b. BULOG berbentuk Perum
Dengan rangkaian cerita panjang peristiwa diatas, terlihat sekali bahwa kewenangan BULOG semakin kecil dan seakan tidak berdaya. Seperti contoh, waktu BULOG berbentuk LPND ketika harga pangan tinggi dengan cepatnya BULOG melakukan intervensi pasar tanpa melakukan koordinasi dengan pihak lain karena langsung dibawah Presiden. Sekarang ketika berbentuk BUMN, Perum BULOG harus berkoordinasi dulu dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan operasi pasar. Akibatnya, terkadang harga terlanjur cepat meroket dan sulit diatasi karena waktu yang digunakan untuk koordinasi yang panjang, termasuk mengurus surat izin pelaksanaan operasi pasar.
Selain itu, dengan sudah berubah bentuk menjadi perusahaan umum BUMN maka prinsip bisnis harus dikedepankan. Karena BUMN dituntut untuk memberikan keuntungan kepada Negara selaku pemegang saham. Jadi, semua kegiatan yang dikelola oleh BULOG harus menghasilkan laba dan tidak boleh rugi. Itulah mengapa terkadang BULOG seperti di persimpangan dan terkesan lambat mengambil keputusan untuk segera melakukan tindakan. Karena disana ada pertimbangan bisnis. Terkadang penugasan yang dilakukan pemerintah tidak mempetimbangkan hal itu. Disuruh melaksanakan tugas namun tidak ada kompensasi kerugian dan jaminan pasar untuk menyalurkannya. Sehingga tidak bisa mempersalahkan pihak BULOG, yang lambat mengambil keputusan karena penugasan yang bersifat merugikan perusahaan.
Untuk menyikapi hal itu, agar terdapat solusi tepat "win-win solution" ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan :
1. Mempercepat terbentuknya Badan Otorisasi Pangan
Sebenarnya kalau kita benar-benar ingin terwujudnya kedaulatan pangan dengan goal akhir kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya maka harus ada "good will" serta konsistensi dari kebijakan yang sudah diambil. Seperti contoh ; UU pangan no 18 tahun 2012 sudah mensuratkan agar dalam waktu tiga tahun sudah terbentuk lembaga otorisasi pangan. Namun sampai dengan detik ini, penghujung tahun 2017 batang hidung lembaga ini belum terbentuk juga.
Seharusnya anggota DPR sebagai wakil rakyat pro aktif mendorong terbentuknya lembaga pangan yang semestinya terbentuk akhir tahun 2015. Karena, Undang Undang Pangan No. 8 tahun 2012 yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012 dilatarbelakangi akibat carut-marutnya penanganan pangan di negeri ini. Sembilan bahan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, masih terus menyisakan persoalan tiap tahunnya, silih berganti seakan tiada henti. Mulai dari isu kenaikan harga, produksi yang berkurang, persoalan distribusi, Â isu keamanan pangan, koordinasi yang lemah antar lembaga hingga maraknya praktek kartel pangan.
Pemerintah seolah-olah tidak berdaya menghentikan fenomena-fenomena yang terjadi, mulai dari makanan pokok beras hingga bahan pangan kecil seperti bawang dan cabai. Oleh karena itulah, DPR harus mendorong Pemerintah saat ini agar segera meleburkan berbagai instansi untuk menjalankan kebijakan pangan.
Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang berdaulat, sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilaksanakan oleh sebuah Kementerian teknis yang teramat sektoral. Lembaga yang bernama Badan Pangan Nasional inilah sangat diharapkan sebagai pemain tunggal untuk membuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional.
2. Memberikan Penugasan Khusus Kepada BULOG
Untuk mengatasi berbagai persoalan pangan yang ada, sebenarnya tidak sulit diselesaikan. Masalah harga tinggi karena kelangkaan produksi serta harga rendah karena produksi tinggi dapat diatasi dengan memberikan penugasan khusus kepada Perum BULOG. Sebagai wakil pemerintah, maka BULOG harus dipersenjatai agar menjadi kekuatan penyeimbang pasar.