Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata, Mataku, dan Surabaya

10 November 2022   08:39 Diperbarui: 10 November 2022   08:57 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh pemuda bertelanjang kaki bergerak ke arahku. Dari sebelah selatan lebih banyak lagi, jumlahnya mungkin lima puluh. Lalu dari sebelah barat, sebelah utara. Jumlah mereka terus bertambah, bergerak mendekat. Aku menyilangkan kedua tangan di depan kepala. Tetapi aku terkejut, barisan pemuda itu melewatiku seperti gambar hologram.

                         

"Atau aku yang sebenarnya gambar hologram itu!? Sementara mereka benar-benar nyata," batinku, setelah barisan itu melewatiku dan bergerak menuju Hotel Yamato.

Di sebelah utara Hotel Yamato, bendera Belanda tengah menari di atas angin. Dari tempatku berdiri, aku mendengar gemuruh di dada barisan pemuda Indonesia. Menahan marah atas sikap Belanda yang belum mau mengakui kedaulatan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Mataku melihat dinding hotel serupa plastik transparan. Dimana ada Soedirman, yang dikawal Sidik dan Hariyono tengah berunding dengan Mr. Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda yang mengundang kemarahan, bukan hanya warga Surabaya, tapi seluruh Indonesia. Ploegman keras kepala, ia tidak mau menurunkan bendera Belanda, perundingan memanas, dan Ploegman tewas di tangan Sidik.

Lalu, mataku mulai melihat kekacauan yang sudah tak mampu diredam. Sebagian pemuda Indonesia berebut naik ke atas hotel. Hariyono kembali ke dalam hotel, memanjat tiang, dan bersama Koesno Wibowo ia berhasil menurunkan bendera Belanda. Merobek warna birunya, biru jatuh, menjadi haru. Pemuda Indonesia, tanpa alas di kakinya, tanpa baja melindungi dadanya, tak pernah takut membela negaranya.

Mataku melihat sisi lain Surabaya, ada banyak perempuan yang meneteskan air mata. Seorang ibu yang kehilangan putranya, istri kehilangan suaminya, anak kehilangan ayahnya. Aku tahu, ini belum berhenti, Belanda tidak akan menyerah secepat ini. Akan ada pertempuran yang lebih besar lagi setelah ini. Pertempuran di Surabaya yang akan terus diingat sampai anak cucu kami.

Tanpa kusadari, sepasang mata biru menatapku sinis. Dia mengarahkan moncong pistolnya ke arahku. Tetapi aku tetap meyakini salah satu dari kami adalah hologram, peluru itu tidak akan melukai.

"Dor!" Aku salah.

"Dor!" Tembakan kedua, aku roboh.

Ada dingin yang menembus dadaku, bergerak naik sampai pipiku. Perlahan aku membuka mata. Sepasang mata menatapku keheranan, sepasang mata milik Rama.

"Di mana aku?"

"Di Zangrandi, masa iya di neraka, pesan es krim kok ditinggal tidur. Aku baru sampai, es krimmu sudah leleh nih." Rama kembali menempelkan gelas es krim ke pipiku.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Satu, dua, entah berapa puluh pasang mata biru mendelik ke arahku.

"Ini bukan Zangrandi!" aku berteriak dan berdiri, menarik tangan Rama, tetapi Rama serupa gambar hologram, tak tersentuh, tak tergenggam.

Aku ingin berlari, tetapi dinding Zangrandi semakin menyempit, menghimpit, dadaku panas, aku ingin bebas, lepas.

zangrandi2.doc pribadi
zangrandi2.doc pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun