Tulisan ini kuketik sambil sesekali mencium anakku yang kepalanya sedang lemas bersandar di pundakku. Tulisan ini kupersembahkan untukmu, dear baby A.Â
Penulis favorit saya adalah Pramoedya Ananta Toer. Saya berkenalan pertama kali dari bukunya yang tetralogi Pulau Buru. Well trilogi sih pada akhirnya karena saya ga baca-baca buku keempatnya yang isinya surat-surat saja. I should read it one day.
Jadi, pagi ini tiba-tiba saya teringat seorang tokoh yang mengena di hati dari buku Bumi Manusia. Bukan, bukan Minke sang tokoh utama, tetapi seorang Nyai yang bernama Nyai Ontosoroh. Ia adalah seorang perempuan yang waktu kecil dijual oleh ayahnya sendiri kepada Tuan Mellema si pengusaha Belanda, dimana pada akhirnya si TUAN tunduk di kaki gundiknya sendiri. Seorang "Godmother" yang melawan kodratnya sebagai perempuan pribumi tak terpelajar.Â
Yep, apalah sebutan "nyai" atau profesi "gundik"? itu hanyalah sebuah sebutan yang ternyata tidak relevan dengan identitas perempuan bernama Sanikem itu. Itu juga kenapa saya termasuk golongan yang mengamuk ketika tahu buku Pram akan difilmkan dan seolah-olah buku beliau hanya menceritakan roman Minke dan Annelies. Pram tidak akan mungkin menulis cerita sebegitu murahnya. #emosi.
Tokoh ini, Nyai Ontosoroh, berkali-kali tidak hanya menginspirasi tetapi menguatkan saya untuk bisa menjadi seorang perempuan yang sesungguhnya, diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang tegar. Sederhana saja, Tuhan mengizinkan perempuan untuk melawan hukum alam di dunia ini. Ia harus tetap berdiri tegak meskipun pucat pasi dan keram mau mati selama lima hari berjuang setiap bulannya. Kesakitan adalah sahabat dekat para perempuan semenjak ia remaja, sampai pada akhirnya sakitpun tunduk pada ketangguhannya.
Ketangguhan perempuan sebenarnya senjata dalam mencintai. Kata Nyai, "Jangan sebut saya perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti saya tidak butuh lelaki untuk saya cintai.". Tidak... perempuan diciptakan bukan untuk (berpura-pura) lemah pada para lelaki. Kita diciptakan sebagai sandaran pundak bagi para lelaki itu. Tidak kebetulan pula Tuhan izinkan Hawa tercipta dari tulang yang melindungi jiwa Adam, bukan?
Saya bukan perempuan yang meneriakkan bahwa saya kuat sepenuhnya dan tidak membutuhkan laki-laki. Tidak, bukan itu letak kekuatan perempuan. Saya yakin perempuan tidak dapat kuat tanpa sosok para lelaki. Kekuatan kita datangnya dari belaian mereka, tatapan lembut mereka, dan dari tangan mereka yang memeluk erat pinggang kita. Perlu juga sekali-sekali kita memohon pada para lelaki itu untuk mencintai kita. Jujurlah, kita butuh kecupan mereka!
Selain itu, kekuatan perempuan datang dari tangisan. Saya selalu percaya, air mata yang jatuh dari mata kita meneriakkan doa yang paling lirih kepada sang Pencipta. Ia memang menitipkan itu pada kita, para perempuan. Ia tahu bahwa ketika kita melihat mereka yang kita cintai terluka, disanalah air mata itu melantunkan doanya. Saya rasa ini adalah kekuatan paling besar yang dimiliki oleh perempuan. Kekuatan perempuan selalu beriringan dengan kelembutan hatinya.
Seandainya semua pria memahami kedalaman hati perempuan layaknya  Pramoedya. Pengagungan dan penghormatannya akan perempuan sungguh patut dikagumi. Lalu saya teringat pula akan sebuah lagu oleh beliau yang tersentuh akan kelembutan perempuan,  Ismail Marzuki.
Selendang sutera
Mulai di saat itu
Turut serentak
Di dalam baktimu
Ketika lenganku
Terluka parah
Selendang suteramu
Turut berjasa
Selendang sutera
Kini pembalut luka
Cabik semata
Tercapai tujuannya
Betapa beliau memahami betul letak kekuatan pria yang hanya bisa dibalut oleh kelembutan seorang perempuan. Dan lagu ini ternyata diinterpretasi oleh beliau pula yang sepertinya mengerti betul mengenai indahnya hati perempuan. Terima kasih saya hanturkan kepada Ananda Sukarlan, Anda juga yang bisa mengagungkan perjuangan hati perempuan dalam musikmu Fantasia on Selendang Sutera dan Sequel fantasia on Selendang Sutera
Ahh... seandainya para lelaki bisa belajar dari mereka yang melihat siapa kami para perempuan pejuang.. dunia pasti lebih sempurna karena mungkin tidak akan ada lagi tangisan lirih akibat mata yang lebam dengan hati yang tercabik luka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H