Hubungan Habitus, Kapital, dan Arena
Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa praktik sosial seseorang merupakan hasil dari interaksi yang dinamis antara tiga konsep utama: habitus, kapital, dan arena. Habitus mencerminkan pola pikir, disposisi, dan tindakan yang terbentuk melalui pengalaman sosial individu. Ia bertindak sebagai pemandu internal yang menentukan bagaimana seseorang merespons situasi di sekitarnya. Kapital, yang dapat berbentuk ekonomi, budaya, sosial, atau simbolik, adalah sumber daya yang dimiliki individu dan digunakan untuk memengaruhi atau mempertahankan posisi dalam arena sosial. Sementara itu, arena adalah ruang kompetisi sosial di mana individu atau kelompok berjuang untuk mendapatkan kekuasaan atau legitimasi berdasarkan aturan main tertentu yang berlaku di arena tersebut.
Dalam praktik sosial, habitus memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana individu menggunakan kapital yang dimilikinya untuk bersaing atau beradaptasi dalam arena tertentu. Sebagai contoh, dalam arena pendidikan, seorang mahasiswa dari latar belakang keluarga akademik mungkin memiliki habitus yang membuatnya lebih mudah menavigasi sistem pendidikan formal. Ia dapat menggunakan kapital budaya, seperti kemampuan berpikir kritis dan pemahaman intelektual, untuk memperoleh prestasi akademik. Di sisi lain, mahasiswa dengan latar belakang ekonomi yang kuat mungkin menggunakan kapital ekonominya untuk mengakses pendidikan berkualitas tinggi atau bimbingan tambahan. Interaksi antara habitus dan kapital ini kemudian membentuk tindakan individu dalam arena tersebut.
Namun, hubungan antara habitus, kapital, dan arena tidak selalu linier atau statis. Arena adalah ruang yang penuh dinamika dan sering kali bersifat hierarkis, di mana aktor dengan kapital lebih besar memiliki kendali lebih besar terhadap aturan main. Akan tetapi, aktor lain dengan habitus tertentu dapat menantang aturan ini, terutama jika mereka berhasil mengonversi kapital yang dimiliki ke dalam bentuk yang relevan untuk arena tersebut. Misalnya, dalam arena politik, seorang kandidat dengan kapital sosial yang kuat dapat menantang dominasi aktor lain yang memiliki kapital ekonomi lebih besar, terutama jika ia mampu menghubungkan jaringan sosialnya dengan isu-isu yang relevan bagi masyarakat. Dengan demikian, interaksi ini menunjukkan bagaimana praktik sosial adalah hasil kompleks dari habitus individu, kapital yang dimiliki, dan sifat kompetitif arena tempat mereka berada.
Implikasi Teori Bourdieu
- Reproduksi Sosial: Struktur kekuasaan cenderung bertahan karena aktor menggunakan kapital untuk mempertahankan dominasinya
- Mobilitas Sosial: Perubahan posisi sosial bergantung pada kemampuan individu mengakumulasi kapital yang relevan
- Analisis Multidimensional: Teori ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, atau politik.
Teori Pierre Bourdieu dalam Konteks Perpajakan
Pierre Bourdieu, melalui teori Praksis, menawarkan kerangka kerja yang sangat relevan untuk menganalisis interaksi antara individu atau entitas dengan struktur sosial, termasuk dalam konteks perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC). Praksis terdiri dari tiga komponen utama---Habitus, Kapital, dan Arena---yang saling berinteraksi dalam membentuk tindakan manusia. Dalam konteks perpajakan, teori ini memungkinkan kita memahami perilaku wajib pajak, dinamika regulasi, serta ketimpangan akses modal yang memengaruhi efektivitas kebijakan.
1. PRAKSIS: Integrasi Habitus, Kapital, dan Arena
Habitus
Habitus mencerminkan pola pikir, kebiasaan, dan persepsi wajib pajak terhadap regulasi perpajakan, termasuk kebijakan CFC. Dalam konteks Indonesia:
- Internalisasi Nilai dan Norma: Banyak perusahaan multinasional memiliki kebiasaan mengoptimalkan beban pajak mereka melalui tax planning agresif. Kebiasaan ini terbentuk dari internalisasi norma ekonomi neoliberal yang mengutamakan efisiensi pajak untuk memaksimalkan laba. Dalam kasus CFC, perusahaan sering kali memandang laba yang ditahan di yurisdiksi pajak rendah sebagai langkah bisnis yang "wajar."
- Persepsi Risiko Pajak: Rendahnya persepsi risiko terhadap sanksi hukum membuat wajib pajak enggan mematuhi aturan CFC. Ini dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum di arena perpajakan Indonesia.
- Transformasi Habitus: Untuk mengubah pola pikir ini, diperlukan edukasi pajak yang tidak hanya menyampaikan ancaman sanksi, tetapi juga menekankan tanggung jawab sosial wajib pajak dalam mendukung pembangunan negara.
Kapital
Kapital mencakup semua bentuk sumber daya yang dimiliki individu atau entitas, yang memengaruhi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam arena sosial, termasuk arena perpajakan. Dalam konteks CFC:
- Kapital Ekonomi: Perusahaan besar sering memiliki kapital ekonomi yang cukup untuk menyewa konsultan pajak internasional atau membuat struktur perusahaan kompleks di yurisdiksi pajak rendah. Hal ini menciptakan ketimpangan dengan entitas kecil atau otoritas pajak yang memiliki sumber daya terbatas.
- Kapital Sosial dan Budaya: Akses kepada jaringan profesional, seperti konsultan atau penasihat pajak internasional, memberi keuntungan tambahan bagi perusahaan multinasional. Di sisi lain, otoritas pajak sering kali kurang memiliki kapital budaya dalam memahami strategi pajak yang rumit.
- Kapital Simbolik: Reputasi perusahaan multinasional sering kali memberi mereka daya tawar lebih besar di arena perpajakan, membuat mereka lebih sulit disentuh oleh regulasi.
Arena
Arena adalah ruang di mana aktor-aktor berinteraksi dan bersaing untuk memengaruhi hasil tertentu. Dalam konteks perpajakan CFC:
- Struktur Arena Pajak: Arena perpajakan di Indonesia sering kali didominasi oleh perusahaan multinasional yang memiliki modal lebih besar dibandingkan otoritas pajak. Ketidakseimbangan ini memengaruhi kemampuan pemerintah untuk menerapkan aturan dengan tegas.
- Hubungan Kuasa: Dalam arena pajak, terdapat dinamika kuasa antara otoritas pajak, wajib pajak, dan penasihat pajak. Perusahaan dengan modal besar sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk menekan atau bahkan menghindari implementasi kebijakan.
- Penguatan Arena: Reformasi birokrasi dan peningkatan kerja sama internasional diperlukan untuk memperkuat posisi otoritas pajak dalam arena global. Misalnya, melalui inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEoI).
Relevansi dengan Kebijakan CFC di Indonesia
Transformasi Kebijakan dalam Menghadapi Globalisasi
Kebijakan CFC adalah respons pemerintah terhadap globalisasi yang mempermudah aliran modal lintas negara. Globalisasi memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajak melalui pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Dengan regulasi seperti PMK No. 93/PMK.03/2019, Indonesia mencoba memastikan bahwa laba yang dihasilkan oleh perusahaan asing tetap dapat dikenakan pajak.
PMK No. 93/PMK.03/2019 adalah Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure, atau MAP). MAP adalah mekanisme yang memungkinkan Wajib Pajak mengatasi sengketa perpajakan internasional yang berkaitan dengan penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreement (DTA). Tujuan utamanya adalah mencegah dan menyelesaikan masalah perpajakan berganda yang dapat terjadi akibat perbedaan interpretasi atau penerapan DTA oleh otoritas pajak di dua negara.
Pokok-Pokok Pengaturan dalam PMK No. 93/PMK.03/2019
- Definisi MAP
MAP adalah proses konsultasi antara otoritas pajak dari dua negara yang memiliki P3B untuk menyelesaikan isu perpajakan berganda akibat interpretasi atau penerapan ketentuan dalam DTA. - Subjek yang Dapat Mengajukan MAP
Wajib Pajak yang mengalami pajak berganda karena:- Penyesuaian transfer pricing.
- Penyesuaian alokasi penghasilan atau biaya antar negara.
- Ketidaksesuaian interpretasi DTA antara negara.
- Isu lain yang relevan dengan implementasi P3B.
- Prosedur Pengajuan MAP
- Pengajuan Permohonan: Wajib Pajak mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam waktu tertentu sesuai dengan ketentuan P3B yang relevan.
- Dokumen yang Dibutuhkan:
- Formulir permohonan.
- Salinan dokumen terkait transaksi lintas negara.
- Alasan terjadinya pajak berganda.
- Batas Waktu: Pengajuan harus dilakukan dalam batas waktu yang ditentukan oleh DTA, biasanya 3 tahun sejak tindakan yang menyebabkan sengketa terjadi.
- Tahapan MAP
- Penerimaan Permohonan: DJP mengevaluasi kelengkapan permohonan.
- Diskusi Internal: DJP memutuskan apakah isu yang diajukan sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
- Konsultasi Antarnegara: DJP melakukan konsultasi dengan otoritas pajak negara mitra P3B untuk mencapai kesepakatan bersama.
- Keputusan Akhir: Hasil MAP berupa kesepakatan yang mengikat kedua negara.
- Jangka Waktu Penyelesaian
Penyelesaian MAP tergantung pada kompleksitas kasus dan kesepakatan antara otoritas pajak terkait. PMK tidak memberikan batas waktu tetap, tetapi mendorong penyelesaian secepat mungkin. - Hubungan dengan Mekanisme Lain
- MAP dapat diajukan bersamaan dengan Banding atau Gugatan Pajak di Pengadilan Pajak. Namun, pelaksanaan MAP tidak akan memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan.
 Namun, dalam pelaksanaannya:
- Adaptasi Kebijakan Global: Indonesia perlu mengikuti rekomendasi OECD dalam BEPS Action 3 agar regulasi CFC lebih efektif.
- Integrasi Regional: Kebijakan ini memerlukan koordinasi dengan negara lain, terutama di ASEAN, untuk menghindari arbitrase pajak.
- Modernisasi Regulasi: Transformasi kebijakan juga memerlukan adaptasi teknologi dan penggunaan big data untuk mendeteksi transaksi lintas negara.