yang disyaratkan seperti diatas sudah ada. BULOG mampu melaksanakannya dari tahun 1967 atau 51 tahun yang silam. Kewenangannya menjadi terbatas, akibat tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak ingin ada campur tangan pemerintah dalam bidang pangan.

Walaupun berbentuk BUMN Perum, BULOG tetap mendukung ketahanan pangan yang terlihat dari tugas pelayanan publiknya. Misal, (1) pilar ketersediaan ketahanan pangan dengan melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras DN dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), (2) pilar keterjangkauan pangan dengan menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah (melalui program RASKIN) dan (3)  pilar stabilitas ketahanan pangan dengan menyediakan dan menyalurkan beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan (melalui pengelolaan CBP). Bentuk konkret pilar ini yaitu melakukan stabilisasi harga dengan operasi pasar seperti operasi pasar beras maupun daging yang dijual ke pasar ataupun pedagang pengecer.

Dari uraian panjang diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Negara ini memang sangat membutuhkan lembaga sebagai regulator dalam bidang pangan. 

Untuk menunjuk lembaga itu, rasanya cukup pantaslah jika BULOG nantinya menjadi leader dalam urusan ketahanan pangan. Apalagi mengingat pengalaman BULOG mengurusi pangan selama 51 tahun serta dengan dukungan kantor, pergudangan, personil serta infrastruktur yang lain di seluruh wilayah Indonesia.  Pemerintah dan masyarakat harus mendukung penuh terbentuknya lembaga pangan yang kuat agar tata kelola pangan di negeri ini dapat berjalan di jalur yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun