Isu kecepatan laju pertambahan penduduk Indonesia yang mencapai 1,3-1,5% per tahun, harus diimbangi dengan laju pertambahan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar Negara merasa aman untuk dapat memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Tetapi kenyataannya, justru setiap tahun diperkirakan laju alih fungsi sawah hampir 100 ribu hektar dan kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 30 ribu hektar per tahun. Keadaan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk memikirkan fakta tersebut.
Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, dikenal sebagai sebagai pemakan nasi dalam jumlah besar. Awalnya, kultur makan beras hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara itu, masyarakat Nusa Tenggara, Maluku dan Papua berkultur makan umbi-umbian, sagu dan sukun. Namun sejak "revolusi hijau" 1970-an, kultur makan beras masuk sampai pedalaman papua. Selama empat dekade terakhir, terjadi diversifikasi kultur menyantap karbohidrat. Sayang pergeseran kultur lebih kuat mengarah ke gandum, dalam bentuk mi dan roti, bukan jagung atau umbi-umbian.
Kita tidak perlu berkaca terus kebelakang, karena masalah di depan mata sudah menanti. Menurut  para pengamat pertanian, kita semua berperan dominan dalam membuat keadaan masyarakat hingga sangat ketergantungan terhadap beras. Pertama dengan menjadikan beras sebagai komoditas politis, perhatian terhadap beras melebihi dari proporsi yang seharusnya dan secara tidak langsung ini menjadikan komoditi lain menjadi inferior, kurang bergengsi untuk mengkonsumsinya. Kedua, berbagai program sebelumnya, seperti pengadaan beras untuk pegawai negeri dan penanggulangan kelaparan dan raskin, makin memasyarakatkan konsumsi dan ketergantungan masyarakat terhadap beras dan menutup peluang pengembangan komoditas substitusinya.
Namun, semua permasalahan itu bisa diatasi jika masing-masing pihak yang berkompeten duduk satu meja dan meninggalkan ego sektoral masing-masing. Perlu ada lembaga baru yang menjadi penghubung antara kebijakan satu Kementerian/Lembaga dengan Kementerian/Lembaga lain. Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka kemungkinan besar berbagai polemik yang terjadi selama ini tidak akan terjadi. Overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain juga tidak akan terdengar. Polemik data produksi, konsumsi yang melahirkan impor sedikit demi sedikit akan sirna. Intinya adalah sesuai dengan pepatah "serahkan pada ahlinya" kalau memang negeri ini akan maju dan Berjaya.
*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H