Mohon tunggu...
julitapuspita
julitapuspita Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pend. Fisika

Here to express my hobby✨

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisa Secangkir Kopi

12 Desember 2024   10:44 Diperbarui: 12 Desember 2024   10:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Segelas Kopi di Kafe (Pexels.com/Asaad Alabri)

Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Arya menatap cangkir kopi yang hampir habis di depannya. Kopi hitam, tanpa gula—pahit, seperti pikirannya malam itu. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam gelombang kecewa yang memenuhi dadanya.

Dari sudut lain kafe, seorang wanita berdiri dan berjalan ke arahnya. Namanya Karina. Sepatu hak rendahnya berdecit pelan di lantai kayu. Dia berhenti di depan meja Arya tanpa meminta izin, lalu duduk di kursi kosong seolah sudah akrab dengan pemiliknya. Arya mengangkat alis, bingung.

"Berat, ya?" Karina memulai tanpa basa-basi.

"Apa?"

"Hidup," jawabnya santai sambil menunjuk cangkir kopi Arya. "Biasanya orang yang minum kopi pahit di malam hari punya beban berat."

Arya tertawa kecil, meski sinis. "Kamu siapa, psikolog kafe?"

Karina hanya tersenyum. "Enggak. Aku cuma orang yang kebetulan tahu rasanya hidup di titik rendah."

Ada keheningan singkat. Arya menatap Karina lebih lama. Wanita itu tidak tampak seperti orang yang punya banyak masalah—rambutnya rapi, wajahnya berseri, dan senyumannya tulus.

"Kenapa duduk di sini?" tanya Arya akhirnya.

Karina mengangkat bahu. "Karena kamu butuh teman bicara."

Arya ingin membantah, tapi entah kenapa dia tidak bisa. Ada sesuatu pada Karina yang membuatnya merasa nyaman, meskipun mereka baru bertemu.

"Sebenarnya aku lagi malas ngobrol," kata Arya akhirnya.

"Bagus," sahut Karina sambil menopang dagu. "Aku juga lebih suka dengar cerita orang lain."

Arya tertawa kecil. Entah karena keberanian Karina, atau karena dia memang sudah lama tidak punya seseorang untuk mendengarkan. Maka, malam itu, tanpa disadari, dia mulai bercerita. Tentang pekerjaannya yang berantakan, tentang teman-temannya yang baru saja menjauhinya, dan tentang perasaan hampa yang terus membayanginya belakangan ini.

Karina mendengarkan dengan serius, tanpa memotong. Sesekali dia mengangguk, atau mengeluarkan gumaman kecil.

"Kamu tahu rasanya nggak dihargai?" tanya Arya di akhir ceritanya.

"Tahu," jawab Karina tanpa ragu. "Tapi aku juga tahu, kita enggak hidup untuk dihargai orang lain. Kita hidup buat diri kita sendiri."

Arya terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti tamparan.

Karina tersenyum, lalu berdiri. "Kopi kamu udah dingin. Nggak enak kalau diminum sekarang."

"Eh, mau ke mana?" Arya bertanya, bingung.

"Balik ke meja aku," jawab Karina sambil menunjuk ke sudut lain kafe. "Tugas aku di sini udah selesai."

Arya mengernyit. "Tugas apa?"

"Ngasih kamu teman bicara." Karina melangkah pergi sebelum Arya bisa bertanya lebih jauh.

Sambil menatap punggungnya, Arya merasa ada yang aneh. Dia memanggil pelayan untuk membayar kopi.

"Mas, cewek di sana tadi bayar pesanannya bareng kopi saya, kan?" tanya Arya.

Pelayan itu mengerutkan dahi. "Cewek mana, Mas? Dari tadi Bapak sendirian di meja ini."

Arya membeku. Dia memalingkan pandangan ke sudut kafe tempat Karina tadi duduk, tapi kursi itu kosong.

Malam itu, Arya pulang dengan kepala penuh pertanyaan dan hati yang sedikit lebih ringan. Mungkin Karina nyata, mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti, kehadirannya meninggalkan bekas.

Kadang, seseorang datang dalam hidup kita hanya untuk sesaat—cukup lama untuk mengingatkan bahwa kita tidak benar-benar sendirian, lalu pergi sebelum kita sempat mengucapkan terima kasih.

Dan itu tidak apa-apa. Karena pesan yang mereka bawa lebih berharga daripada kehadiran mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun