Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sisi Lain Raja Ampat, Papua Barat

8 Desember 2015   22:21 Diperbarui: 11 Desember 2015   09:28 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keindahan alam Raja Ampat dengan keanekaragaman biota lautnya terkenal tiada banding, dan tiada tanding di dunia. Banyak wisatawan lokal, interlokal dan internasional takjub dengan keindahannya. Bahkan ada anekdot: "Tuhan menciptakan Raja Ampat sembari tersenyum". Inilah negeriku Indonesia, negeri penuh pesona, negeri tajir sumber daya alam dan keelokannya, membuat masyarakat luar tertarik untuk berkunjung, melihat, bahkan memiliki. Aku yang pertama kali menginjakkan kaki ke tanah perairan Raja Ampat, berdecak kagum dan mengucap “Subhanallah”. Mungkin di belahan benua lain ada yang lebih indah, namun Raja Ampat adalah rajanya....hehehe.

Dalam perjalanan wisata di Raja Ampat, aku melihat sisi lain kehidupan. Kehidupan anak-anak pulau, generasi muda Raja Ampat. Kala itu kami tengah menuju pulau Selpele untuk melapor dan minta ijin berlayar serta membayar tiket masuk ke Pulau Wayag. Kapten mendapat kabar bahwa cuaca di wayag kurang mendukung, ombak cukup tinggi, menyulitkan speedboat mengarungi lautan. Kapten menyampaikan berita ini ke ketua rombongan dan menyarankan menunggu di pulau Selpele hingga cuaca bersahabat.

Kapten mempercepat laju speedboat menuju Selpele. Dari kejauhan tampak sekelompok anak-anak berdiri di pinggir dermaga menyambut kehadiran kami. Beberapa menit kemudian mesin dimatikan, speeadboatpun mendarat. Satu per satu penumpang keluar, naik untuk mengaso dan melakukan aktifitas kejiwaan lainnya. Aktifitas utama yang wajib dan penting dalam suatu perjalanan wisata adalah “selfie” sebagai bukti dan kenangan untuk masa depan.

Kami pun melakukan aktifitas utama ini, bergantian berpose dengan anak-anak Selpele dengan berbagai gaya baik selfie maupun wefie. Sungguh sensasi tersendiri berselfie ria dengan anak-anak Selpele yang unik, berkulit gelap, rambut keriting mengkilat khas ras Austroloid, mirip suku Aborigin, Australia.

Serunya berselfie tidak menyurutkan perut tetap lantang bersuara. Saka, pemandu wisata menyiapkan sarapan tertunda yang telah dibekali pihak resort untuk diperjalanan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIT, sudah tak tepat disebut breakfast/sarapan, lebih tepat brunch, makan diantara waktu sarapan dan makan siang. Penyakit kronis makan di jam tanggung begini adalah ngantuk!!

Bayangkan, tidur pukul 10,00 pagi, benar-benar menunjukkan kemalasan yang hakiki. Untuk menghilangkan kantuk, aku mengeluarkan ponsel, mencoba mengirim mesej ternyata pending, hanya ada segaris sinyal. Aku segera berdiri, berjalan ke pinggir dermaga. Matahari kian meninggi, udara cukup panas. Seorang anak perempuan sedang memancing ikan di pinggir dermaga, dia melempar pancing tanpa umpan, tak lama kemudian dia menarik kembali pancingnya, dan seekor ikan kembung ukuran sedang meliuk liuk meronta ingin melepaskan diri dari mata pancing.

Si anak perempuan membanting ikan itu, mati, dan meletakkannya di lantai dermaga lalu melempar pancing kembali. Kudekati dia dan bertanya, dia tersenyum mengatakan untuk lauk makan siang. Sementara itu, disisi lain dermaga, sekelompok anak-anak bercengkrama gembira sembari mengunyah biskuit yang kami bagikan. Aku memperhatikan sekelilingku, kampung Selpele cukup bersih, ada SPBU kecil menjorok ke daratan, ada toilet air tawar di ujung jembatan dermaga, tidak ada sampah ataupun kotoran yang mengambang di atas air, perairannya bersih dan jernih, disudut dermaga disediakan kotak sampah. Andai ada penghargaan Adipura Laut, Raja Ampat juaranya.

Kembali ke sekumpulan anak-anak Selpele. Aku tersadar hari ini kamis, hari dan jam kerja. Mestinya anak-anak ini berada di ruang sekolah, menuntut ilmu, bernyanyi, mendengar ceramah guru atau kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Kuhampiri mereka yang mulai mengantuk, sebagian masih menguyah sisa biskuit yang tadi kami bagikan. Kuminta mereka bernyanyi.

Spontan serentak mereka menyanyikan lagu-lagu daerah Papua yang riang dan menghentak-hentak seolah-olah mau perang. Selesai bernyanyi aku bertanya apakah mereka pada sekolah? semua menjawab sekolah kelas 1, 2,3 hingga kls 6 SD.

“Kalau sudah SMP kami sekolah di Waisai karena disini tidak ada SMP” ujar salah satu anak yang badannya lebih tinggi dibanding temannya yang lain.

“Apakah hari ini sekolah libur?” aku lanjut bertanya.

“Tidak ibu, sekolah tidak libur, bapa guru dan ibu guru tidak datang mengajar, mereka ke Waisai untuk belanja”.

Ooohh...berarti besok guru kembali dan kalian akan belajar seperti biasa ya, aku menegaskan.

”Tidak ibu, guru hanya datang satu hari dalam setahun dan kami belajar sendiri” Apaa???..hanya sekali dalam setahun???...Bagaimana kalau sudah kelas 6 dan harus mengikuti ujian negara? “kami belajar sendiri ibu"

Aku hanya terperangah mendengar cerita anak-anak Selpele. Untuk memuaskan rasa penasaran, aku konfirmasi kepada ketua adat yang merangkap kepala kampung yang sejak tadi duduk menemani kami di dermaga. Beliau membenarkan cerita anak-anak.

Sudah cukup lama Selpele tidak punya guru, sekolah terbengkalai, guru hanya datang 1-2 hari dalam setahun. Guru-guru honor yang ditempatkan disini, hanya rajin saat berstatus honorer. Setelah diangkat menjadi pegawai tetap mereka tidak pernah datang lagi. Rupanya mereka memilih menjadi honorer di Selpele dan pulau-pulau di Raja Ampat lainnya hanya modus untuk memudahkan diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara.

“Kami dan anak-anak senang apabila ada relawan-relawan dari Pulau Jawa yang membantu mengajar disini” lanjut Ketua Adat. Mereka anak-anak muda yang sopan, baik hati dan tidak membeda-bedakan kami. Kami banyak mendapat pengetahuan dari mereka, rasanya itu sudah cukup daripada guru honorer yang hanya memikirkan diri sendiri saja, tapi sayangnya mereka tidak pernah lama, ujar ketua adat menyuarakan isi hatinya.

Aku hanya diam, dalam hati membenarkan apa yang beliau sampaikan. Cuaca sudah bersahabat, kami melanjutkan perjalanan, mengucapkan selamat tinggal, mohon doa selamat dan berharap bisa berjumpa kembali, aamiin...

Sejenak aku melupakan ungkapan hati ketua adat dan anak-anak Selpele, melanjutkan wisata ke beberapa pulau lainnya dan kembali bermalam di Dive Lodge Resort, Pulau Mansuar. Dua hari kemudian, jelang senja di pulau Mansuar, resort akan kedatangan tamu salah satu pejabat pemerintah pusat yang akan bermalam beserta rombongan. Ada tarian penyambutan yang akan dibawakan anak-anak dari pulau Aerborek. Aku tidak ingin melewatkan momen ini. Setelah mandi sore, berdandan simpel, aku ke dermaga ditemani suami ingin menyaksikan atraksi ini.

Satu jam menunggu, tamu belum jua tiba, suami kembali ke kamar, aku tetap berada di dermaga berbincang dengan anak-anak Aerborek, menanyakan cita-cita mereka. Beragam cita-cita yang mereka sebutkan ada yang ingin menjadi dokter, perawat, guru, polisi, tentara, kowad dll. Jarak tempuh Aerborek ke Mansuar hanya 2 jam perjalanan speedboat. Anak-anak Aerborek ditemani dua orang dewasa yakni Bapa Paul pelatih tari dan neng Maya. Mengapa kupanggil neng? Neng adalah panggilan khas adat sunda kepada anak perempuan.

Maya berasal dari Jawa Barat, tepatnya dari Cihanjuang, Kabupaten Bandung Barat yang berdekatan dengan Cimahi dan sangat dekat dengan tempat tinggalku di Sariwangi. Tidak dinyana akan berjumpa dulur Sunda, tetangga, di wilayah timur Indonesia. Betapa kecilnya Indonesia!!! Maya adalah mahasiswi lulusan Universitas Parahyangan Bandung yang merupakan volunteer Barefoot Conservation, sebuah yayasan konservasi sosial yang berkedudukan di Kanada sebagai relawan guru Bahasa Inggris di pulau Aerborek.

Sebagai relawan, Maya tidak mendapatkan gaji. Barefoot Conservation hanya menyediakan akomodasi dan transportasi selama 6 bulan bertugas sebagai relawan di Aerborek. Saat bertemu, sudah masuk bulan ke-6 Maya mengajar disana, dan aku belum sempat monitor apakah dia melanjutkan pengabdiannya atau selesai 6 bulan saja. Aku berbincang dengan Maya mengenai pendidikan anak-anak Aerborek dan ternyata masalahnya persis seperti Selpele, ketiadaan guru. Guru datang hanya 1-2 hari dalam sebulan. Selebihnya mereka belajar sendiri.

Bedanya Aerborek dan Selpele, di Aerborek ada manusia bernama Maya, relawan yang mengajarkan Bahasa Inggris dan sekali-sekali mengajarkan pengetahuan umum sesuai kemampuannya. Selain itu ada sekolah minggu yang mengajarkan agama dan budi pekerti kepada anak-anak. Turis-turis asing yang berkunjung ke Aerborek kerap membawakan buku-buku cerita dalam bahasa inggris untuk anak-anak Aerborek dan mereka punya perpustakaan desa untuk menyimpan buku-buku tersebut, pungkas Maya.

Aerborek adalah sebuah desa wisata yang predikatnya diberikan oleh Pemerintah daerah sebagai desa percontohan. Predikat ini diberikan karena kearifan lokal masyarakat dalam konservasi lingkungannya, baik atas maupun bawah laut. Hari ke-2 di Raja Ampat, aku dan rombongan snorkeling disini. Desa Aerborek bersih, tertata rapi, tak ada sampah berceceran. Perairannya jernih, indah, tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut naik kapal, spot diving berada di sekitar dermaga, jutaan makhluk laut warna warni dengan berbagai bentuk akan menyambut saat kita melompat dari ujung dermaga.

Para wanita Aerborek membuat kerajinan tangan berupa topi khas Papua berbentuk cendrawasih dan manta serta noken (tas) dari pelepah sagu. Sebagai desa wisata, cukup banyak infrastruktur yang di bangun pemerintah disini termasuk sarana pendidikan. Namun sayang, fasilitas pendidikan yang disediakan tidak berfungsi maksimal karena ketiadaan guru.

Dan ketiadaan guru ini, beritanya (mungkin) belum sampai ke pemerintah daerah setempat , berpura-pura tidak tahu atau menutup mata mengenai ini hanya karena semata-mata untuk mempertahankan Raja Ampat sebagai daerah wisata dengan keunikan dan kekhasannya serta dengan kebodohan masyarakatnya agar tetap layak dijual sebagai destinasi wisata tradisional dengan keprimitifannya???...wallahu'alam, semoga tidak demikian.

 

Perjalanan wisata yang menyenangkan ini, akhirnya memberi kesan tersendiri dalam diriku. Satu sisi aku bangga dengan keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Namun disisi lain, miris melihat eksploitasi alam yang indah dan kaya raya ini tidak dinikmati oleh pemiliknya, masyarakat adat setempat. Pendidikan yang seyogyanya dapat merubah kehidupan dan menaikkan harkat dan derajat anak-anak negeri, tidak dinikmati secara maksimal oleh anak-anak kepulauan Raja Ampat dalam hal ini pulau Selpele dan Aerborek.

Alamlah yang mengajarkan mereka berenang, menangkap ikan dan menjaga kelangsungan hidup. Namun untuk pengetahuan-pengetahuan umum dan sains mereka tetap membutuhkan bimbingan, jangan sampai gagal paham karena tidak ada tuntunan dan arahan yang tepat dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Bagaimana mungkin mereka bisa mengubah nasib, apabila sejak dini asupan nutrisi pendidikan tidak mereka dapatkan secara layak. Negara belum mengakomodasi hak mereka untuk berkembang, mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara mengabaikan tujuannya, mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Sudah saatnya pemerintah daerah, pemerintah pusat dan masyarakat bahu membahu mengentaskan ketiadaan guru. Akan lebih baik apabila guru yang ditempatkan di kepulauan Raja Ampat berasal dari penduduk lokal atau wilayah yang berdekatan dengan Raja Ampat, agar mereka betah, pikiran tidak bercabang antara pekerjaan dan keluarga.

Pemerintah dapat memberikan pelatihan dan pendidikan kepada calon-calon guru lokal serta keharusan mengabdi selama minimal 5 tahun di daerah-daerah pelosok dan terpencil. Pemerintah juga dapat memanfaatkan internet masuk desa sebagai sarana pengajaran. Guru-guru pelosok pun tetap harus dibekali tambahan pengetahuan setiap tahunnya sebagai refreshing course dan peningkatan kemampuan seiring dengan kemajuan zaman untuk ditularkan kepada anak didiknya.

Selain peningkatan pengetahuan, patut diperhatikan juga kesejahteraannya. Guru-guru daerah terpencil mesti diberikan fasilitas layak berupa perumahan dan transportasi apabila jauh dari tempat tinggalnya. Dan yang utama adalah bahwa anak-anak Raja Ampat berhak mendapatkan kompensasi pendidikan tertinggi atas eksploitasi keindahan dan kekayaan alam mereka. Mereka aset bangsa. Anak-anak yang telah behasil pun ditekankan untuk kembali ke kampung halamannya, mengabdi dan membangun negerinya.

Ibarat sebuah eskalator, setelah naik kemudian turun kembali membawa penumpang ke atas, demikian juga kehidupan Raja Ampat, setelah anak-anak sukses, terangkat, mereka ditarik kembali ke negerinya, mengabdi untuk membawa anak-anak yang lain ke atas. terus bergulir, berputar, agar tetap dinamis dan seimbang. Salam Raja Ampat!!

*) Keterangan Gambar: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun