Aku hanya berharap tidak ada perempuan lain yang merasakan apa yang aku rasakan…
Dean menemukanku saat aku baru saja putus dari orang yang bertahun-tahun aku cintai. Pengkhianatan berkali-kali, itu alasanku memilih menyudahi. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta, apalagi dengan orang baru. Jadi aku memilih untuk berteman dulu dengan Dean.
“Kamu mau jadi pacarku?” tanya Dean suatu hari.
“Pacar? Apa semua laki-laki takut berkomitmen?”
“Setidaknya aku butuh waktu untuk mengenal sebelum memutuskan untuk berkomitmen.” Jawabnya lagi.
“Dan sebaiknya aku tidak memiliki hubungan apapun tanpa kepastian.”
“Kamu trauma?” Dean langsung bertanya ke intinya, aku tahu dia bukan tipe orang yang berbelit-belit.
“Tidak juga, hanya saja aku berpikir mengenal orang tidak harus menjadikan miliknya. Lalu bilang tidak cocok, mencari alasan dan meninggalkan.”
Dean tersenyum mendengar penuturanku. Entah merasa lucu dengan kata-kata perempuan yang tujuh tahun lebih muda darinya atau apa.
“Kamu mau cari laki-laki seperti apa?” tanyanya lagi sambil menatapku.
“Dia yang bukan hanya bisa menjadi kekasih, tapi juga teman, bapak dan kakak.”
“Sebanyak itu?” Dean tampak terkejut.
“Iya, lelakiku harus bisa menjadi teman dari teman-temanku, menjadi anak dari orang tuaku, bapak dari anakku, dan kakak dari adikku. Karena aku punya tanggung jawab lain selain diriku sendiri.”
Aku tersenyum getir mendengar apa yang baru saja aku ucapkan sendiri. Iya, aku harus bekerja keras untuk keluargaku. Aku mendapat beasiswa untuk gelar sarjanaku. Tapi kedua adik kembarku tidak, ibuku harus bekerja untuk makan sehari-hari setelah ayahku meninggal dunia. Aku tidak mungkin menutup mata. Aku mengambil waktu setelah jam kuliah untuk bekerja . Sabtu atau minggu, saat anak lain mungkin menghabiskan waktu di mall atau bermain, itu tidak berlaku padaku, Melodi…
***
Aku jarang punya waktu luang, bahkan di akhir pekan, itu yang tidak bisa diterima Nathan, kekasihku dari semestersatu. Dulu aku pikir perbedaan keyakinan adalah kendala terbesar hubungan kami. Ternyata bukan itu saja, ada masalah lain yang menggerogoti hubungan kami. Seperti rayap yang bersarang pada kayu, lalu suatu hari mampu merobohkannya.
Tadinya aku tidak percaya saat teman-temanku bilang Nathan sering keluar bareng Felisha. Aku hanya ingin berpikir positif pada kekasihku. Felisha adalah teman sekampus Nathan, aku tahu itu, Nathan pernah mengenalkannya. Nathan juga selalu memberitahuku saat pergi ke gereja bersama Felisha. Lalu apa yang harus aku curigai dari Nathan?
“Mei, kamu ga cemburu gitu Nathan sering pergi berdua sama Felisha? Apalagi mereka satu kampus.” Tanya Allena sambil menawarkan teh botol kepadaku.
“Ngapain cemburu sih Len, Nathan udah kenalin Felisha ke aku kok. Lagian kan kampus kita sama kampus mereka deketan. Nathan juga tiap hari antar jemput aku ke kampus.”
Dulu, aku berpikir cinta itu mirip pasir, semakin digenggam semakin habis…
Bersambung...
Sumber gambar : Dokumen Pribadi (AL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H