Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Petani di Indonesia Tetap Miskin?

17 September 2017   19:47 Diperbarui: 17 September 2017   20:15 11169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi internal sudah clear. Kementan sudah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta tata kelola pangan. Hadirnya KPK di lingkungan Kementan merupakan pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang bisa saja dilakukan pejabat Kementan. Kerjasama juga dimaksudkan untuk mengawal setiap lelang pengadaan barang. Sehingga, sangat kecil peluang pejabat yang bermain-main dalam pengadaan fiktif.

Lalu, bagaimana dengan faktor eksternal. Apakah bantuannya tidak sesuai peruntukkannya atau bantuannya tidak tepat sasaran. Kedua-duanya bisa saja terjadi di lapangan. Masalah spesifikasi lokasi teknologi patut juga diperhitungkan. Banyaknya mesin-mesin traktor yang mudah rusak atau tidak bisa dipakai, maupun dryer (pengering gabah) atau RMP (mesin penggiling padi) yang dingin bisa menjadi bukti. Traktor yang mudah rusak bisa disebabkan oleh sumber daya manusia yang belum disiapkan untuk mengoperasikan serta merawatnya. Begitu juga dengan mesin pengering atau penggiling, selain SDM yang kurang mumpuni bisa juga karena lokasi penempatan yang salah yang jauh dari sentra produksi. Istilah "bisa memakai namun tidak bisa merawat" bisa saja terbukti.

Tidak kita pungkiri, teknologi yang ada harus diimbangi dengan SDM yang handal. Bukan bermaksud untuk merendahkan petani-petani kita di daerah. Tapi inilah faktanya, petani-petani yang hidupnya sengsara adalah mereka yang tidak punya lahan yang luas. Mereka bekerja hanya dalam porsi 8-12 hari kerja, selebihnya tidak jelas apa pekerjaannya. Banyak petani kita yang tidak sekolah sampai SMP, mereka tidak bisa membaca, tidak berinteraksi dengan dunia luar yang memungkinkan informasi atau pengalaman bisa masuk. Terhadap hari dan kalender pun mereka tidak penting karena mencari makan dengan bertanam atau memberi makan ternak adalah kewajiban saban hari yang harus dikerjakan.

republika.co.id
republika.co.id
Dari sisi efektivitas, bisa saja kemungkinan subsidi input yang salah sasaran. Petani yang kita harapkan mendapat bantuan untuk mengangkat kesejahteraannya, justru dinikmati segelintir pihak. Faktanya menurut BPS, pada tahun 2013 jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia adalah 14,25 juta rumah tangga atau 55,53% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Kelompok petani gurem inilah yang merupakan petani paling rentan menghadapi resiko. Biasanya lagi, para petani gurem memiliki modal terbatas sehingga meminjam dari rentenir dengan bunga modal yang cukup besar, kemudian begitu dijual menghadapi perilaku tengkulak yang sangat merugikan mereka.

Menurut Prof Sajogyo, petani gurem sangat laris jadi objek penelitian dan diskusi namun petani berdasi seakan tabu untuk diusut ujung pangkalnya. Petani berdasi merupakan pemilik sawah atau kebun yang tidak pernah mengerjakan sendiri tanahnya. Menurut BKPM, selama lima tahun terakhir sudah mencapai nilai investasi 8 tiliun dengan jumlah proyek 377, dengan nilai investasi diatas 1 triliun. Belum lagi fenomena baru dimasyarakat kita, yang menanamkan uang dibawah ratusan dan puluhan juta di sektor pertanian.

Selain itu, fakta selanjutnya, menurut kepala BPS Suryamin, berdasarkan survey yang dilakukan selama periode sepuluh tahun antara tahun 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun. Rata-rata diakibatkan beberapa hal dimana antara lain seperti alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan.

Kepala BPS juga menyatakan keperihatinannya mengenai pendapatan keluarga petani yang semakin tidak berdaya. Rata-rata pendapatan buruh pertanian hanya Rp 1,82 juta per tahun per rumah tangga. Sangat timpang jika dibandingkan dengan buruh diluar pertanian seperti sektor perkebunan dengan pendapatan 3,27 juta per tahun per rumah tangga. Dapat kita bayangkan, jika uang sebanyak itu dibelanjakan keperluan sehari-hari pada zaman sekarang.

Resolusi perbaikan

Lalu apa solusinya agar kesejahteraan petani kita meningkat dan mereka tidak meninggalkan sawahnya. Pertama, harus ada kelembagaan petani yang kuat.Konsep koperasi zaman dahulu sangat baik untuk dikembangkan lagi. Kelembagaan yang mati suri ini, harus diberdayakan dan dilakukan pembinaan oleh pemerintah. Kelembagaan akan mempermudah pemerintah dalam mengidentifikasi jumlah petani miskin, apa saja yang dibutuhkan serta mengumpulkan secara kolektif hasil produksi mereka. Selain itu, kelembagaan merupakan wadah yang efektif dalam melakukan sosialisasi kegiatan, memberi kesadaran petani serta sebagai wadah simpan pinjam.

 Kedua, diversifikasi usaha tani. Seperti kita ketahui bersama, dari tahun ke tahun kesejahteraan petani tidak mengalami kenaikan significant. Pengeluaran mereka selalu lebih besar daripada pendapatannya. Oleh karena itu, diperlukan usaha lain atau sampingan selain usaha pokok. Banyak pola yang sudah dikembangkan dan berhasil baik ditempat lain patut dicontoh. Petani bisa saja melakukan tumpang sari dengan tanaman lain. Bisa juga dengan beternak ikan lele, gurame, nila, patin, ayam, bebek, burung puyuh ataupun usaha lain yang dapat dipadukan dengan usaha pokok mereka. Tentu semua ini memerlukan penyuluh yang handal yang mengusai dibidang itu. Sehingga petani ada pemasukan lain dan tidak membuang-buang waktu untuk menunggu panen usaha pokoknya.

Ketiga, Reformasi Agraria.Aspirasi yang didengung-dengungkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) patut juga kita pertimbangkan. Karena tidak ada rumusnya, dengan peralatan modern dan canggih namun luas lahan yang hanya 0,3 hektar bisa menghasilkan keuntungan skala industri. Mengapa petani di luar sana seperti Amerika, Kanada, China, Vietnam, Thailand dan lain sebagainya sejahtera semua ? jawabannya, karena rata-rata mereka memiliki luas lahan diatas 5 hektar. Sehingga, berbagai bantuan yang diberikan baik itu bibit maupun mesin bisa dimaksimalkan penggunaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun