Program Raskin/Rastra inilah yang menjadi jawaban sebenarnya, mengapa pemerintah setiap kali konferensi pers selalu mengatakan cadangan beras pemerintah aman, bahkan sampai dibilang hingga 6-8 bulan ke depan. Walaupun yang dibilang 6-8 bulan tersebut adalah cadangan beras yang peruntukkannya buat masyarakat penerima rastra bukan masyarakat umum.
Lalu pertanyaan besarnya sekarang adalah apakah dengan tidak adanya rastra pemerintah tetap berani dan percaya diri dengan stock yang bertahan sekitar 3 hari saja dengan kuantum lebih kurang 300 ribu ton, bahkan mengklaim stock beras bertahan selama beberapa bulan ke depan sama seperti sebelumnya ?
KEBIJAKAN RASTRA & BPNT
BULOG mendapat tugas dari pemerintah melalui Instruksi Presiden (INPRES) untuk melakukan penyerapan dan penyaluran beras. Tugas seperti ini sudah biasa dilaksanakan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dan tertuang dalam Inpres yang di dalamnya mengandung Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Selain itu, Inpres juga menginstruksikan menteri terkait untuk membuat kebijakan pengadaan beras bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan penyaluran cadangan beras untuk menjaga stabilitas harga. Namun, semua seakan menjadi berlawanan ketika program BPNT mulai diberlakukan untuk menggantikan program rastra.
Rastra inilah sebenarnya yang membuat cadangan beras pemerintah yang kalau kita hitung tadi bertahan 3 hari, mampu untuk menjaga kondusifnya negeri ini. Mengapa.. ? karena pedagang atau pengusaha beras tidak melihat besarnya beras cadangan pemerintah, namun melihat stock total beras yang berada di gudang BULOG. Karena stock beras yang ada, suatu saat atau kapan saja bisa dipakai untuk melakukan stabilisasi harga melalui operasi pasar. Sehingga dengan waktu singkat mampu membanjiri pasar-pasar yang harganya dinilai terlalu tinggi.
Sedangkan pada program BPNT yang serentak diberlakukan pada tahun 2018, BULOG harus bersaing dengan pelaku usaha lain dalam menawarkan beras pengadaannya. Perilaku sejati konsumen Indonesia, (tidak mengenal besarnya penghasilan) umumnya mengkonsumsi beras yang penampakannya baik atau premium. Â Ciri karakteristik konsumen kelas ini, mereka tidak perduli atau rela membayar berapapun harga yang ditawarkan oleh produsen atau dengan kata lain mereka tidak memperdulikan harga yang penting kualitas.
Dengan situasi seperti diatas tentu sangat riskan, andaikan masyarakat berpendapatan rendah terseret arus dengan ikut-ikutan mengkonsumsi beras kelas premium ini. Oleh karena itu, jika kondisi seperti ini tidak dikelola dengan baik maka program yang bertujuan baik justru dapat menjadi boomerang. Karena daya beli masyarakat yang mendapatkan uang dari bantuan uang tunai yang sebenarnya semu, tentu akan menjadi sia-sia dan menjadi blunder mematikan bagi masyarakat penerima bantuan.
Selain itu, kenaikan harga beras premium sudah dapat dipastikan kenaikkannya setiap saat. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang mendapat program BPNT diberi kebebasan membeli beras di pasaran pada tingkat harga berapapun. Namun yang menjadi masalah utamanya adalah yang mendorong kenaikan harga beras selama ini adalah beras premium. Karena sejumlah uang yang sebesar 110 ribu rupiah pasti diterjemahkan pedagang sebagai daya beli yang meningkat dari masyarakat. Pedagang tentu sangat tertarik memproduksi beras premium karena melihat daya beli yang tinggi dari masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah mesti harus berhati-hati dalam mengambil keputusan tentang kebijakan pangan ke depannya. Pilihannya tinggal ; (1) menerapkan program BPNT dengan konsekuensi penambahan kuantum beras cadangan pemerintah diatas 1 juta ton atau (2) tidak menambah kuantum beras cadangan pemerintah namun tetap memberikan kepastian outlet penyaluran BULOG.
*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya