Arya ingin membantah, tapi entah kenapa dia tidak bisa. Ada sesuatu pada Karina yang membuatnya merasa nyaman, meskipun mereka baru bertemu.
"Sebenarnya aku lagi malas ngobrol," kata Arya akhirnya.
"Bagus," sahut Karina sambil menopang dagu. "Aku juga lebih suka dengar cerita orang lain."
Arya tertawa kecil. Entah karena keberanian Karina, atau karena dia memang sudah lama tidak punya seseorang untuk mendengarkan. Maka, malam itu, tanpa disadari, dia mulai bercerita. Tentang pekerjaannya yang berantakan, tentang teman-temannya yang baru saja menjauhinya, dan tentang perasaan hampa yang terus membayanginya belakangan ini.
Karina mendengarkan dengan serius, tanpa memotong. Sesekali dia mengangguk, atau mengeluarkan gumaman kecil.
"Kamu tahu rasanya nggak dihargai?" tanya Arya di akhir ceritanya.
"Tahu," jawab Karina tanpa ragu. "Tapi aku juga tahu, kita enggak hidup untuk dihargai orang lain. Kita hidup buat diri kita sendiri."
Arya terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti tamparan.
Karina tersenyum, lalu berdiri. "Kopi kamu udah dingin. Nggak enak kalau diminum sekarang."
"Eh, mau ke mana?" Arya bertanya, bingung.
"Balik ke meja aku," jawab Karina sambil menunjuk ke sudut lain kafe. "Tugas aku di sini udah selesai."