Dengan kombinasi seperti itu, maka ada sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin atau lebih kurang 60 juta jiwa yang kebutuhan berasnya terpenuhi oleh program rastra. Artinya pula, tekanan permintaan beras ke pasaran umum berkurang.
Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya program rastra menstabilkan harga. Begitu juga sebaliknya, bisa dibayangkan tekanan permintaan jika 60 juta penduduk menyerbu beras ke pasaran.
Sebenarnya rastralah, Â kunci pembuka rahasia kotak pandora untuk menstabilkan harga. Andaikan rastra sudah dikucurkan pada awal tahun tentu tidak banyak waktu, biaya dan energi terbuang akibat rapat serta diskusi berkepanjangan.
Namun, pemerintah sekarang sepertinya belum menyadari akan pentingnya rastra dalam menstabilkan harga. Buktinya, sampai sekarang Kementerian Sosial (Kemensos) tetap bersikukuh untuk mengganti program rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Apa memang tidak mengerti, ataukah hanya menuruti perintah saja.
Sebenarnya keberhasilan program BPNT dari Kemensos, tolak ukurnya tidak hanya dilihat dari sisi persentase penyaluran. Namun, yang lebih penting adalah kaitannya terhadap stabilisasi harga. Seharusnya keberhasilan pemberlakuan BPNT di 44 kota besar  turut andil dalam menstabilkan harga di kota tersebut. Namun nyatanya justru kota-kota itulah yang menjadi penyumbang inflasi terbesar karena harga pangannya tinggi.
Penjelasannya sebenarnya sederhana. Pada program BPNT, masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras dengan tingkat harga sesuai pasar. Artinya, harga beras tergantung pada harga yang berlaku saat itu atau yang lazim dikenal dengan istilah "mekanisme pasar".
Masalahnya adalah beras yang dibeli masyarakat tadi adalah beras umum yang dimiliki oleh pedagang besar. Yang namanya pedagang, prinsipnya mencari keuntungan. Tidak ada pedagang yang berjualan mencari rugi. Bila perlu dengan mengeluarkan biaya kecil, untuk mendapatkan untung besar. Itulah namanya prinsip ekonomi.
Sudah pasti dengan beralihnya rastra menjadi BPNT, berarti akan ada lonjakan permintaan beras dari masyarakat sebanyak 15 juta KK atau setara dengan 250 ribu ton perbulan. Woow luar biasa. Selain itu, dengan harga yang berdasarkan pasar maka harga beras disetiap wilayah Indonesia akan berbeda-beda.
Sudah pasti bisa ditebak, daerah remote, defisit dan sulit dijangkau harga beras akan mahal. Konsekuensinya tentu jumlah beras yang dibawah ke rumah menjadi sedikit. Namun anehnya, hal ini sudah diketahui oleh Kemensos kelemahannya tetapi tetap saja melaksanakannya.
Konsep ini tiga ratus enam puluh derajat berbeda atau bertolak belakang dengan rastra.
Penyaluran rastra yang dilakukan oleh BULOG selama ini, menganut satu harga dari sabang sampai merauke. Walaupun daerah tersebut sulit ditembus, pegunungan, perbukitan, selat, sungai atau dari terluar harganya tetap yaitu Rp 1.600. Ini bisa dilihat dari harga beras rastra di daerah papua, walaupun naik pesawat harganya tetap satu yaitu Rp 1.600. Yang lebih hebatnya lagi, sampai detik ini, kita tidak mendengar keluh kesah baik dari masyarakat karena berasnya tidak sampai maupun dari BULOG akibat jauhnya lokasi penyaluran.