Target Presiden Jokowi untuk berswasembada pangan dalam waktu tiga tahun terhitung semenjak keterpilihannya, masih menyisakan sekelumit polemik. Swasembada pangan khususnya beras menjadi target utama di dalam sektor pertanian. Target terus dikejar, namun tantangan juga terus berdatangan. Seluruh aparatur pemerintah, mulai dari TNI, POLRI, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan BULOG bahu membahu dalam mewujudkan tercapainya swasembada pangan.
Sorotan berupa kritik dan saran dari berbagai pihak terus berdatangan terhadap capaian dan kebijakan yang diambil tiga tahun terakhir. Apalagi pada tahun 2017 ini, upaya Perum BULOG untuk merealisasikan target pengadaan beras sepertinya sulit tercapai. BULOG merevisi target pengadaan berasnya dari 3,5 juta ton menjadi 2,5 juta ton. Menurut Dirut Perum BULOG, Djarot Kusumayakti, faktor ketersediaan dan tingginya harga gabah dan beras menjadi pemicunya. Sampai dengan bulan Oktober 2017, jumlah beras yang diserap sebanyak 2 juta ton jauh dari target sebanyak 3,5 juta ton.
Menarik disini adalah melihat bagaimana cara TNI dan POLRI dalam membantu pemerintah dalam mewujudkan program swasembada pangan. TNI dengan caranya sendiri membentuk Tim Serap Gabah Petani (SERGAP) dengan menerjunkan Tim dari Mabes AD hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa). Sedangkan POLRI membentuk Tim Satgas Pangan yang pimpin Irjen Pol Setyo Wasisto, dimana didalamnya tergabung instansi-instansi terkait seperti Kementan, Kemendag, KPPU, BULOG, Bea Cukai dan Kemendagri.
Jika Tim Sergap TNI diterjunkan mulai dari sisi hulu (on farm atau budidaya) hingga penyerapan gabah beras petani, maka Tim Satgas Pangan berkonsentrasi pada sisi hilir yaitu pengawasan harga, ketersediaan sembako, hingga sisi penegakan hukum. Sebuah kolaborasi yang sangat baik.
 Polemik PT IBU hingga Demo Petani di Pinrang
Masih ingatkah kita ketika dengan polemik kasus penggerebekan pabrik beras PT IBU beberapa waktu lalu. Penggerebekan dilakukan oleh Bareksrim Mabes Polri yang tergabung dalam Satgas Pangan pada hari kamis sore, 20 Juli 2017. Satgas Pangan menemukan fakta dilapangan bahwa PT IBU melakukan pembelian gabah ditingkat petani Rp 4.900, jauh diatas harga pembelian pemerintah Rp 3.700. Sehingga diduga, kejadian ini dapat mematikan pelaku usaha lain. Hal ini bisa menyebabkan mayoritas petani pasti menjual gabah ke PT IBU.
Polemik lainnya yaitu yang terjadi awal bulan Oktober tadi, dimana ratusan petani dari berbagai kelompok tani di kantor Pinrang melakukan unjuk rasa di kantor DPRD Pinrang Sulawesi Selatan. Mereka kecewa dengan adanya operasi yang dilakukan Satgas Pangan Pinrang atas larangan menjual gabah keluar dari wilayah Pinrang. Mereka merasa dirugikan apabila dilakukan pelarangan karena harga jual di luar wilayahnya lebih tinggi daripada di Pinrang sendiri.
Disisi lain, Koran Tempo pada hari Rabu 14 Juni 2017, pada berita utamanya menurunkan artikel berjudul "Ada Pemaksaan dalam Penyerapan Gabah Petani oleh TNI". Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan, berdasarkan kajian pihaknya periode Mei-November 2016 menemukan bahwa Bulog menerima gabah petani berkualitas buruk karena ada tekanan dalam bentuk pemaksaan dari pihak TNI agar membeli gabah beras petani. Ombudsman juga menilai, program upaya khusus dan operasi serap gabah petani belum memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah penyerapan beras oleh Bulog. Sedangkan dalam operasi serap gabah, Ombudsman menemukan ada pemaksaan kepada petani.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari ketiga peristiwa yang terjadi diatas ? mengapa ketiga-tiganya menimbulkan kontroversi ? apa yang salah dengan kebijakan pangan yang diambil oleh pemerintah diatas ?
 Menggugah Nurani Petani & Pedagang
Pelajaran berharga yang dapat kita petik adalah, bahwa inilah gambaran atau potret sebenarnya karakterisitik dunia perberasan di tanah air. Karakteristik pasar yang bersifat terbuka, dimana beras dapat masuk dan keluar di suatu daerah sepanjang masih ada perbedaan marjin keuntungan. Petani bebas menjual hasil padi mereka kemanapun sepanjang itu memberikan keuntungan. Keadaan ini akan terhenti jika sudah tidak ada lagi perbedaan marjin di kedua wilayah. Itulah hukum ekonomi, alami dari sananya dan sampai sekarang pun belum ada yang mampu merubah teori tersebut. Sehingga, akan menjadi sia-sia dan terus menuai polemik jika langkah-langkah yang diambil oleh pihak TNI dan POLRI bertentangan dengan teori diatas.