Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaki Petugas

20 Mei 2021   17:22 Diperbarui: 20 Mei 2021   17:48 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap pengendara tentu akan berhubungan dengan polisi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masing-masing punya pengalaman sendiri. 

Akhir-akhir ini marak makian terhadap polisi. Polisi itu memang nano-nano. Manis, haseum, asin, kecut, ada semua. Ada yang humanis, pura-pura garang, ada pula yang menjengkelkan.

Saya pernah di-stop polisi setelah lampu merah. Setelah menepi saya bertanya, "Salah saya apa pak?"

"Mba tidak menggunakan safety belt,"
Waduuh...

"Maaf pak, saya lupa."

Segera saya pasang safety belt seraya mengucapkan terima kasih.

"Hati hati di jalan, mbak."

Iyesss...ga ditilang...

Pernah juga saya melanggar traffic light saat warna merah karena terburu buru. Polisi yang berjaga di tikungan, memalingkan muka pura pura tidak melihat. Alhamdulillah, lolos.

Tetapi berbeda ketika saya melaju di depan pertigaan sekolah yang sedang macet, berkendara perlahan mencari tempat parkir. Tiba-tiba polisi mendekat dan membentak, "Ibu! Belok kanan." 

Seketika kepala saya berasap, keluar bintang bintang. Ingin gelut dan memaki. Tetapi ketika lihat pistol di pinggangnya, saya urungkan. Takut petugas khilaf, saya cedera. Kutandai kau, bathin saya.

Mestinya polisi bisa ngomong baik-baik tak perlu membentak. Bagaimana kalo saya yang membentak, tentu panjang urusannya.

Dan ada lagi kejadian beberapa tahun lalu yang bikin saya jengkel. Saat itu putri sulung masuk SMP, dia tidak mau ikut abodemen lagi sementara suami dimutasi ke Provinsi lain. Mau tak mau saya yang harus antar jemput anak anak sekolah.

Ada 3 jalan dari dan ke sekolah anak saya, Sukajadi, Cihampelas/Cipaganti, dan Pasteur. Saya biasa pergi lewat Pasteur, pulang lewat Cipaganti, adem, banyak pepohonan. Baik lewat Cipaganti maupun Sukajadi akan bertemu polisi di perempatan Karang Setra arah Setiabudi atas, tak jauh dari rumah jabatan Kapolda.

Ketika lewat situ, saya di-stop polisi. Setelah menunjukkan SIM dan STNK, saya berlalu. Keesokan harinya kembali di-stop oleh polisi yang sama di tempat yang sama. Saya perlihatkan SIM dan STNK, lewat.

Kejadian ini terus berulang. Lama kelamaan saya jengkel, hingga suatu pagi saya marah dan memaki petugas.

"Salah saya apa, tiap kali lewat sini, diberhentikan."

"Saya lagi operasi." jawab petugas.

"Mana suratnya?"

Dia tidak bisa menunjukkan suratnya.

Saya meminta petugas menjauh dari mobil. Yang bersangkutan tidak bergeming. Saya marah dan memaki petugas. Dia kalem aja, tak ada kata kata kasar keluar dari mulutnya tetapi tetap tak menjauh dari mobil. Bikin saya jengkel bukan kepalang. Akhirnya saya telpon suami menjelaskan permasalahannya. Saya berikan telpon suami ke petugas. Saya lihat petugas mengangguk-angguk. Selesai menelpon, saya dibiarkan berlalu.

Setelah kejadian itu, petugas tersebut tak pernah menghentikan saya lagi.
Seminggu kemudian, sosoknya tak terlihat lagi di perempatan.

Begitulah lika-liku menghadapi petugas. Kadang bisa senyum, jengkel, bahkan memaki-maki tergantung siapa dan dalam kondisi apa yang kita hadapi. Ketika kita benar, jangan takut untuk berdebat. Tetapi saat salah, segera perbaiki dan minta maaf. Melawan petugas ? Kalo bisa jangan deh...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun