Dalam konteks diatas, ketika rastra beralih ke BPNT maka akan ada permintaan baru sekitar 17,8 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang akan masuk ke pasaran. Sedangkan kuantum beras yang akan diminta sebanyak 2,78 juta ton. Disini artinya, jika jatah mereka Rp 110 ribu/bulan kita kalikan 12 (satu tahun) akan didapat uang Rp. 1.320.000/RTS. Namun, jika kita kalikan dengan 17,8 juta RTS maka angkanya akan menjadi sangat fenomenal Rp 3,7 Triliun. Sebuah angka fantastis dan sangat menggiurkan. Secara sadar atau tidak perputaran uang yang sangat besar ini tentu sudah menjadi incaran para mafia pangan diluar sana.
Secara teori ekonomi, permintaan yang tinggi dari eks penerima rastra akan mereka manifestasikan sebagai daya beli yang meningkat. Secara praktik, permintaan yang tinggi sudah pasti akan mereka barengi dengan harga yang tinggi pula. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kenaikan harga beras dari hari ke hari. Bahkan yang lebih bahaya lagi adalah harga yang tidak terkendali yang dapat memicu tingginya inflasi. Inilah yang justru lebih berbahaya lagi dan paling ditakuti oleh Presiden Jokowi.
Kenaikan harga beras bisa disebabkan; Pertama, terjadi pergeseran selera penerima BPNT dimana selama ini mengkonsumsi beras medium ke beras premium. Semua bisa saja terjadi, karena RTS akan menganggap uang yang mereka terima cukup memadai untuk membeli beras premium.  Selain itu, bisa saja dalam pikiran mereka terbersit "kalau nasinya enak, maka tidak ada lauk juga tidak apa-apa". Kedua; adanya mafia pangan yang sengaja bermain untuk mengatur pasokan beras sehingga harga terus naik sesuai dengan yang mereka inginkan.
Alasan pertama akan saya jawab dengan hasil penelitian Dr. Bayu Khrisnamurti (2016) yang juga merupakan Ketua Perhepi. Menurutnya tidak banyak disadari, kini naik turun harga beras lebih banyak ditentukan oleh beras kualitas premium, bukan kualitas medium. Pertumbuhan permintaan beras premium mencapai 11%/tahun, mengambil pangsa 38% dari total beras yang beredar. Kelompok, konsumen ini kurang peduli dengan harga beras asalkan kualitasnya bagus.
Selain itu, pangsa konsumen kota ini juga mencapai 56% dari total konsumen beras. Mereka ini pun kurang peduli dengan harga beras. Sebaliknya, permintaan beras medium tumbuh hanya 9%/tahun, mengambil pangsa hanya 21%. Beras jenis ini, diminati warga berpendapatan rendah, sebagian di antaranya warga miskin.
Dengan fakta diatas, maka sangat berbahaya jika apa yang saya asumsikan akan benar-benar terjadi. Â Apa itu? ya, terjadi peralihan selera konsumsi masyarakat miskin dari beras medium ke beras premium. Jika mereka ikut-ikutan mengkonsumsi beras premium, konsekuensinya juga harus mereka terima yaitu dimana pada tingkat ini, konsumen tidak perduli dengan harga beras berapapun harganya. Ujung-ujungnya uang tersebut semakin tidak mencukupi dan sedikit sekali untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok. Daya beli meningkat inilah yang disebut oleh banyak ahli sebagai daya beli semu. Perpindahan selera pasti saja terjadi dan pemerintah pun sepertinya memang menginginkan seperti itu. Tidak ada satu pihak pun yang bisa memantau dan melarang penerima BPNT agar tetap mengkonsumsi beras medium.
Namun, banyak pihak menilai bahwa kartel beras sepertinya tidak masuk diakal jika berdasarkan data jumlah penggilingan padi oleh BPS. Sensus penggilingan padi BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penggilingan padi di Indonesia sebanyak 182.000 unit. Dari jumlah tersebut, penggilingan padi besar (PPB) hanya sekitar 8% atau 14.560 unit dan sisanya 92% atau 167.440 unit penggilingan padi kecil (PPK) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL). Jika kita melihat data diatas, rasanya tidak mungkin jika pengilingan padi besar modern dengan jumlah 14.560 unit dan tersebar di seluruh Indonesia untuk memainkan harga dan pasokan beras.
Jawabannya sangat sederhana, penggilingan padi besar tentu didukung dengan modal besar, peralatan modern, infrastruktur lengkap dan manajemen yang profesional. Teknologi canggih yang mereka punya dapat menciptakan beras dengan merk dan jenis apapun. Semuanya inilah yang memungkinkan mereka menghasilkan produk beras premium berkelas yang pemasarannya bisa antar pulau. Ini kita bisa buktikan dengan melihat hasil produk mereka yang hampir ada di setiap provinsi tanah air. Dengan jumlah yang sedikit dan manajemen yang profesional sangat dimungkinkan komunikasi antar pengusaha dan penguasaan pasar terjadi.
Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan penggilingan padi kecil yang terkenal dengan istilah "one pass" dan manajemen rumahan.... ? apakah mereka dengan jumlah 92% atau 167.440 unit bisa menghasilkan beras premium yang perdagangannya antar pulau...? jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kalau iya, pasti tidak terlalu banyak volumenya. Pasti kebanyakan tidak, mengapa.. ? karena penggilingan mereka hanya sederhana, sehingga beras yang dihasilkan tidak terlalu bagus dan bersih. Akhirnya, atau ujung-ujungnya hasil beras penggilingan mereka dijual juga kepada penggilingan besar. Argumentasi inilah yang bisa menjawab mengapa dengan jumlah sekitar 8 persen saja, penggilingan padi besar mampu menguasai pasar beras di Indonesia.
Jadi berdasarkan uraian panjang diatas beserta argumentasinya, ada sisi lain kelemahan BPNT yang belum terpikirkan. Mengapa belum terpikirkan? Tentu saja karena program BPNT memang baru ujicoba, sehingga sedikit sekali referensi penelitian terkait keunggulannya. Sehingga sangat tepat keputusan Presiden menunda pelaksanaan BPNT dan bahkan diperintahkan kepada jajaran terkait untuk melakukan evaluasi. Semua ini tidak lain dan tidak bukan, karena Negara selalu memegang prinsip untuk tidak berjudi terhadap sesuatu yang tidak pasti.