Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rastra, Senjata Penstabil Harga yang Terlupakan

11 April 2018   21:42 Diperbarui: 12 April 2018   23:40 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masalah perberasan harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Salah mengambil kebijakan maka nasib 250 juta rakyat akan dipertaruhkan. Hal ini bisa kita lihat dengan kasus yang terjadi sekarang. Kasus apa itu? ya, kenaikan harga beras.

Pemerintah sekarang semakin dibuat pusing, apalagi titah presiden sudah turun untuk menstabilkan harga pangan terutama beras. Bulan puasa tinggal hitungan hari dan lebaran kian semakin dekat, namun harga belum juga bersahabat. Sejumlah rapat makin banyak digelar, baik tingkat menteri maupun tatatan teknis tak terhitung jumlahnya. Bahkan para pejabat pun semakin gencar merapatkan barisan untuk berkoordinasi.

Bahkan yang terbaru adalah kesiapan sejumlah bank BUMN untuk membantu menjual kebutuhan beras operasi pasar dari BULOG. Sebuah terobosan memang, baru kali ini para bank bersedia menggunakan jaringannya untuk berjualan. Kita patut acungi jempol, angkat topi atas keseriusan pemerintah demi menstabilkan harga. Langkah antisipatif diatas hanyalah satu "goal" yaitu harga stabil.

Mengapa kestabilan harga diperlukan? Stabilnya harga merupakan jaminan negeri ini tetap menjalankan semua roda, baik roda perekonomian dan roda pemerintahan. Coba kita bayangkan jika harga berfluktuasi, melambung tinggi tanpa kepastian. Sudah pasti demo rakyat dimana dimana dan dampak terparah adalah rusuh sosial yang dapat berupa penjarahan.Tentu kita tidak ingin demikian bukan.

Kembali ke sejumlah langkah antisipatif pemerintah tadi. Diatas disebutkan bahwa sejumlah bank bersedia menggunakan jaringannya di daerah untuk membantu pemerintah menstabilkan harga. Langkah diatas memanglah tepat, selain masyarakat mudah mengaksesnya, yang namanya harga beras operasi pasar pasti juga sama disetiap tempat.

Namun persoalannya bukan disitu? 

Keberhasilan operasi pasar yang dilakukan tidak hanya terletak pada akses, namun pada daya beli masyarakat itu sendiri. Walaupun harganya sedikit lebih rendah daripada harga pasaran umum, jikalau masyarakat tidak mampu membeli, tentu juga tidak berhasil.

Seperti contoh harga beras operasi pasar seperti yang diberlakukan sekarang adalah Rp 8.000. Sedangkan harga beras dipasaran berkisar antara Rp 9.000-11.000 berarti selisihnya hanya 2 ribu rupiah. Masyarakat miskin dengan harga seperti itu, menganggap masih mahal jika dibandingkn rastra yang hanya Rp 1.600. Faktor ini juga terkadang yang membuat kenapa beras operasi pasar kurang diminati selain faktor persoalan daya beli.

Sebenarnya ada cara elegan yang sekarang luput dari perhatian pemerintah dalam menstabilkan harga. Pemerintah lupa, bahwa program beras sejahtera (rastra) yang sekarang dihapuskan adalah bagian dari operasi pasar.

Rastra dan Kotak Pandora

Jika operasi pasar merupakan bentuk intervensi pemerintah dari sisi supply, maka rastra adalah intervensi pemerintah dari sisi demand. Keduanya sama-sama menstabilkan harga. Biasanya juga, ketika harga beras mengalami kenaikan, kedua cara ini dilakukan serentak. Satu sisi operasi pasar menyerbu pasaran umum dan satu sisi rastra dipercepat penyalurannya kepada masyarakat miskin.

Dengan kombinasi seperti itu, maka ada sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin atau lebih kurang 60 juta jiwa yang kebutuhan berasnya terpenuhi oleh program rastra. Artinya pula, tekanan permintaan beras ke pasaran umum berkurang.

Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya program rastra menstabilkan harga. Begitu juga sebaliknya, bisa dibayangkan tekanan permintaan jika 60 juta penduduk menyerbu beras ke pasaran.

Sebenarnya rastralah,  kunci pembuka rahasia kotak pandora untuk menstabilkan harga. Andaikan rastra sudah dikucurkan pada awal tahun tentu tidak banyak waktu, biaya dan energi terbuang akibat rapat serta diskusi berkepanjangan.

Namun, pemerintah sekarang sepertinya belum menyadari akan pentingnya rastra dalam menstabilkan harga. Buktinya, sampai sekarang Kementerian Sosial (Kemensos) tetap bersikukuh untuk mengganti program rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Apa memang tidak mengerti, ataukah hanya menuruti perintah saja.

Sebenarnya keberhasilan program BPNT dari Kemensos, tolak ukurnya tidak hanya dilihat dari sisi persentase penyaluran. Namun, yang lebih penting adalah kaitannya terhadap stabilisasi harga. Seharusnya keberhasilan pemberlakuan BPNT di 44 kota besar  turut andil dalam menstabilkan harga di kota tersebut. Namun nyatanya justru kota-kota itulah yang menjadi penyumbang inflasi terbesar karena harga pangannya tinggi.

Penjelasannya sebenarnya sederhana. Pada program BPNT, masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras dengan tingkat harga sesuai pasar. Artinya, harga beras tergantung pada harga yang berlaku saat itu atau yang lazim dikenal dengan istilah "mekanisme pasar".

Masalahnya adalah beras yang dibeli masyarakat tadi adalah beras umum yang dimiliki oleh pedagang besar. Yang namanya pedagang, prinsipnya mencari keuntungan. Tidak ada pedagang yang berjualan mencari rugi. Bila perlu dengan mengeluarkan biaya kecil, untuk mendapatkan untung besar. Itulah namanya prinsip ekonomi.

Sudah pasti dengan beralihnya rastra menjadi BPNT, berarti akan ada lonjakan permintaan beras dari masyarakat sebanyak 15 juta KK atau setara dengan 250 ribu ton perbulan. Woow luar biasa. Selain itu, dengan harga yang berdasarkan pasar maka harga beras disetiap wilayah Indonesia akan berbeda-beda.

Sudah pasti bisa ditebak, daerah remote, defisit dan sulit dijangkau harga beras akan mahal. Konsekuensinya tentu jumlah beras yang dibawah ke rumah menjadi sedikit. Namun anehnya, hal ini sudah diketahui oleh Kemensos kelemahannya tetapi tetap saja melaksanakannya.

Konsep ini tiga ratus enam puluh derajat berbeda atau bertolak belakang dengan rastra.

Penyaluran rastra yang dilakukan oleh BULOG selama ini, menganut satu harga dari sabang sampai merauke. Walaupun daerah tersebut sulit ditembus, pegunungan, perbukitan, selat, sungai atau dari terluar harganya tetap yaitu Rp 1.600. Ini bisa dilihat dari harga beras rastra di daerah papua, walaupun naik pesawat harganya tetap satu yaitu Rp 1.600. Yang lebih hebatnya lagi, sampai detik ini, kita tidak mendengar keluh kesah baik dari masyarakat karena berasnya tidak sampai maupun dari BULOG akibat jauhnya lokasi penyaluran.

Kita tidak bisa bayangkan bagaimana harga di daerah terpencil seperti ini, jika program rastra dihapus dan digantikan BPNT. Bisa-bisa harga beras bisa mencapai lima sampai sepuluh kali lipatnya.

Jika sudah seperti itu, maka jauh panggang dari api jika kita mengharapakn harga pangan bisa stabil. Alih alih stabil, justru kemungkinan kecemburuan sosial bisa saja terjadi antar daerah jika melihat harga yang berbeda-beda.

Oleh karena itulah, seharusnya pemerintah dalam rapat tingkat menteri harus melibatkan kementerian sosial. Selama ini, Kemenko Perekonomian hanya melibatkan menteri-menteri yang berada dibawah koordinasinya saja. Kementerian tersebut adalah Kementerian Pertanian, Kementarian Perdagangan dan Kementerian BUMN.

Seharusnya Kementerian Perekonomian harus melibatkan lintas sektoral seperti Kementerian Sosial. Mengapa? ya, karena kebijakan pemberlakuan rastra berada dibawah Kementerian Sosial.

Menko Darmin harus memberikan pengertian sekaligus menyadarkan bahwa rastra tidak hanya sebagai jaring pengaman sosial saja, namun juga berfungsi sebagai penstabil harga. Jelaskan juga bahwa rastra dan operasi pasar merupakan dua kombinasi kebijakan yang paling ampuh dalam meredam gejolak kenaikan harga selama ini.

Selain itu beri pemahaman juga, bahwa sampai sekarang beras tetap menjadi komoditas politis, strategis dan ekonomis. Sampai kapan? jawabannya sampai beras tidak lagi menjadi makanan pokok 250 juta rakyat Indonesia. Itulah filosofi beras yang harus dipahami dan diresapi oleh semua pihak terutama pemerintah selaku pembuat kebijakan.

Jika sudah memahami filosofi beras secara utuh maka harga pangan dapat dikendalikan. Jika tidak, jangan sampai untuk kesekian kalinya, beras menampakkan diri sebagai biang kerok kegagalan pemerintahan.

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun