Mohon tunggu...
Julino Sentosa
Julino Sentosa Mohon Tunggu... -

http://julinosentosaselamanya.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dicuekin Naga ;'(

8 April 2013   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:30 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aku bete dicuekin, aku keki didiamin, aku sebel dianggurin... Blabla

Ga tahu lagunya ?? Gak gehol deh,

Karena saya asik sendiri dan mereka pun asik dengan kegiatan mereka masing-masing, ya sudah lah. Saya pun lanjut foto-foto, sayang nya saya lupa cara mematikan lampu blitz di kamera (*ketauan begok). Jadi setiap kali saya cekrek kamera selalu ada beberapa pasang mata yang melihat. Mungkin dalam hati mereka * Silau Njir. Tuh kan jadi berasa orang asing masuk desa lagi. Apalagi ditambah dengan setelan saya waktu itu yang mirip artis ibu kota plus dengan kacamata buat gaya yang baru saja saya beli di Jakarta. (*tidak usah disebutkan kalau harganya 25 rebu).

Karena sudah mati gaya dan tidak tahu lagi mau ngapain di Kampung Naga saya memutuskan untuk balik saja. Menaiki tangga sekitar 300 atau 400, ngos-ngosan, ngap-ngapan, akhirnya sampai di atas. Karena perut mulai keroncongan, saya pun mau sarapan dulu. Si Ibu-ibu pemilik warung pun kaget karena saya bilang baru saja dari bawah trus balik lagi keatas. Seabis makan si Ibu pun menawarkan saya agar ke bawah pakai pemandu, jadi bisa dijelaskan banyak sama pemandunya. "Kenapa teu pake pemandu atuh dek ? Pan aya pemandu nya di payun, sakedap Ibu panggilkeun". Si Ibu pun memanggilkan salah seorang pemandu, sebut saja namanya Ayok (Bukan nama samaran). Lengkap dengan setelan khas sunda nya, mengenakan baju kampret dan sarung kepala (*nama bajunya beneran kampret loh).

Begitu menuruni tangga saya dijelaskan mengenai sejarah singkat kampung Naga oleh Pak Ayok. Sisanya ya Pak Ayok melayani napsu foto-foto saya donk. Kadang saya yang dipotoin bapaknya, kadang bapaknya yang motoin saya (*Sama aja donk Nyett). Tidak terasa kita sampai di bawah, dan saya diajak untuk melihat salah seorang Ibu yang sedang menumbuk padi lengkap dijelaskan dengan cara-caranya. Terakhir saya mengajukan satu pertanyaan langsung kepada si Ibu, eh malah dijawab si Bapaknya. Tahu ga kenapa ? Ini karena Ibu nya nggak bisa bahasa Indonesia. Oh jadi ini toh, salah satu alasan kenapa eikeh dicuekin dan dianggurin.

Kemudian Pak Ayok mengajak saya masuk ke dalam rumahnya, Aseek. Hawa yang beda terasa, rumahnya berasa sejuk khas pedesaan banget. Listrik sama sekali tidak ada di kampung ini, jadi sebagai penerangan di malam hari warga menggunakan lampu teplok. Untuk menyetel TV, pak Ayok menggunakan aki. Itu pun TV nya harus hitam putih, karena kalau TV berwarna si aki-aki nya nggak-nggak-nggak kuat. Pak Ayok pun memperagakan cara menghubungkan kabel nya ke aki untuk menyetel TV. Salah-salah atau kebalik memasang kabel pencolok TV ke aki bisa berakibat fatal, mengakibatkan TV nya meledak seketika, hadeuh. Untung si Bapak waktu itu bukan memperagakan cara memasang yang salah, bisa-bisa gue ikut meledak. *Udah kayak di film Dono, Kasino, Indro sahaja

Lanjut ke bagian dapur, disana ada istri pak Ayok yang sedang mengulek sambal goak. Sambel cengek yang dikasih garam doank, trus dimakan tanpa dimasak. Kebayang kan pedasnya, sok coba kalau kamu punya nyali, bisa dower ntar bibir eloh kepedasan. Saya pun disuguhi tape ketan item sama si Ibuk. Nyamm,, enyak loh, lebih manis dari tape ketan bikinan ibu saya, soalnya dikasih dedaunan yang saya lupa namanya apa. Terakhir saya tanyakan ini dibikinnya kapan, eh si Ibu nya malah lupa saking dibikinnya sudah berbulan-bulan yang lalu. Hikkss,, koq nggak bilang dari awal sih Bu, enah sih enak.

Kemudian saya pun pamitan dan lanjut eksplor ke bagian-bagian kampung yang lain seperti rumah Kuncen (kepala adat), rumah lebay adat, masjid khas Naga yang lengkap dengan pentungannya, dan balai adat (tempat diadakan upacara-upacara adat). Nah satu-satu nya tempat dimana pengunjung dilarang untuk mengambil foto adalah di balai adat ini saudara-saudara, Pamali ceu na. Di setiap rumah yang saya lewati selalu ada semacam dedaunan yang dipasang di pintu depan rumah sebagai penolak bala. Warga kampung Naga memang masih menjaga dan menjalanakan kepercayaan-kepercayaan dan ajaran-ajaran leluhur yang turun temurun, meskipun sejatinya mereka sudah beragama Islam. Kalau bahasa jawanya semacam Islam Kejawen gitu, kalau bahasa Indonesia nya Islam KTP kali yakk..?

http://julinosentosaselamanya.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun