Dulu, aku berpikir cinta itu mirip pasir, semakin digenggam semakin habis. Tapi membiarkan segenggam pasir di telapak tangan yang terbuka, juga tidak menjamin ia akan tetap utuh.
Nathan cukup jantan untuk mengakui semua kebohongannya selama ini, mengakui hubungannya dengan Felisha di belakangku.
“Aku minta maaf Mei…” kata Nathan di ujung penjelasan.
Aku mencoba mencari rasa bersalah atau rasa menyesaldalam ucapan maafnya. Tapi sedikitpun tidak ku temukan.
“Ini bukan yang pertama.” Aku sebisa mungkin menjaga suaraku agar tetap terdengar tegar. Sebisa mungkin menjagaair mata tetap berada di kantungnya.
“Iya, aku minta maaf, membuatmu sakit.”
“Tidak, aku sudah membiasakan diri dengan ini.” Aku mengangkat kepalaku, memandang lurus ke arah matanya.
Sementara mataku sendiri kosong, aku merasa sudah percuma membahas semuanya. Ini kali ketiga Nathan membohongiku. Dan aku rasa sudah cukup sampai di sini. Aku hanya belum bisa membayangkan dan belum bisa menerima dia membagi kata cinta, pelukan, ciuman dan hatinya dengan tiga perempuan lain selain aku.
“Aku terserah kamu sekarang Mei, kamu ingin menghukum ku seperti apa.” Dia menundukkan kepalanya, mirip aku saat kecil dulu setelah melakukan kesalahan dan ayah memarahiku. Aah, aku selalu rindu sosok ayah disaat seperti ini. Aku tidak pernah menemukan laki-laki sebaik ayah hingga saat ini.
“Aku ingin kamu pergi Than, bener-bener pergi dari aku. Itu membantuku untuk bisa melupakan semua tentangmu, senang atau sakit. Dan untuk maafmu, mungkin aku belum bisa maafin semuanya, tapi aku percaya suatu hari pelan-pelan waktu akan menyembuhkan, hingga aku bisa relain dan maafin.”
Nathan bangkit dari kursinya, melangkah pelan hingga benar-benar hilang. Aku menengadahkan kepala, memandang langit yang tenang di atas sana. Lagi-lagi aku tidak ingin menumpahkan air mata.
“Ayah di surga ya Kak Melodi? Jadi bintang. Kata ibu kalau aku kangen ayah, aku di suruh liat langit, ayah bisa liat kita dari atas sana. Ayah bisa denger kita, kalau bintang itu kelap-kelip artinya ayah jawab iya.”
Aku tiba-tiba teringat percakapanku dengan salah satu adikku akhir minggu lalu.
“Rosa sering ngobrol sama ayah? Ngobrol apa aja?”
“Hampir setiap hari, kak Melodi ga pernah ngobrol sama ayah? Kalau aku pengen baju atau mainan baru, terus ga dibolehin ibu, aku sama Rosi sering tanya ke ayah.”
“Kayak gimana tanya ke ayahnya?”
“Yah, Farah punya boneka baru, baguuuuss banget, tapi kata ibu aku sama Rosi ga boleh beli, bonekaku sudah banyak. Aku boleh minta ayah atau minta kak Melodi? Terus ayah diem kak, aku ga jadi minta boneka baru.”
Seandainya saja sesederhana itu untuk berbicara ke ayah, sama seperti cara Rosa dan Rosi. Aku ingin kembali menjadi seumuran mereka. Saat dimana luka di lutut lebih mudah disembuhkan daripada luka di hati. Saat lututku berdarah, ibu mengobati dan aku kemana-mana minta gendong ayah. Aku hanya ingin ayah di sini, aku tidak akan minta gendong lagi, aku hanya ingin ayah bilang kalau semua akan baik-baik saja.
***
Aku berusaha keras melupakan Nathan, berusaha melupakan semuanya. Tentu saja bukan hal mudah, pertama aku mengenal namanya cinta dengan dia, pertama aku tahu rasanya ciuman, nyamannya pelukan juga dengan dia. Tempat aku menumpahkan semua canda, semua luka juga dengan dia. Bukan hal mudah melupakan seseorang yang setiap hari kita lihat dan bersama kita. Bukan hal mudah menarik keluar seseorang yang menghuni setiap sisi hatiku. Tapi aku sadar, aku harus melakukannya, ada sesuatu yang harus diselamatkan…
sumber gambar : guitarid.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H