Pada bagian dua ini, saya akan menyajikan tulisan dengan argumentasi yang sangat sederhana. Saya juga berusaha sedikit mungkin mengindari penggunaan kata-kata yang rumit dan berbelit-belit. Dengan harapan, jalan pikiran dari tulisan ini mudah dipahami dan dimengerti oleh banyak pihak. Sehingga, apa yang saya harapkan dari tujuan penulisan ini bisa tercapai.
Masih menurut Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI Andi Dulung. Pada tahun 2018, 10 juta keluarga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) otomatis tak lagi menerima beras rastra.
Dia menambahkan, "sasaran target penerima bantuan pangan non tunai itu juga agar ada peningkatan inklusi keuangan, dimana penerima kartu otomatis punya rekening bank. Kita salah satu terendah di Asia inklusi keuangannya baru sekitar 60%. Berkaca dari India, penerima manfaat ada 300 juta dari 1,2 miliar penduduk bisa dilakukan secara cepat sambungnya, target 10 juta penerima bantuan pangan non tunai pada 2018 tersebut bukanlah hal yang muluk-muluk. Nanti oktober ini baru kita tentukan mau start dari 6 juta dulu atau 7 juta penerima" (24/8/2017).
Dari pernyataan diatas, sepertinya alasan peningkatan inklusi keuangan merupakan alasan kuat dibalik penggantian Program rastra menjadi BPNT tahun depan. Pengurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat merupakan bagian dari tujuan utama penerapan BPNT. Penarikan uang dari masyarakat dengan menaikkan suku bunga merupakan senjata andalan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selama ini dalam kebijakan moneternya. Pemerintah berpikir, dengan berkurangnya uang yang beredar laju inflasi bisa lebih di kendalikan sesuai dengan yang diharapkan.
Padahal nyatanya, golongan sumber bahan makanan lah yang lebih besar menyumbangkan inflasi dibandingkan sumber non bahan makanan. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan merilis, bahwa diperkotaan laju inflasi bahan makanan bisa 70% : 30% jika dibandingkan dengan non bahan makanan. Untuk predesaan, laju inflasi lebih parah lagi yaitu bisa mencapai 80% berbanding 20%. Nah beras karena sebagai bahan makanan utama, sudah pasti penyumbang inflasi terbesar dari golongan bahan makanan. Semua ini pasti sudah diketahui oleh pemerintah yang dalam hal ini lembaga-lembaga terkait. Artinya juga disini, kebijakan moneter akan menjadi sia-sia jika kestabilan harga pangan tidak tercapai.
Selain itu, rujukan negara India sebagai negara yang paling cepat melaksanakan program BPNT juga kurang tepat. Seharusnya jika ingin merujuk, rujuklah ke negara asal pencetus voucher pangan ini yang notabene sudah lama menerapkannya yaitu Amerika Serikat (USA). Tetapi faktanya, menurut para pakar kebijakan pangan, justru negara USA sekarang malah sedang mempelajari skema rastra sebagai jaring pengaman sosial warga miskinnya, untuk menggantikan voucher atau food stampnya mereka.
Namun, kepercayaan diri Dirjen Kemensos seakan bertolak belakang dengan fakta yang ada. Hal ini terungkap waktu rapat koordinasi (Rakor) yang dipimpinnya sendiri di Hotel Sheraton Bandar Lampung Jum'at 4 Agustus 2017. (www.detiklampung.com). Padahal hanya beda beberapa hari saja. Peserta rakor mengungkapkan bahwa ujicoba BPNT mengalami berbagai kendala dan hambatan. Keterlambatan BPNT terlihat dari jumlah serapan yang baru 18 persen dari target.
Kendala tersebut antara lain; lambatnya distribusi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) penerima BPNT, bantuan Rp 110.000 ke KKS yang terlambat, lambatnya pendirian e-waroeng, distribusi barang dari Bulog sering mengalami keterlambatan, mesin EDC dari BRI sering mengalami error hingga terdapat beberapa nama yang dobel dan beberapa nama yang salah.
Dua pernyataan yang agak berseberangan. Pertanyaannya, apakah semua permasalahan diatas bisa dituntaskan dalam beberapa bulan ke depan...? Logikanya, tahun 2017 saja ujicoba di 44 kabupaten/kota dengan 1,2 juta keluarga miskin sampai sekarang kendala yang dihadapi belum tuntas, apalagi tahun depan dengan 10 juta penerima di 416 kota.. sebuah tanda tanya besar ?
Artinya, kalau memang belum siap dan masih membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya tidak perlu terburu-terburu dalam penerapannya. Seharusnya kendala ujicoba BPNT yang sudah teridentifikasi sekarang, bisa menjadi acuan untuk menunda pelaksanaannya tahun depan. Tetapi jika Kemensos merasa optimis mampu mengatasi permasalahan teknis tersebut tahun depan, maka saya beranggapan bahwa satu masalah telah selesai. Lalu masalah lain terkait swasembada pangan, stabilisasi harga, kesejahteraan petani apakah juga sudah terselesaikan. Tentu jawabannya tidak.
Kalau jawabannya disimpan di gudang, maka dibutuhkan biaya perawatan yang besar. Terus mau sampai kapan disimpan ? karena beras merupakan makhluk hidup juga yang melakukan proses bilogi, fisika dan kimia sehingga rentan mengalami kerusakan ? lantas, bagaimana dengan penyerapan beras petani tahun depan kalau beras tahun sebelumnya masih ada dan belum juga disalurkan ?
Pertanyaan demi pertanyaan diatas memang kelihatan seperti sederhana, namun berdampak luas. Kita pakai hitung-hitungan matematika sederhana saja. Andaikan BULOG membeli sebanyak 4 juta ton beras petani dengan harga Rp 7.300 maka uang negara yang dipakai adalah sebanyak lebih kurang 30 Triliun. Artinya, jika beras tersebut tidak bisa disalurkan secepatnya, maka potensi kerugian negara sudah ada di depan mata. Itu baru dari satu sisi.
Lantas bagaimana solusinya. Ada juga opsi yang mengatakan, kalau begitu BULOG tidak usah lagi membeli beras petani karena sudah ada perusahaan swasta yang membeli diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). BULOG adalah wakil pemerintah dalam hal menetralkan situasi atau menstabilkan harga. Perusahaan swasta berani membeli harga diatas HPP karena ada BULOG sebagai pesaing. Lalu, kalau BULOG tidak lagi membeli beras petani, artinya tidak ada lagi pesaing atau competitor mereka di lapangan.
Dalam kondisi seperti ini, apakah ada pihak yang berani memeberikan garansi bahwa pihak swasta akan tetap membeli diatas HPP.. ? kalau iya, lalu pertanyaannya, bagaimana dengan gabah beras petani yang mengalami kerusakan atau basah karena musim hujan, apakah tetap dibeli dengan harga layak atau diatas HPP ? Kalau ada pihak yang berani menggaransi seperti itu, artinya pemerintah harus segera mengevaluasi keberadaan lembaga pangan di negeri ini.
Namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan seperti itu. Pemerintah sudah menggelontorkan uang triliunan rupiah, namun hasil yang didapat belum sesuai dengan yang diharapkan. Tetap saja petani kita menjerit karena harganya jatuh akibat buruknya hasil panen mereka. Begitupun juga kesejehteraan petani padi kita yang dari tahun ke tahun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Bahkan, sekarang fenomena petani berdasi dan petani yang menjadi buruh di tanah mereka sendiri dari hari ke hari semakin bertambah.
Itu baru dari sisi penyerapan gabah beras petani. Sisi lainnya, andaikan BULOG tidak lagi membeli beras petani maka tidak akan ada lagi kekuatan pemerintah dalam hal urusan menstabilkan harga pangan di pasaran. Umumnya jika harga beras naik, maka pemerintah dengan sigapnya menugaskan BULOG untuk mengintervensi pasar dengan operasi pasar. Jumlah beras yang banyak, tentu akan mempermudah pemerintah mengguyuri beras ke pasaran. Pedagang yang sengaja "bermain" dengan menahan stock mereka, sudah dipastikan akan menerima konsekuensi kerugian. Pertanyaannya, jika pemerintah tidak mempunyai stock beras, mau pakai apa untuk menstabilkan harga.. ? Ingat, kenaikan harga beras akan memicu kenaikan bahan pokok lainnya.
Bantuan pangan non tunai yang sudah dibacakan oleh Presiden Jokowi dihadapan para wakil rakyat, dan didengar seluruh rakyat Indonesia haruslah kita sukseskan bersama. Memang ada benarnya tujuan pemerintah, dimana masyarakat miskin tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk menebus rastra. Selain itu, masyarakat penerima mengerti produk perbankan dengan memiliki rekening sendiri. Tidak ada lagi transaksi tunai, seluruh program bantuan dalam satu kartu sehingga lebih efisien dan yang paling utama berkurangnya peredaran uang tunai. Namun, agar penerapan BPNT ini dinilai tidak kontraproduktif atau berlawanan dengan program-program yang sudah ada. Maka, harus ada solusi yang mampu mensinkronkan antara kebijakan satu dengan kebijakan sebelumnya yang sudah diambil.
Tetap menugaskan BULOG sebagai penyedia bahan pokok dalam program BPNT, merupakan solusi tepat yang saya nilai. Mengapa.. ? Dari sisi pengalaman, BULOG tidak perlu diragukan lagi. Tidak ada lembaga lain di negeri ini, yang dari awal pendiriannya sampai dengan sekarang tugasnya berkutat dengan pangan. Sudah bisa dipastikan tingkat keberhasilannya, apalagi mengingat umur BULOG yang sudah setengah abad, usia emas atau 50 tahun.
Dengan penugasan BPNT kepada BULOG, maka kekhawatiran akan kerugian negara yang lebih besar bisa dihindarkan baik dari sisi materi maupun non materi. Kerugian materi berupa uang yang saya perkirakan sekitar 30 Triliun bisa diselamatkan, serta kerugian non materil seperti kemiskinan petani serta kerusuhan sosial juga bisa dhindarkan.
Hal ini disebabkan, karena pemerintah tidak perlu bingung lagi terhadap hasil dari penyerapan gabah beras petani, karena sudah disalurkan untuk penerima BPNT. Harga gabah beras ditingkat petani menjadi stabil, petanipun sejahtera. Tidak hanya itu, harga beras ditingkat konsumen juga stabil sehingga tidak ada gejolak harga dan program swasembada pangan pun bisa tercapai.
Akhirnya, semua kebijakan sebelumnya bisa diselaraskan dan tujuan akhir bisa diwujudkan. Itulah kata kuncinya, tetap menugaskan BULOG sebagai penyedia komoditas bagi penerima BPNT merupakan jalan keluar yang paling tepat dan bijaksana.
                                                                                             *) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H