Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minggu Pertama di Korea Selatan

11 April 2016   17:52 Diperbarui: 11 April 2016   20:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Violla window shopping"](Myeongdong, Seoul, Korsel

Violla, biasa dipanggil teteh adalah putri sulungku, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Saat ini teteh dengan 2 mahasiswi Fakultas Sosial Politik Unpad dan 1 mahasiswi Universitas Indonesia, Jakarta sedang mengikuti Korean For  Student Exchange  Program di Universitas Ajou, Suwon, Korea Selatan (Korsel) hingga akhir Juni mendatang. Minggu pertama di korsel membuatnya kagum akan kemajuan peradaban, kebangkitan ekonomi  dan modernisasi negara Gang Nam Style ini. Gambaran negeri gingseng yang selama ini hanya dia dapatkan melalui channel KBS di indovision kini terbentang nyata. Banyak hal baru yang mengekspansi wawasan berfikirnya dan mengkomparasinya dengan Indonesia.

Kekaguman pertama diawali dari Incheon, bandara internasional korsel yang terletak di sebuah pulau tersendiri dihubungkan dengan jembatan panjang membentang di atas laut menuju Seoul, ibukota Korsel. Bandara Incheon merupakan salah satu bandara terbaik di dunia setelah bandara Changi di Singapore dan bandara milik Hongkong,  memang sangat berbeda dengan Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Iklan-iklan yang berada di sepanjang jalan menuju bagasi semuanya iklan pariwisata Korea, tidak ada porter atau jasa angkut bagasi, troly tertata rapi, penumpang nyaman menunggu bagasi, antrian tertib tidak saling rebutan didepan conveyor belt, bersih, canggih dan futuristik.

Berempat mereka naik bis menuju Universitas Ajou yang terletak di Yeongtong-gu, Suwon dekat Cup Stadium. Ajou global ambbassador (Aga) atau  buddy menjemput mereka di bandara. Buddy bertindak sebagai guidance service, memberitahu shelter bus, rute serta moda transportasi yang digunakan menuju Universitas Ajou. Semua moda transportasi menyediakan tempat khusus untuk kaum difabel yang memudahkan mereka turun naik di setiap shelter. Supir membantu para difabel naik turun bis. Demikian juga lift, tersedia khusus untuk difabel. Di tempat-tempat umum juga disediakan smoking area untuk para ahli hisap. Tidak ada orang melenggang merokok di jalan, restoran atau tempat-tempat umum. Semua ahli hisap dilokalisasi di smoking area saat  menunaikan aktifitasnya. Air siap minum juga tersedia di tempat-tempat umum. Sungguh kehidupan yang bersih dan teratur.

Lebih kurang satu jam perjalanan, mereka tiba di asrama mahasiswa yang disebut dormitory. Dormitory berbentuk apartemen 8 lantai dilengkapi lift untuk laki-laki, perempuan dan difabel. Di setiap lantai tersedia ruang belajar, kamar tidur, ruang TV, kitchen set, wifi, dan kamar mandi. Setiap kamar dilengkapi 2 bed, 2 meja belajar, dan wardrobe. Penghuni kamar mendapatkan private wifie dan seorang room mate mahasiswa asli Korea. Kunci kamar menggunakan PIN. Di Lantai 1 dan 2 terdapat fasilitas umum berupa cafe, aula, pusat kebugaran,  sport hall, lobi, perpustakaan dan fasum lainnya. Kamar-kamar mahasiswa dilantai 3-5, mahasiswi di lantai 6-8. Ada pemisahan lift untuk perempuan, laki-laki dan difabel.

Senin merupakan hari pertama orientasi kampus setelah 3 hari istirahat dan pengenalan dormitory. Ada 150 mahasiswa exchange dari berbagai negara diantaranya USA, Finlandia, Singapore, Malaysia, Australia, Denmark, Inggris, dan lainnya.  Universitas Ajou masuk 10 besar universitas terbaik di Korea. Kampusnya bersih, luas dan megah. Jarak dormitory ke kampus cukup jauh. Para mahasiswa berjalan kaki atau naik sepeda, tidak disediakan shelter antar gedung. 

Sangat jarang yang memakai mobil pribadi. Andaipun ada, mobil yang digunakan produk korsel, Hyundai dan Kia. Masyarakat korsel mencintai produk dalam negeri. Penggunaan produk-produk impor hanya untuk barang yang tidak mereka produksi seperti peralatan makan, diimpor dari China, USA dan negara-negara eropa.

Menyimak obrolan teteh via line free call, aku termangu, membayangkan Indonesia seperti keinginan dibenaknya, mencoba menyelami dimensinya. Korsel bukan komparasi tepat bagi Indonesia. Negara yang luas wilayahnya tidak lebih dari pulau Jawa dengan jumlah penduduk dibawah jumlah pulau Jawa, tidak state to state untuk di komparasi dengan Indonesia. 

Namun ada beberapa hal menarik yang dapat dicontoh dari Korsel seperti masalah disabilitas. Di Indonesia, fasum dan fasos bagi penyandang disabilitas masih diskriminatif dan minimalis. Bahkan belum ada akses pendidikan dan tempat ibadah yang ramah difabel. Padahal kaum difabel mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan masyarakat normal. Mereka berhak  mendapatkan pelayanan publik sesuai amanat UU No, 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik.

 Jumlah penyandang disabilitas Indonesia per akhir  Desember 2015 berkisar 11%-13% atau sekira 9 juta dari jumlah penduduk Indonesia. 80% dari mereka rentan diskriminasi dan tindak kriminal. Indonesia belum mempunyai lingkungan inklusi disabilitas. Untuk hal ini kita patut mencontoh Korsel. Pemerintah dan masyarakat Korsel menghormati kaum difabel, mereka diberi ruang dan fasilitas yang sama seperti masyarakat normal, non diskriminatif.

Umumnya masyarakat Korsel tidak beragama. Mereka memiliki kebebasan mutlak dalam memilih keyakinan. Penganut Islam kurang dari 0,1% dari jumlah populasi yang ada diikuti agama-agama lain yang persentasenya juga kecil. Tidak ada pertikaian berbasis agama atau sara karena di Korsel cuma ada satu suku, etnis korea.  Masyarakat Korsel menyebutnya dan il min guk artinya masyarakat satu ras. Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama  dan budaya sangat rentan konflik sara. 

Lagi-lagi kita tidak bisa bandingkan Korsel dengan Indonesia. Namun disaat kita ribet dengan fenomena jilbab dan pemisahan sarana umum untuk laki-laki dan perempuan,  pemerintah Korsel tanpa dalih agama, mengantisipasi pelecehan terhadap perempuan dengan pemisahan lift khusus laki-laki, perempuan dan difabel. Apabila pemerintah Indonesia sejak awal memberlakukan lift seperti di Korsel, maka tragedi “kissing in the lift” yang dilakukan oleh anggota dewan beberapa waktu lalu yang videonya tersebar masif di media sosial tidak akan terjadi hehehe...Dengan demikian usulan  Ahok meminta busway dan bis menempatkan semua kursi menghadap ke depan untuk menghindari pelecehan dan berdiri dengan jarak aman sudah tepat. (hadeuhh...ini bukan kampanye).

Selain itu yang dapat dicermati dari Korsel adalah budaya antri, disiplin, berjalan kaki dan taat aturan. Budaya ini masih sangat sulit diterapkan di Indonesia. Menerobos antrian, menyeberang diluar zebra cross dan membuang sampah sembarangan masih trend utama masyarakat kita. Tidak perduli kelas bawah, menengah atau atas. Tidak perduli  pendidikan dan strata sosial, budaya tersebut masih melekat cukup kuat. Minggu lalu sebuah mobil Fortuner berplat B membuang sampah di jalan protokol Pasteur Bandung, saat ditegur oleh pengendara roda 2, penumpangnya marah dan membentak bahwa dia aparat. Loh, seharusnya aparat memberi teladan kepada masyarakat bukan mentang-mentang. 

Inilah kegagalan budaya!!. Dengan jumlah penganut islam mencapai 85% sejatinya Indonesia merupakan negara terbersih di dunia. Dalam salah satu hadist diriwayatkan kebersihan sebagian dari iman. Iman yang diamalkan hanya masalah akidah namun kurang dibarengi dengan akhlak. Itu hanya masalah sepele, buang sampah.  Belum lagi masalah-masalah besar yang mendown grade akhlak masyarakat seperti korupsi dan teman-temannya. Melihat kondisi Indonesia seperti ini, sangat wajar presiden Jokowi mencanangkan program revolusi mental di semua lini.

Dan hal terakhir yang membuat kebangkitan ekonomi Korsel adalah kecintaan terhadap produk dalam negeri. Seperti Indonesia, korsel pun membangun negerinya dengan berhutang. Hutang digunakan untuk membangun industri berorientasi ekspor. Perekonomian Korsel meningkat pesat pada akhir tahun 80an yang dikenal dengan istilah keajaiban di sungai Han. Kebangkitan ini ditandai dengan perubahan orientasi industri berbasis pengetahuan atau kekayaan intelektual sehingga menghasilkan produk inovatif yang berdaya saing tinggi sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi terhadap pemakaian produk dalam negeri. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan pemakaian kendaraan, kosmetik, pangan, pakaian semua made in korea.  Walaupun korea tidak 100% bebas impor, namun dari hulu ke hilir produk yang mereka gunakan merupakan produk dalam negeri. Orang Korea bangga, cinta dan percaya bahwa produk dalam negeri mereka paling bagus di dunia. Pemerintah korsel memotivasi rakyatnya untuk berkarya dengan melindungi hak kekayaan intelektualnya. Pemerintah menjalin mitra strategis dengan bisnis dan perguruan tinggi untuk mendorong kemajuan teknologi beserta pemasarannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Orang Indonesia lebih barat dari orang barat. Nasionalisme terhadap produk dalam negeri sangat rendah, bahkan beras yang merupakan menu utama impor dari Thailand. Mind set yang dibangun sejak awal sudah salah kaprah. Para pejabat eksekutif, artis, pebisnis dan kroninya lebih menyukai produk luar dengan alasan kualitas. Padahal itu hanya permainan bisnis. Banyak barang-barang berlabel luar sesungguhnya produk asli Indonesia, hanya pingpong produk saat finishing. 

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kaum intelektual, peneliti dan inventor juga merupakan kendala utama dalam memajukan produk dalam negeri. Ketika seorang Kusrin mampu merakit televisi bermerek Maxreen dari spare part bekas, penegak hukum setempat  memenjarakannya karena dianggap melanggar UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian serta Perubahan Permendagri tentang Pemberitahuan Standar Nasional Indonesia. Seharusnya pihak-pihak terkait seperti dinas pedagangan, industri dan IKM/UKM tanggap, menggandeng dan membinanya untuk memahami hukum agar karya yang lahir tidak bersinggungan dengan hak cipta, hak paten dan hak kekayaan intelektual orang lain. 

Beruntung setelah beritanya tersebar di media massa, presiden segera merespons. Responsi kepala negara  terhadap kasus ini akan melindungi dan mendorong lahirnya inventor dalam skala lokal dan merangsang para peneliti dan inventor untuk menghasilkan karya yang berkualitas, murah dan inovatif. Apabila mobil EsemKa dengan dukungan para pihak berhasil diproduksi di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan industri otomotif  Jepang akan bersaing kuat dengan pabrikasi Indonesia. Tapi ini masih jauh panggang dari api. Banyak pihak-pihak yang berkepentingan bersuara lantang menjegal keberadaan Esemka dengan alasan kualitas. Padahal kecanggihan karya teknologi karena setiap saat berinovasi. Dari pemakaian yang intens dan masif akan diketahui kelemahan-kelemahan teknologi tersebut. Suatu karya teknologi terbaik pasti dihasilkan dengan trial and error. Salam HKI.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun