Pada weekend kali ini saya memutuskan untuk melakukan travelling yang sekiranya bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Sayang banget khan kalau sudah balik-bolak ke mana-mani tapi ilmu saya segitu-segitu saja. Setidaknya kalau pas pergi dengan kepala kosong (0 dari skala 10-red), pulang-pulang setidaknya kepala saya sudah lumayan berisi (0.1 atau 0.2 dari skala 10-red).. (*Sori ya bahasanya agak complicated).
Pilihannya pun jatuh kepada,,, teng ning neng,, Indonesia memilih,,,*sambil deg-degan---> "Kampung Naga". Appan tuh ? Berikut definisi nya menurut Wikipedia
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat.
Pengertian di atas adalah menurut Om Wiki. Berikut saya jelaskan menurut ilmu di kepala saya yang sudah berisi se kembali nya si saya dari Kampung Naga. Kata Naga berasal dari kata "Nagadir" yang dalam bahasa sunda berarti Jurang atau tebing. Rumah-rumah penduduk di desa ini di bangun di pinggir tebing (diapit oleh tebing-tebing). Karena agak rempong dalam pengucapan, Nagadir pun disingkat menjadi Naga (Biar berasa lebih sensasional kali yak ?). Sebagai penanda bahwa ini adalah kampung adat, maka disebut lah Kampung Naga (*Tuh terbukti kan ilmu gue nambah). Jadi jangan berpikiran kalau di sini ada Naga atau juga jangan berpikiran nama nya kampung Naga karena penduduknya bau Naga ya !!!
Kampung Naga berlokasi di tengah-tengah antara Jalur jalan raya Garut-Tasikmalaya, desa Neglasari, kabupaten Tasikmalaya. Sekitar jam 7 pagi saya sampai di Kampung ini. Celingak-celinguk kanan kiri, horeee!! tidak ada pemandu wisata nya jadi saya bisa bebas berkelana di kampung Naga dan yang paling penting saya tidak harus mengeluarkan kocek untuk pemandu yang kata beberapa orang yang sudah kesini sekitar 50 ribu. Maklum saya khan pelit-merkedit.
Menuruni tangga sekitar 300 atau 400 anak tangga, hamparan rumah yang beratapkan ijuk dan berdinding kayu yang dibangun seragam atau mirip satu sama lain pun sudah ada di depan mata. Berjalan melewati berbagai warga dengan berbagai kegiatan pun rasanya sesuatu : ada yang mencuci dan mandi di pancuran, ada yang boker di jamban, ada yang menumbuk padi, ada yang mencuci piring dan beras. That was preety awesome. But wait, koq dari tadi penduduk-penduduk sini agak bermuka datar tanpa ekspresi ya ketika saya melontarkan senyum sapa penuh kehangatan yang menggoda. Melihat sih melihat tapi, tanpa ekspresi gitu.
Beberapa warga pun ada yang memandang seolah-olah saya adalah alien yang baru jatoh dari kayangan. Jadi berasa kayak alien beneran dah. Saya pun mencoba duduk di korsi kayu di depan rumah salah seorang warga, dengan harapan si bapak-bapak tua yang punya rumah ini mau menyapa. Jangankan menyapa, melihat pun si bapak ini ogah, malah masuk rumah lagi.. Hikkss. Beberapa anak pun sepertinya tidak menghiraukan kehadiran saya. Okeh, something must be wrong !!.
Sepertinya ingin menyanyikan lagu ini waktu itu untuk memecah kebekuan di antara kita:
Aku butuh perhatian tapi tak kau hiraukan
Aku butuh kasih sayang tapi ku diabaikan
Aku bete sama kamu, aku keki sama kamu, aku sebel sama kamu
Aku bete dicuekin, aku keki didiamin, aku sebel dianggurin... Blabla
Ga tahu lagunya ?? Gak gehol deh,
Karena saya asik sendiri dan mereka pun asik dengan kegiatan mereka masing-masing, ya sudah lah. Saya pun lanjut foto-foto, sayang nya saya lupa cara mematikan lampu blitz di kamera (*ketauan begok). Jadi setiap kali saya cekrek kamera selalu ada beberapa pasang mata yang melihat. Mungkin dalam hati mereka * Silau Njir. Tuh kan jadi berasa orang asing masuk desa lagi. Apalagi ditambah dengan setelan saya waktu itu yang mirip artis ibu kota plus dengan kacamata buat gaya yang baru saja saya beli di Jakarta. (*tidak usah disebutkan kalau harganya 25 rebu).
Karena sudah mati gaya dan tidak tahu lagi mau ngapain di Kampung Naga saya memutuskan untuk balik saja. Menaiki tangga sekitar 300 atau 400, ngos-ngosan, ngap-ngapan, akhirnya sampai di atas. Karena perut mulai keroncongan, saya pun mau sarapan dulu. Si Ibu-ibu pemilik warung pun kaget karena saya bilang baru saja dari bawah trus balik lagi keatas. Seabis makan si Ibu pun menawarkan saya agar ke bawah pakai pemandu, jadi bisa dijelaskan banyak sama pemandunya. "Kenapa teu pake pemandu atuh dek ? Pan aya pemandu nya di payun, sakedap Ibu panggilkeun". Si Ibu pun memanggilkan salah seorang pemandu, sebut saja namanya Ayok (Bukan nama samaran). Lengkap dengan setelan khas sunda nya, mengenakan baju kampret dan sarung kepala (*nama bajunya beneran kampret loh).
Begitu menuruni tangga saya dijelaskan mengenai sejarah singkat kampung Naga oleh Pak Ayok. Sisanya ya Pak Ayok melayani napsu foto-foto saya donk. Kadang saya yang dipotoin bapaknya, kadang bapaknya yang motoin saya (*Sama aja donk Nyett). Tidak terasa kita sampai di bawah, dan saya diajak untuk melihat salah seorang Ibu yang sedang menumbuk padi lengkap dijelaskan dengan cara-caranya. Terakhir saya mengajukan satu pertanyaan langsung kepada si Ibu, eh malah dijawab si Bapaknya. Tahu ga kenapa ? Ini karena Ibu nya nggak bisa bahasa Indonesia. Oh jadi ini toh, salah satu alasan kenapa eikeh dicuekin dan dianggurin.
Kemudian Pak Ayok mengajak saya masuk ke dalam rumahnya, Aseek. Hawa yang beda terasa, rumahnya berasa sejuk khas pedesaan banget. Listrik sama sekali tidak ada di kampung ini, jadi sebagai penerangan di malam hari warga menggunakan lampu teplok. Untuk menyetel TV, pak Ayok menggunakan aki. Itu pun TV nya harus hitam putih, karena kalau TV berwarna si aki-aki nya nggak-nggak-nggak kuat. Pak Ayok pun memperagakan cara menghubungkan kabel nya ke aki untuk menyetel TV. Salah-salah atau kebalik memasang kabel pencolok TV ke aki bisa berakibat fatal, mengakibatkan TV nya meledak seketika, hadeuh. Untung si Bapak waktu itu bukan memperagakan cara memasang yang salah, bisa-bisa gue ikut meledak. *Udah kayak di film Dono, Kasino, Indro sahaja
Lanjut ke bagian dapur, disana ada istri pak Ayok yang sedang mengulek sambal goak. Sambel cengek yang dikasih garam doank, trus dimakan tanpa dimasak. Kebayang kan pedasnya, sok coba kalau kamu punya nyali, bisa dower ntar bibir eloh kepedasan. Saya pun disuguhi tape ketan item sama si Ibuk. Nyamm,, enyak loh, lebih manis dari tape ketan bikinan ibu saya, soalnya dikasih dedaunan yang saya lupa namanya apa. Terakhir saya tanyakan ini dibikinnya kapan, eh si Ibu nya malah lupa saking dibikinnya sudah berbulan-bulan yang lalu. Hikkss,, koq nggak bilang dari awal sih Bu, enah sih enak.
Kemudian saya pun pamitan dan lanjut eksplor ke bagian-bagian kampung yang lain seperti rumah Kuncen (kepala adat), rumah lebay adat, masjid khas Naga yang lengkap dengan pentungannya, dan balai adat (tempat diadakan upacara-upacara adat). Nah satu-satu nya tempat dimana pengunjung dilarang untuk mengambil foto adalah di balai adat ini saudara-saudara, Pamali ceu na. Di setiap rumah yang saya lewati selalu ada semacam dedaunan yang dipasang di pintu depan rumah sebagai penolak bala. Warga kampung Naga memang masih menjaga dan menjalanakan kepercayaan-kepercayaan dan ajaran-ajaran leluhur yang turun temurun, meskipun sejatinya mereka sudah beragama Islam. Kalau bahasa jawanya semacam Islam Kejawen gitu, kalau bahasa Indonesia nya Islam KTP kali yakk..?
http://julinosentosaselamanya.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H