Pertanyaannya sekarang, mengapa Dirut Bulog menyamakan mengatur pangan dengan tugas Bank Indonesia ? Jawabannya tentu karena pengaruh pangan jauh lebih besar terhadap perekonomian daripada pengaruh moneter. Jika BI diberikan kewenangan lebih, seharusnya BULOG harus juga diberikan kewenangan lebih dalam mengatur tata kelola pangan.
Di Indonesia, Inflasi volatile food merupakan inflasi yang bersumber oleh sejumlah komoditas bahan pangan. Inflasi ini menyumbang secara signifikan dalam menentukan tingkat laju inflasi di Indonesia. Tentunya inflasi ini dipengaruhi tingkat harga pangan. Porsi sumbangannya yang sangat besar terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap berbagai shocks menjadikannya sebagai leading indicators inflasi.
Komoditas bahan pangan tersebut yang memberikan kontribusi yang besar dalam laju inflasi volatile food adalah beras. Sejarah telah membuktikan, bahwa beras sangat powerfull untuk menjadi lokomotif atau pemicu kenaikan harga bahan pangan lainnya.
Bagi negara berkembang Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Pada periode 2002-2007, rata-rata kontribusi kelompok makanan terhadap laju inflasi mencapai lebih dari 50% (Bank Indonesia, 2007). Beras memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap laju inflasi di Indonesia sebesar 24 persen dan 45 persen dari total foodintake atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama. (BPS, 2012).
Mobilisasi pergerakan barang dari daerah surplus ke daerah deficit, antar provinsi, antar pulau akan cepat dilakukan tanpa membutuhkan waktu banyak untuk sekedar diskusi dan koordinasi. Mobilisasi seperti inilah yang sangat dirasakan masyarakat sebagai bentuk hadirnya keadilan pemerintah ditengah-tengah mereka. Betapa masyarakat miskin di Provinsi defisit yang jauh disana, dapat merasakan harga pangan yang  sama dengan Provinsi lainnya.
Selain menjaga rasa keadilan masyarakat Indonesia dalam memperoleh harga pangan yang sama, disisi lain Bulog juga menjaga semangat petani yang menanam. Kegundahan petani karena takut harganya jatuh ketika panen raya tidak akan terjadi karena Bulog sudah siap membeli dan menampung hasil jerih payah mereka. Kejadian petani tidak mau memanen hingga membiarkannya menjadi  busuk di ladang karena rugi hingga tahun depan tidak mau menanam kembali juga tidak akan terdengar.
Semuanya ini bisa dilakukan jika Bulog diberikan kewenangan lebih dan kemudahan dalam melaksanakan fungsinya sebagai stabilisator harga. Distribusi atau perpindahan pangan dari daerah surplus ke daerah defisit bukanlah hal mudah dilakukan, jika mengingat Negara kita sebagian besar lautan dengan ribuan pulau membentang.
Disinilah dibutuhkannya pengalaman dan keahlian manajemen stock apalagi mendistribusikan produk pertanian yang terkenal dengan sifat perishable atau mudah rusak.  Fungsi stabilisator harus dimainkan disini, karena ada dua pihak yang harus diselamatkan yaitu petani dan konsumen dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Semua ini tentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah daerah maupun institusi lain yang bukan ahlinya. Â Oleh itulah sebabnya mengapa BULOG harus diberikan kewenangan lebih, jika mengingat pengelolaan pangan harus dilakukan terpusat dan satu pintu.Â