Beras cadangan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan beras dan dalam rangka mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve, AERR).
Disisi lain, Menurut Dwi Andreas Sentosa data produksi yang di klaim Menteri Pertanian surplus beras sebanyak 17,6 juta ton pada akhir 2017 telah membuat pemerintah terlena. "karena datanya kacau balau, tidak akurat yang menyebabkan tata kelola pangan kita menjadi kacau balau pula hingga menjadi biang keladi kisruh isu soal beras.
Kementan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dari melonjaknya harga beras diawal tahun. Hal  ini semakin sangat subjektif lagi ketika data produksi padi 75% nya berasal dari Kementan dan 25% dari mantra statistic BPS. Dimana data luas panen dan produktivitas digabung menjadi satu data nasional yang merupakan data produksi padi".
Dari penjabaran diatas, sudah terlihat jelas disini titik terang letak carut marut tata kelola pangan. Dengan stock yang hanya dibawah 1 juta ton, sebenarnya sudah terang benderang kebijakan antisipasi apa yang seharusnya diambil pemerintah. Sinyal-sinyal ini sebenarnya sudah terdeteksi jauh hari sebelumnya.Â
Trend kenaikan harga beras di pasaran sudah kelihatan, ditambah dengan menurunnya stock beras di pasar induk cipinang, gangguan serangan hama wereng, hingga rendahnya serapan Bulog. Â Namun karena adanya kepentingan ego sektoral, maka terjadilah ketidaksinkronan antar pemerintah itu sendiri yang dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Perdagangan.
Carut marutnya pengelolaan pangan tanah air tambah semakin terlihat, ketika diawal dengan menunjuk PT PPI sebagai pengimpor beras bukan Bulog. Walaupun kebijakan tersebut tiba-tiba dibatalkan karena banyak masukan dari berbagai pihak dengan alasan ketidak pahaman. Secara tidak langsung, inilah refleksi atau gambaran sebenarnya akan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang ada dalam pemerintahan saat ini.
Oleh karena itulah wajar jika Dirut Bulog menyatakan bahwa tata kelola pangan tanah air masih karut-marut dengan mencotohkan kasus impor beras. Banyaknya Kementerian sebagai atasan  untuk dikoordinasikan yang memerlukan diskusi panjang lebar tentu akan membutuhkan waktu sehingga keputusan yang diambil tidak cepat dan momennya tidak tepat lagi. Â
Sebab itulah, birokrasi tata kelola pangan yang panjang harus segera disederhanakan. Bagaimana caranya ? tentu dengan mempercepat pembentukan Badan Pangan Nasional sebagai amanat Undang Undang Pangan No 18 Tahun 2012, sebagai pembuat kebijakan pangan satu pintu. Jika sudah terbentuk, maka polemik atau kisruh tata kelola pangan air  pasti tidak akan terjadi.
Apalagi masalah overlapping antar kebijakan pangan satu dengan kebijakan pangan yang lain. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan yang satu ini dan negeri ini memang membutuhkannya.
Pernyataan kedua, ketika Dirut Bulog mencontohkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara independen yang berperan dalam stabilisasi moneter. Pengatur uang itu BI bisa bagus. Pengatur komoditi kok tidak bisa bagus. Oleh karena itu, Perum Bulog meminta agar pemerintah memberi tambahan kewenangan kepada Bulog, agar dapat menjalankan fungsinya sebagai stabilisator pangan.