Namun, banyak pihak menilai bahwa kartel beras sepertinya tidak masuk diakal jika berdasarkan data jumlah penggilingan padi oleh BPS. Sensus penggilingan padi BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penggilingan padi di Indonesia sebanyak 182.000 unit. Dari jumlah tersebut, penggilingan padi besar (PPB) hanya sekitar 8% atau 14.560 unit dan sisanya 92% atau 167.440 unit penggilingan padi kecil (PPK) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL). Jika kita melihat data diatas, rasanya tidak mungkin jika pengilingan padi besar modern dengan jumlah 14.560 unit dan tersebar di seluruh Indonesia untuk memainkan harga dan pasokan beras.
Jawabannya sangat sederhana, penggilingan padi besar tentu didukung dengan modal besar, peralatan modern, infrastruktur lengkap dan manajemen yang profesional. Teknologi canggih yang mereka punya dapat menciptakan beras dengan merk dan jenis apapun. Semuanya inilah yang memungkinkan mereka menghasilkan produk beras premium berkelas yang pemasarannya bisa antar pulau. Ini kita bisa buktikan dengan melihat hasil produk mereka yang hampir ada di setiap provinsi tanah air. Dengan jumlah yang sedikit dan manajemen yang profesional sangat dimungkinkan komunikasi antar pengusaha dan penguasaan pasar terjadi.
Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan penggilingan padi kecil yang terkenal dengan istilah "one pass" dan manajemen rumahan.... ? apakah mereka dengan jumlah 92% atau 167.440 unit bisa menghasilkan beras premium yang perdagangannya antar pulau...? jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kalau iya, pasti tidak terlalu banyak volumenya. Pasti kebanyakan tidak, mengapa.. ? karena penggilingan mereka hanya sederhana, sehingga beras yang dihasilkan tidak terlalu bagus dan bersih. Akhirnya, atau ujung-ujungnya hasil beras penggilingan mereka dijual juga kepada penggilingan besar. Argumentasi inilah yang bisa menjawab mengapa dengan jumlah sekitar 8 persen saja, penggilingan padi besar mampu menguasai pasar beras.
Paradoks kedua adalah kemiskinan di 44 kabupaten/kota turun 0,32 poin persentase jika rastra beralih menjadi BPNT.
Pernyataan diatas saya anggap sebagai hipotesis saja atau kesimpulan sementara, belum tahu kebenarannya. Mengapa.. ? karena disimpulkan pada tahun 2016 dengan berbagai asumsi-asumsi, sedangkan BPNT baru diujicobakan pada tahun 2017. Sehingga perlu dilakukan pengujian lagi secara prosedur ilmiah untuk menghasilkan sebuah teori kebenaran.
Namun, hasil penelitian manfaat rastra bagi perekonomian sudah ada yang menelitinya. Biar semakin meyakinkan keilmiahannya, akan saya kutip dari salah satu penelitan disertasi mengenai raskin yang dilakukan di Universitas Indonesia. Siapa yang tidak mengenal kampus ternama ini... ? apakah ada yang meragukan hasil penelitiannya.. ?
Saudara Aris Yunanto mempertahankan disertasi yang berjudul "Analisis Dampak Subsidi Raskin dan Alternatif Subsidi Pangan Lainnya Terhadap Perubahan Kesejahteraan Rumah Tangga" di hadapan para guru besar pada sidang promosi gelar Doktor (S-3) bidang Ilmu Ekonomi. Di dalam disertasinya disebutkan melalui raskin kesejahteraan setiap rumah tangga meningkat sebesar Rp 991 ribu di tahun 2007 dan di tahun 2008 mengalami peningkatan hingga Rp 1 juta. Subsidi pemerintah melalui beras keluarga miskin (raskin) ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan efek kesejahteraan yang ditimbulkan jauh lebih besar dibanding subsidi pemerintah lainnya di bidang bahan pokok seperti gula dan minyak goreng.
Serta yang terakhir adalah pernyataan Presiden Jokowi pada saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/6/2017) yang membahas mengenai evaluasi harga-harga bahan pokok dan antisipasi mudik lebaran 2017. Pertama;"keterlambatan pembagian rastra ini berdampak pada hasil indikasi ekonomi yang telah disurvei oleh BPS". Kedua;"kejadian ini kita harapkan tidak terjadi lagi. Mestinya, kalau ada hal yang penting seperti ini saya diberi tahu sehingga dampak yang ada dari keterlambatan ini benar-benar tidak dirasakan langsung oleh masyarakat". Kedua pernyataan tersebut diambil dari www.detik.com pada hari Kamis (22/6/2017) yang berjudul Kesalnya Jokowi, Beras untuk Masyarakat Miskin Telat.
KONKLUSI
Pada dasarnya, manusia ingin mengetahui yang benar, karena manusia hanya akan puas dari rasa ingin tahunya jika mendapat kebenaran. Kebenaran ilmiah diperoleh melalui prosedur baku di bidang keilmuan yaitu metodologi ilmiah. Oleh karena itulah, kebenaran ilmiah bersifat objektif dan universal. Disertasi merupakan kebenaran ilmiah yang sudah melalui serangkaian prosedur-prosedur ilmiah. Sedangkan hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang harus diuji dulu kebenarannya melalui rangkaian prosedur ilmiah. Oleh karena itulah, sudah sepantasnya kita, pemerintah, negara berpegang kepada kebenaran ilmiah dalam menentukan kebijakan yang lebih tepat.
*) Kandidat Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya