"Ibu, cita-cita itu apa?"
"Cita-cita itu seperti keinginan Fela kalau udah besar nanti. Misalnya jadi guru, jadi dokter, atau jadi artis."
"Fela mau jadi kayak Ibu."
"Jangan, Nak! Jangan jadi kayak ibu."
Aku menyandarkan punggungku ke kursi, terkadang kita butuh jeda sebentar untuk tidak perlu berpura-pura tegar. Perempuan di depanku masih terlihat berapi-api, mukanya masih terlihat merah menahan bara di hatinya, atau barangkali pendingin ruangan di restoran ini tidak berpengaruh juga untuknya. Sesekali aku melirik James yang sedang asik main lego di playground, aah melihatnya tertawa selalu membuat hatiku lebih sejuk.
"Jadi, seberapa dekat kamu mengenal Rendra?"
"Kenapa kamu harus terus menanyakan sesuatu yang menyakiti dirimu sendiri?"
"Aku butuh jawaban."
"Bukannya kamu tidak mempercayaiku? Buat apa kamu mencari jawaban dariku? Tanya saja pada Rendra, seseorang yang kamu percaya untuk masa depanmu."
"Aku belum puas dengan jawaban Rendra."
"Hmmm... baiklah, ayo kita buat semuanya selesai lebih cepat." Aku menoleh ke arah James, tersenyum dan membalas lambaian tangannya. "Aku kenal Rendra hampir 10 tahun, ketika aku pertama kali menjadi mahasiswi dan dia bekerja paruh waktu di fotocopy depan kampusku. Kamu pasti sudah bisa membayangkan apa saja yang sudah kami lewatkan selama itu, kalau kamu bertanya seberapa dekat aku dengan calon suamimu itu, dengarkan baik-baik. Aku bukan hanya tahu, tetapi hafal setiap bagian tubuhnya, tanda lahir dan bekas luka di tubuhnya, ukuran sepatu,baju sampai celana dalamnya, hafal rokok, shampoo, parfum favoritnya, hingga aroma tubuhnya bahkan saat mataku terpejam. Aku hafal bukan hanya sekedar ingat kebiasaannya, makanan kesukaannya, hal yang ia suka dan yang benci. Demikian juga dia, bukan sekedar tahu, tetapi sangat mengenal aku lebih dari diriku sendiri, dan kami..."
"Cukup!!! Aku tidak ingin dengar lagi, sekarang jawab, apakah anak itu juga anak Rendra?"
"Aku rasa kita sudah pernah membicarakan ini."
"Iya, dan kamu tidak jauh berbeda dengan ibumu, kalian sama-sama pelacur. Darah pelacur ibumu mengalir padamu, dan mengalir pada tubuh anakmu itu. Itu alasan kenapa Rendra lebih memlihku menjadi calon istrinya, bukan pelacur rendahan sepertimu."
Aku tersenyum mendengar kalimat demi kalimat terakhir yang ia lontarkan sebelum ia beranjak pergi tanpa menyentuh sedikitpun minumannya. Aku tidak marah padanya atas ketidaktahuannya. Sebab ia tidak tahu, bahwa ibuku bersusah payah agar aku dan dirinya diterima di masyarakat, bahkan setelah ia berhenti dari tempat itu semenjak aku hadir di rahimnya. Dia yang bekerja keras untuk menghidupiku, membayar biaya sekolahku dengan jalan yang lebih baik.
Tetapi, tidak mudah memang membuat seseorang menerima kita dengan masa lalu kita. Saat aku tumbuh remaja, hampir setiap lelaki yang kutemui memandangku sebagai barang, yang bisa dibeli dan digunakan, bahkan mungkin dalam ingatanku hanya Rendra satu-satunya yang masih melihatku sebagai manusia dan menghargaiku sebagai perempuan.
Juga saat aku mendapatkan pekerjaan pertamaku, dan direkturnya merendahkanku, memfitnahku hingga aku harus disingkirkan dari perusahaanya. Rendra yang membuka lengannya untukku bersandar, memberiku semangat dan membantuku membesarkan James. Apa aku masih punya alasan untuk tidak berbahagia ketika mendengarnya ingin menikah?
"Mama, James pengen kayak Mama. Mama selalu baik sama orang, meskipun tante tadi marah, tapi mama tetep senyum, James tadi liat dari sana, James pengen lawan tante itu." Suara lembutnya kembali menyadarkanku, tentang tenggung jawab dan masa depan panjang yang harus kujalani sendirian mulai sekarang.
"Jadilah orang yang lebih baik dari Mama, sayang." Aku mengecup keningnya, ada yang terasa hangat di ujung kedua mataku. Sesuatu yang tertahan begitu lama, hanya agar James bisa lebih baik dan lebih kuat dari aku.
"James juga pengen kayak Om Rendra, yang selalu jagain Mama dari orang-orang jahat yang suka bikin Mama sedih." Katanya tulus dan memeluk lenganku erat.
Dear Rendra, pergilah, aku baik-baik saja...
_Julie Chou_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H