Sedih dan miris rasanya ketika mendengar pernyataan Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Andi Dulung mengenai bantuan pangan non tunai (BPNT) saat lokakarya "Pemanfaatan Teknologi untuk bantuan sosial" di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Logika berpikir yang sangat sederhana, terlalu simple, sangat jauh dari kata komprehensif. Seperti terlihat kurang memahami persoalan pangan secara menyeluruh. Jauh panggang dari api, kalau kita mengharapkan untuk berpikir sampai dikaitkan dengan konsep swasembada pangan. Mulai dari pembelian gabah beras petani, stabilisasi harga ditingkat petani, stabilisasi ditingkat konsumen hingga pemupukan stock beras nasional. Itulah potretnya.
Tulisan ini tidak berupaya untuk menyudutkan satu pihak, namun mencoba memberikan pemahaman menyeluruh untuk lebih melihat persoalan secara utuh. Sebenarnya sudah banyak tulisan para pakar yang membedah masalah ini. Saya pun sudah bosan untuk membahas masalah BPNT berkali-kali. Termasuk juga yang membaca tulisan-tulisan saya. Tapi tidak mengapa, akan saya ulangi demi kebaikan dan kepentingan bangsa tercinta.
Saya coba rangkum satu persatu pernyataannya, namun jika terlalu panjang akan disambung pada bagian dua. Biar pembaca tidak jenuh dan sedikit mudah untuk dipahami.
Pernyataan pertama, "kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong". Peryataan ini semakin membuat saya bertanya-tanya, kalau sudah tahu tidak dapat mengontrol harga terus kenapa tetap dipaksakan. Apakah memang benar-benar tidak tahu pentingnya stabilisasi harga...? atau apakah sudah tahu terus menganggap enteng ?
Baik, saya bantu jelaskan lagi disini. Stabilisasi harga sangat dibutuhkan negeri ini dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya. Beras merupakan makanan pokok yang sangat powerfull dan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokomotif kenaikan harga pangan lainnya. Kita harus ingat dan harus sadar bahwa beras merupakan golongan bahan makanan yang sangat besar menyumbang inflasi. Ingatkah krisis 1998, gara-gara inflasi super tinggi, harga pangan meroket, 10 juta orang kehilangan pekerjaan hingga memicu kerusuhan sosial berupa penjarahan dimana-mana. Selain itu jangan kita lupakan juga peristiwa tritura tahun 1966, serta runtuhnya Uni Sovyet karena langkanya pangan yang memicu tingginya harga.
Pertanyaannya sekarang, jika harga sudah terlanjur meroket bagaimana..? apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredamnya.. ? disisi yang lain pemerintah sudah menghapuskan rastra.. ?
Oleh karena itulah, agar tidak bingung saya jelaskan lagi pentingnya rastra dibandingkan BPNT. Program raskin/rastra dan operasi pasar merupakan senjata utama andalan pemerintah untuk menstabilkan harga beras di pasaran. Dengan hilangnya senjata utama rastra sebagai penstabil harga, dapat dipastikan harga menjadi tidak akan terkontrol.Â
Hilangnya rastra menyebabkan tidak adanya lagi outlet penyaluran bagi pembelian beras petani dalam negeri. BULOG sudah pasti mengurangi pembelian, karena biaya perawatan besar dan kerugian negara sudah ada di depan mata. Dengan sedikitnya jumlah gabah/beras yang diserap, ini berarti stok beras yang dikuasai oleh BULOG akan sedikit. Stok yang kecil akan membuat langkah BULOG dalam hal menstabilkan harga tidak akan menjadi leluasa.
Pernyataan kedua ini, semakin aneh lagi. Sudah jelas-jelas tahu kelemahannya, namun masih tetap ngotot melaksanakan BPNT. Inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang diungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum layak untuk diterapkan tahun depan. Pernyataan KPPU yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya juga dijadikan pegangan.