Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Pertama (Bag.2)

23 Oktober 2014   19:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:59 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya

***

Aku tahu, di balik tembok kelas itu dia sedang berbahagia, dengan pacar barunya. Aku sakit, aku kecewa, bukankah harusnya bahagia, melihat sahabat sedang berbahagia. Jelas saja Ega suka dengan Dita, dia cantik luar biasa, hampir sempurna. Sementara aku siapa? Aku hanya tau bola, tidak tahu caranya bergaya. Aku juga tidak tahu caranya menata rambut, itu kenapa aku memangkasnya pendek. Mereka pasangan yang sempurna, aku saja yang bodoh mengaharapkan Ega.

Tanpa dia, aku seakan hilang kata, aku sudah jarang menulis lagi. Mungkin dia nyawa dari semua tulisanku. Aku hanya menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan atau di kantin. Kadang aku juga masih sering datang ke sudut lapangan, sendirian. Rasanya berbeda, saat aku melihat awan, aku juga melihat dia disana. Dan hanya disana aku bisa menulis sebait atau dua bait puisi.

Rumput di tempat ini jarang di datangi

Itu kenapa dia lebih tinggi

Dia merindukan sepasang kaki

Yang menghiasi dengan jejak mimpi ”

“ Lagi ngapain Nik?” belum selesai aku menulis puisi, tiba-tiba aku dikagetkan suara Ega dari kejauhan.

“ Oh bikin puisi ya? Boleh aku temenin?” Ega lalu mengambil tempat di sebelahku.

“ Kamu ngapain disini?”

“ Loh gimana sih? Ini kan markas kita, aku masih sering kesini, tapi ga pernah ketemu kamu, aku pikir kamu sudah lupa tempat ini Nik.”

Aku sedikit terkejut mendengar kata-kata Ega, aku pikir dia sudah lupa dan tak pernah datang kesini lagi. Ternyata dia malah menduga sebaliknya.

“ Aku masih sering kesini kok.” Aku menjawab sambil tersenyum ke arahnya.

“ Rambut mu kapan panjangnya sih Nik, kok dari dulu segitu. Aku mau gambar kamu, tapi pas rambut kamu panjang.”

“ Kenapa ga bikin gambarnya Dita aja? Kan dia rambutnya panjang?” Aku balik tanya ke Ega

“ Udah sering Nik, tapi dia ga suka, dia ga suka gambar.” Seperti ada nada kecewa dalam kata-katanya.

“ Oh ya Nik, kamu kan suka nulis, aku suka bikin gambar, gimana kalo kita kerjasama bikin komik?” Dia mencoba mengalihkan pembicaraan kita.

“ Males ah, kerjasama bareng kamu itu bikin rugi.”

“ Lah, rugi gimana Nik? Kan kalau sukses kita sukses bareng, siapa tahu komik kita selaris Conan, Bleach, Naruto .”

“ Aku ga bisa bikin cerita detektif, apalagi cinta.” Jawabku singkat

“ Kalau kayak Doraemon gitu bisa ga Nik?” Ega menatapku sambil tertawa kecil.

“ Bisa, asal tokoh Nobita diganti jadi kamu.” Aku menjawab sambil tertawa dan berlalu dari Ega.

“ Kamu mau kemana Nik?” Ega menyusulku sambil menarik tanganku.

“ Ga denger bel masuk ya? Kalau kamu mau nongkrong disini, aku ogah nemenin.”

“ Eh, uda masuk ya? Cepet banget sih, baru juga aku duduk. Oh ya Nik, kemarin aku beli ini sepasang, nih satunya buat kamu.” Dia memberikan sebuah gelang tim bola kesukaan kami, Arsenal.

Kadang Ega masih sering datang ke kelasku, menemaniku ngobrol atau makan siang di kantin. Tentang pacarnya, entahlah, aku lebih memilih untuk tidak membahasnya. Kadang kalau aku harus bertemu Dita di tempat parkir atau di depan kelas. Aku lebih suka pura-pura tak melihatnya. Yang aku tahu Ega jarang terlihat berdua dengan Dita saat di sekolah. Sementara Ega lebih sering bersamaku, apalagi minggu depan ada pertandingan basket dengan sekolah lain. Aku dan Ega masuk tim inti, jadi kami lebih sering latihan basket bersama.

Di saat jam istirahat, saat Ega tidak datang ke kelasku atau tidak menemaniku makan siang, aku lebih suka sendirian di lapangan. Seperti siang ini, aku duduk di sana sendiri. Ditemani novel baru yang aku pinjam dari perpustakaan kemarin. Tiba-tiba Ega dan Dita datang ke arahku, berdua, bergandengan tangan.

Aku geram, ternyata dia juga membagi “markas kami” dengan orang lain. Ternyata dia juga melihat awan yang biasa aku lihat dengannya bersama orang lain. Dan dia menghadirkan orang lain ditempat ini, tempat yang sedang aku duduki. Serasa Ega ada di depanku, sambil berkata “ Niki, kamu mau berbagi? Berbagi aku dan tempat ini? “. Ah, aku pergi saja dari sini, biar mereka berdua saja. Aku berbalik ke kelas, melewati mereka, tanpa bicara, tanpa menyapa. Aku marah sebenarnya, tapi mau apa? .

Aku sudah malas bertemu Ega, sayangnya sepulang sekolah ada jadwal latihan basket bareng. Mau tidak mau aku harus bertemu dia. Dengan keadaan seperti ini, aku sebenarnya malas berlatih basket. Ingin segera pulang dan tidur seharian. Tapi hukuman 25 kali push up untuk yang tidak datang dalam latihan rasanya membuatku tetap harus pergi latihan.

“ Niki, fokus! saya masih punya forward pengganti kalau kamu kayak gini.” Pelatih basket memarahiku karena shootingku berkali-kali meleset.

“ Latihan cukup sampai di sini, besok kita lanjut lagi. Buat Niki, kamu tolong latihan lebih keras. Pertandingan seminggu lagi. “ kata pelatih basket mengakhiri.

Satu persatu teman mulai meninggalkan lapangan, Ega juga. Tapi aku masih mau disini, sendiri. Dari dulu, basket seperti pelampiasan saat aku kesal. Aku juga tidak tahu setiap aku bermain basket saat aku kesal, tembakan ku payah. Padahal alasan aku suka dengan basket adalah agar aku tetap fokus pada satu titik. Agar aku bisa tetap menembak bola dengan baik di ring, meski banyak rintangan. Satu titik, kalau kita lihat dengan ambisi, bukan dengan hati hasilnya tidak akan baik. Satu titik kalau kita kerjakan dengan emosi, semua akan berantakan. Sama saat kita melempar bola kea rah ring. Bukan dengan ambisi, bukan dengan emosi, tapi dengan hati. Dengan power yang diperhitungakan, dan…aku gagal lagi. Sialan , tembakanku gagal terus daritadi.

“ Niki, belum pulang kamu?” aku kenal suara itu, Ega. Aku malas menjawabnya, atau menoleh ke arahnya.

“ Gerimis Nik, kamu ga pulang?” dia mulai berjalan ke arahku. Tapi aku masih tidak peduli, aku masih asik memainkan bola di tanganku. Seolah-olah tidak ada orang lain di lapangan itu selain aku.

“ Kamu ga pulang? Udahan latihannya mau hujan.” Dia merebut bola di tanganku. Mau tidak mau aku menatapnya.

“ Aku mau sendirian.” Jawabku sambil merebut bola di tangannya.

“ Kamu ada masalah? Cerita sama aku. Tapi jangan disini Nik, mau ujan.”

Dan gerimis menjadi hujan betulan. Dalam waktu sebentar aku dan Ega basah kuyup kehujanan. Tapi aku tetap bermain di tengah lapangan.

“ Nik, ga usah diambil hati kata Pak Dion, tembakan kamu bagus kok, Cuma tadi sering ga fokus, paling kamu kecapekan aja.” Ega berusaha membujukku, tapi aku tetap diam saja.

Ingin rasanya aku berteriak di depan mukanya, kalau aku sebenarnya bukan bermasalah dengan pelatih, tapi dengan dia. Masalah hati, masalah rasa, aku cemburu, melihat dia ke lapangan dengan pacarnya tadi siang. Aku marah, aku kesal, itu kenapa tembakanku melenceng. Aku tidak bisa fokus, karena isi otakku mendidih, hatiku perih. Rasanya kamu dan Dita sedang tertawa di depan mataku sambil menjulurkan lidah.

“ Kamu marah sama aku?” dia kembali bertanya saperti bisa membaca pikiranku. Lalu merebut bola di tanganku.

“ Apa maumu?” aku berteriak ke arahnya.

“ Jadi kamu benar-benar marah sama aku? Kenapa?”

Kenapa katanya, belum tahu juga ya. Atau sengaja tidak mau tahu.

Akhirnya kita berdua bertanding basket ditengah hujan. Aku makin geram. Kenapa dia harus ada disini sekarang, padahal aku benar-benar tidak ingin melihatnya. Kenapa justru ada di depanku, menantangku. Lapangan basket mulai licin karena hujan, secara tidak sengaja aku terjatuh dan lututku luka. Dia melempar bola lalu menghampiriku.

“ Kamu ga papa?”

“ Ga papa, masih bisa ngelawan kamu.” Jawabku sengit

“ Aku ga mau. Aku ga mau ngelawan kamu?”

“ Kenapa? Karena aku temanmu?” aku menatap tajam ke arahnya.

“ Aku ga mau bertanding dengan lawan yang tak seimbang. Kamu sakit, tunggu sampai kamu sembuh.” Dia balas menatapku sambil tersenyum

“ Aku kuat berdiri, aku kuat berlari, aku yakin aku juga bisa mengalahkanmu.” Aku masih bersikeras.

“ Dasar keras kepala, jangan salahkan aku kalau kamu kenapa-kenapa dan absen dari pertandingan. Aku tahu kamu marah sama aku, tapi kasih tahu aku, apa yang buat kamu marah?”

“ Aku tidak suka ada orang lain di markas kita.” Aku berdiri dan berjalan menjauhinya.

“ Orang lain? Orang lain siapa?” Ega berlari menyusulku.

“ Menurutmu?” aku menghentikan langkah, dan sekarang berhadapan dengan dia.

“ Dita? Ya ampun Niki. Kamu salah paham.” Ega tertawa terbahak-bahak

“ Gelangku, pasangan yang kamu pakai tadi jatuh di lapangan. Aku nyari-nyari, Dita mau bantuin aku. Dia ga pernah tau tentang markas kita, itu rahasia kita.”

Aku gelagapan, malu sendiri mendengar penjelasannya. Gila kamu Niki, bodoh.

“Jangan konyol dong Nik, kayak anak kecil aja, pakai ngambek. Aku anterin kamu pulang yuk, ganti baju trus aku traktir kamu bakso. Mau kan? Mau pasti”

Aku menghela nafas. Kapan kamu mau tahu tentang perasaanku Ega. Apa iya aku harus teriak di tengah lapangan bilang cinta.

***

Sekarang aku sudah kelas tiga, artinya waktuku bersama Ega tidak lama. Hari yang berganti, seperti mengantarkan aku pada kematianku sendiri. Apa bisa aku tetap bersama Ega setelah kami lulus? Apa bisa kita tetap jadi teman dekat setelah ini

------ Sumber Gambar : http://www.ringoffire.ch/inscriptions ------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun