Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik terhadap Pola Pikir Sebagian Jemaat terhadap Keterbukaan Kidung Agung dalam Mengungkapkan Relasi Cinta

14 Juli 2022   22:35 Diperbarui: 14 Juli 2022   22:47 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 Perbincangan tentang Kidung Agung dalam kaitannya dengan Hikmat dan Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama

 

Menurut informasi dari Markus Witte dalam purwa pustaka, kalimat Kidung Agung berasal dari bahasa aslinya, yaitu sir hassirim, yang mencerminkan nyanyian yang paling indah, dan sebagai nyanyian definitif.[2] Dari nyanyian-nyanyian yang paling indah tersebut menggiring pada satu tema inti, yaitu cinta yang digambarkan dengan perubahan-metafora-metafora dan berbagai bentuk liris.[3] Sedangkan kebijaksanaan berasal dari kemampuan intelktual manusia. 

Kemampuan tersebut dihasilkan secara turun-temurun oleh manusia guna melangsungkan hidupnya di dunia ini, bisa jadi dari pengalaman hidupnya dan pembelajaran pada orang-orang yang lebih tua.[4] Secara garis besar para teolog-teolog Perjanjian Lama telah mengkategorikan beberapa kitab-kitab dalam Perjanjian Lama sebagai bagian dari sastra-sastra kebijaksanaan atau hikmat Israel kuno. 

Wismoady Wahono dalam bukunya “Di sini Kutemukan” menggolongkan Kitab Amsal, Kitab Ayub dan Kitab Pengkhotbah sebagai sastra kebijaksanaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh James L. Crenshaw dalam bukunya “Old Testament Wisdom; An Introduction”, ia mengkategorikan ketiga kitab di atas sebagai sastra-sastra kebijaksanaan. 

Sedangkan Wim van der Weiden dalam bukunya “seni hidup” menggolongkan empat kitab dalam kanonik yang masuk dalam sastra kebijaksanaan, antara lain Kitab Amsal, Ayub, Kidung Agung dan Pengkhotah. Hal ini membuat perbedaan dengan kedua teolog di atas yang terlihat pada kitab Kidung Agung.

Ternyata Weiden menginformasikan bahwa Kidung Agung sebenarnya dimasukkan ke dalam kitab kebijaksanaan, karena kitab itu susah untuk dikategorikan ke dalam kategori kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya.[5] Begitu juga dengan Christoph Barth & Claire Barth-Frommel dalam bukunya Teologi Perjanjian Lama 2, mereka mengambil posisi yang sama dengan Weiden.

Tetapi pembahasan Barth mengenai kebijaksanaan tidak dimasukkan pada salah satu dari kesembilan tema-tema teologi Perjanjian Lama miliknya itu. 

Pendapat saya tersebut saya peroleh dari kritik Agustinus Setiawidi dalam tulisannya yang berjudul “Menjembatani Teks dan Konteks: Membangun Teologi Perjanjian Lama Kontekstual di Indonesia.[6] Salah satu kritik Setiawidi yang  saya anggap penting dalam kaitannya dengan pembahasan kebijaksanaan dan kitab Kidung Agung adalah uraiannya yang mengatakan; 

 TPL Barth mencoba meyakinkan pembacanya bahwa topik “hikmat’ tidak layak menjadi bagian integral dari teologi PL. Alasannya cukup sederhana: hikmat adalah hasil karya manusia. Karena manusia itu adalah ciptaan yang mortal, maka apa yang dihasilkannya pasti bersifat fana dan karena itu tidak layak untuk disandingkan dengan karya Allah, Sang Pencipta, yang abadi. 

Itulah sebabnya, kita tidak menemukan kitab-kitab Hikmat dalam TPL Barth.[7] Terkait kitab-kitab hikmat yang absen dalam TPL Barth edisi asli, dalam Edisi Baru kita tetap tidak menemukan kitab-kitab hikmat secara khusus, sebagai bagian integral dalam teologi PL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun