Mohon tunggu...
Julkarnain Asso
Julkarnain Asso Mohon Tunggu... -

welcom to kompasia .melihat berita di seekitar kita dan negara kita.\r\nsilakan klik di sini www.kompasiana.com/julkarnainasso\r\nlebih lanjut untuk membaca kompasia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengurai Hari Perempuan Indonesia 22 Desember

25 Februari 2013   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:43 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana rapat-rapat dalam Pergerakan perempuan Indonesia di tahun 1950 (Sumber Gambar : Troppenmusium Collectie)

Sejarah kadang-kadang membangun sungainya sendiri, ia mengalir dari aliran yang berbeda dari hulunya, dengan segala cerita yang kemudian berkembang menjadi penafsiran yang meluas tapi kadang kehilangan substansi atas pemaknaan bagaimana sejarah terjadi. Hari Ibu 22 Desember, adalah salah satu contoh besar bagaimana arus sungai sejarah kehilangan maknanya dan menemukan makna baru, makna yang awalnya adalah diperingati sebagai  “Hari dimana perempuan memperoleh ruang keterlibatan dalam dialektika masyarakat” dimana arus besarnya pada tahun 1920-an yang lalu adalah “Keterlibatan pergerakan kemerdekaan dan penentuan posisi perempuan terhadap diskriminasi patriarki dan prasangka-prasangka gender” menjadi hari yang semakin menyudut ke dalam, menjadi hari yang mengalami domestifikasi, mengalami penyempitan menjadi hari Ibu, sebuah hari yang tadinya memiliki nyawa atas persoalan-persoalan sosial dan politik, menjadi hari yang sifatnya personal hubungan antara anak dan orangtua. Ada apa dengan penyempitan pemaknaan ini? Pergerakan Perempuan Indonesia  Dari Masa Ke Masa Sepanjang tahun 1920-an arus besar sejarah saat itu adalah penyadaran besar-besaran kelas menengah-intelektual Indonesia terhadap “Pembebasan kolonialisme” tahapan-tahapan kesadaran itu berawal dari tuntutan membentuk organisasi pribumi sampai pada puncaknya menuntut kemerdekaan Indonesia yang jelas-jelas disuarakan pada rapat-rapat politik.  Kemerdekaan menjadi wacana yang amat digandrungi oleh kaum elite-intelektual, dimensi-dimensi kemerdekaan yang menyedot ke segala lini kehidupan seperti soal-soal ekonomi, politik, kebudayaan dan pengetahuan menjadi sebuah alat keberpihakan menuju satu tujuan yaitu : Kemerdekaan Indonesia. Perempuan Indonesia yang saat itu juga mulai mendapatkan sinar pencerahan atas pengetahuan modern dimulai dalam sebaran buku Kartini berusaha masuk ke dalam “Ruang Keterlibatan” dalam arus pergerakan kemerdekaan, lalu diadakanlah Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928.   Isu yang diangkat saat kongres itu masih isu yang mendasar dalam alam pikiran kaum perempuan Indonesia, seperti peranan perempuan dalam keluarga, kesadaran gizi bayi-bayi dan penempatan kesehatan ibu sebagai landasan pembentukan bangsa, namun ada yang paling penting dicatat dalam kongres itu adalah “Usaha sistematis pergerakan perempuan menjadi bagian paling penting dalam dinamika politik nasional”. Benih inilah yang kemudian berkembang menjadi besar namun pada satu saat juga menjadi bencana politik terbesar dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, pergerakan perempuan menjadi lebih bernyali.  Saat itu setiap pertemuan-pertemuan politik selalu melibatkan organisasi perempuan yang memiliki afiliasi terhadap ideologi politik yang bersangkutan, gerakan politik menjadi jawaban paling singkat atas pergerakan perempuan Indonesia. Puncak dari pergerakan perempuan Indonesia dalam dialektika politik nasional mendapatkan puncaknya sepanjang tahun 1950-1965, saat itu berkembang banyak pergerakan perempuan yang memiliki suara keras dalam keputusan-keputusan nasional bahkan kerap menjadi leader atas konstelasi politik yang berkembang. Sukarno sebagai Presiden sekaligus pemain politik paling penting di antara tahun 1950-1965  kerap menjadikan perempuan sebagai simbol paling kentara dalam persoalan-persoalan revolusi,  Herlina si Pending Emas yang melakukan petualangan heroik di Irian Barat  adalah contoh bagaimana Sukarno merefleksikan revolusinya yang senyawa dalam pergerakan perempuan Indonesia serta posisinya dalam politik. Sikap anti pada gerakan perempuan elitis saat itu juga disuarakan oleh banyak pergerakan perempuan, kelompok pejabat untuk menandingi gerakan perempuan di akar rakyat kerap mendirikan ikatan-ikatan perempuan yang berhaluan feodal, borjuis dan terasing dalam keseharian rakyat. Disinilah mereka kemudian menjadi sasaran kemarahan para aktivis pergerakan perempuan yang mengakar pada kaum jelata. Salah satu tokoh paling terkenal di tahun 1950-an yang mengeritik gerakan perempuan borjuis berkebaya mahal adalah Siti Larang, salah satu aktivis pergerakan perempuan yang namanya melegenda pada perlawanan politik di awal tahun 1920-an karena suaminya terlibat dalam peristiwa afdeling B di Garut, yang disebut-sebut sebagai perlawanan bersenjata kaum Nasionalis melawan Belanda pertama kali pada abad 20. Siti Larang adalah orang kepercayaan Sukarno yang sering mengeritik tentang kesalahpahaman sejarah, tentang pergerakan perempuan yang semakin disempitkan ke dalam gedung-gedung mewah menjadi sasaran kritik utama Siti Larang, dia menulis dalam salah satu artikelnya “Perempuan adalah mata hati rakyat, ia menyelami suara diam di tengah kehidupan yang sunyi ini,  perempuanlah yang pertama-tama merasakan tangisan bangsa, maka ketika perempuan hanya sibuk berdandan dan bermewah-mewah suara tangis itu lamat-lamat hilang” tulis Siti Larang dalam satu koran yang terbit di tahun 1950-an. Selain Siti Larang, banyak juga perempuan Indonesia yang amat menonjol dalam membangkitkan semangat keterlibatan perempuan, salah satunya adalah SK Trimurti.  Trimurti mengajak kaum kelas menengah elite-intelektual “Tidak lagi menjadi ndoro-ndoro berpayung, tapi menjadi perempuan yang mampu menjadikan bangsa ini terhormat dan bermartabat”. Namun fenomena gerakan perempuan di tahun 1960-an dinisbahkan pada Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi perempuan yang kerap dinilai oleh banyak sejarawan adalah organisasi perempuan yang memiliki pemahaman ideologi kiri. Pada masa Sukarno, ideologi kiri adalah zeitgeist (jiwa zaman), Sukarno mengobarkan seluruh agenda-agenda politik dibawa ke pergerakan rakyat, rakyat diharuskan memiliki tingkat melek politik yang tinggi sehingga rakyat menjadi terlibat atas persoalan-persoalan nasional. Saat itu Gerwani menjadi corong utama atas kritik-kritik kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Seperti kenaikan harga BBM dan harga beras menjadi salah satu penyebab Gerwani kerap turun berdemo di jalan-jalan menuntut pemerintah menyelesaikan problem-problem yang menyulitkan rakyat banyak. Domestifikasi Pergerakan  Perempuan Gerakan Letkol Untung yang gagal, kebingungan Sukarno dan Berbaliknya Suharto menghantam Sukarno adalah titik awal kehancuran dan domestifikasi gerakan perempuan Indonesia. Saat itu yang tidak pernah disadari oleh banyak sejarawan, Suharto melakukan tindakan sistematis dengan menghancurkan gerakan perempuan terlebih dahulu sebelum merayap menuju penghancuran-penghancuran sektor lain sebelum berhadapan ‘head to head’ dengan Bung Karno. Gerwani hancur bersama isu yang dikembangkan oleh media massa yang dibebaskan oleh tentara saat itu. Gerwani dituduh terlibat dalam peristiwa penculikan Untung, bersama Pemuda Rakyat Gerwani menjadi sasaran utama penghancuran politik pada tahap awal peristiwa Gestapu 1965 dan menjadi pembuka atas tragedi nasional pembunuhan besar-besaran antara bulan Oktober sampai dengan November 1965. Kehancuran gerakan perempuan harus dilihat bahwa “Politik amat mementingkan gerakan perempuan” ini

13561488591416877695
13561488591416877695

Pemenjaraan Gerwani dan Penghancuran Gerakan Perempuan Radikal Langkah Awal Menuju Domestifikasi Ruang Gerak Perempuan (Sumber Gambar : Sejarah Indonesia 1965)

bisa menjadi bahan studi yang menarik, bahwa dimanapun pergerakan perempuan adalah nyawa dari organisasi-organisasi kebangsaan di negara manapun, bila sebuah kudeta bisa mengakuisisi gerakan perempuan maka kekuasaan tinggal beberapa inci lagi. Bersama dengan hancurnya Gerwani dan penggiringan gerakan perempuan dari situasi keterlibatan aktif menuju situasi domestik maka dilakukan usaha sistematis untuk menjadikan perempuan bukan lagi partner yang kuat bagi negara dalam mengembangkan bangsa ini tapi dijadikan subordinat atas kekuasaan negara. Pada masa Orde Baru gerakan perempuan dikembangkan menjadi dua arah, pertama menjadi pelayan atas kepentingan birokrasi dan struktur kekuasaan yang menopang alur komando yaitu : Dharma Wanita, dan yang kedua, menjadi sumber beras bantuan pemerintah untuk kerja-kerja sukarelawan, gerakan ini dinamakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dalam dua soal ini perempuan dijinakkan dan menjadi patuh, di satu sisi mereka disadarkan pada diskriminasi kelas-kelas sosial, disisi lain mereka menjadi bagian paling penting kerja negara tapi tanpa diakui sebagai bagian yang harus dibiayai negara dan tidak dimasukkan ke dalam struktur penerimaan pajak yaitu : PKK. Gerakan PKK ini tulang punggung atas kesehatan publik dan gerakan besarnya mampu meringankan kerja-kerja pemerintah namun gerakan ini tidak mendapatkan pengakuan secara nominal. Sementara Dharma Wanita dan PKK menjadi inti pergerakan perempuan yang dikendalikan oleh negara, maka kenangan akan hari ibu didomestifikasi, pada tahun 1950-an maksud Sukarno menjadikan hari jadi 22 Desember sebagai hari Ibu, dari sisi pemaknaan dikarenakan soal ‘redaksional’,  kaum perempuan disebut juga sebagai kaum Ibu, disini “Tubuh seorang Ibu adalah Tubuh Perempuan bukan sekedar sebagai tempat beranak dan membesarkan”.  Namun di jaman Orde Baru, pemaknaan hari Ibu menjadi sekedar perempuan yang memiliki anak dan menjadi “Hari Terima Kasih Anak Pada Ibunya” penyempitan ini ditujukan dalam pesan-pesan halusnya sebagai “Pengurungan Keterlibatan aktif perempuan dalam Politik”. Di masa Reformasi ini, selain semakin banyaknya arus informasi ke tengah masyarakat soal peradaban demokrasi, pengarusutamaan gender, kesetaraan dan lain-lain soal,  berkembang juga pemahaman konservatif terhadap tubuh perempuan yang kemudian kerap diatasnamakan pada ajaran agama ataupun pada hukum-hukum adat.

13561490582053071781
13561490582053071781

Posyandu dan PKK, Keterlibatan Perempuan dalam Kesehatan Publik sebuah misi konsolidasi gerakan Perempuan dibawah subordinasi negara paling berhasil dalam masa Orde Baru (Sumber Foto : Official Website Kabupaten Banyuwangi)

Perempuan masih belum bebas dan berdaulat atas tubuhnya, atas pikirannya dan atas kehendaknya sendiri dalam menentukan kehidupan.  Kedaulatan perempuan atas tubuhnya inilah yang menjadi titik awal kesadaran perempuan pada dirinya dan posisinya ditengah masyarakat. Saat ini adalah saat yang tepat untuk merefleksikan apa sesungguhnya yang terjadi pada perempuan-perempuan Indonesia, merebaknya kasus Bupati Aceng yang amat mencengangkan itu, perdagangan perempuan, kesehatan bayi-bayi dan segala macam bentuk persoalan lain yang pada akhirnya membawa perempuan pada posisi lemah dan ditentukan oleh pihak yang berkuasa, maka di hari Perempuan ini, harus ditemukan jaring-jaring ketidakbebasan perempuan dalam menentukan hidupnya sendiri, tanpa prasangka-prasangka gender dan lain-lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun