Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Pertama (Bag. 3)

29 Oktober 2014   19:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sebelumnya

***

Sekarang aku sudah kelas tiga, artinya waktuku bersama Ega tidak lama. Hari yang berganti, seperti mengantarkan aku pada kematianku sendiri. Apa bisa aku tetap bersama Ega setelah kami lulus? Apa bisa kita tetap jadi teman dekat setelah ini.

“ Kamu mau lanjut kuliah dimana?” tanyaku pada Ega sambil makan bakso di kantin sekolah.

“ Aku sama Dita mau lanjut ke Jakarta.”

“ Kenapa?” tanyaku lagi, entahlah apa alasanku untuk memilih mengucapkan kata-kata itu.

“ Apanya yang kenapa Nik?”

“ Kenapa Jakarta? Kita makin jauh dong, aku mau kuliah di Malang.” Buat apa memberitahu Ega, berharap dia mau ikut denganmu Nik ?

“ Keluarganya Dita pindah ke Jakarta, Dita bilang dia mau pindah asal aku juga kuliah disana. Kamu sendiri kenapa mau kuliah di Malang, ga disini aja?” Ega balik tanya ke aku.

“ Malang masih deket kan sama Surabaya, aku masih bisa sering pulang. Bosen ah di Surabaya terus, di Malang kalau bosen larinya ke pantai, ke pegunungan kan deket.”

“ Kalau aku bosen sama Jakarta, aku lari ke Malang juga deh.” Ega tersenyum sambil menghabiskan baksonya.

“ Aku punya tantangan buat kamu.” Sambungnya lagi.

“ Apa?” tanyaku penasaran

“ Empat tahun setelah kita lulus SMA, ayo ketemu lagi di lapangan, sambil bawa ijaza sarjana kita. Setuju?” dia mengulurkan tangannya

“ Setuju, yang telat lulus sarjana, akan kena denda ya.” Aku menyambut jabatan tangannya.

***

Dua minggu lagi pengumuman kelulusan, kami anak-anak kelas Tiga jarang pergi ke sekolah. Ada yang mengikuti tes perguruan tinggi, ada yang sudah mengantongi tiket masuk perguruan tinggi karena prestasi. Waktu dua minggu itu aku makin jarang ketemu Ega. Sampai di Sabtu sore dia mengirim sebuah pesan singkat.

“Udah nemu kebaya buat wisuda Senin besok?”

“ Opps, aku lupa, gimana nih?”

Gila, bisa-bisanya aku lupa kalau Senin besok kita wisuda dan aku belum nyiapin semuanya. Bahkan undangan wisuda untuk wali pun masih tersimpan rapi di tas ranselku, belum aku sampaikan ke ayahku.

“Lima belas menit lagi aku ke rumahmu, tunggu!” pesan masuk dari Ega. Nah, ini dia ngapain juga mau ke rumah.

Aku buru-buru mengganti baju dan menyisir rambutku, Ega membunyikan klakson motornya di halaman rumah. Dan aku seperti biasa, keluar dengan tali sepatu yang belum terikat sempurna.

“Kok tumben bawa motor?” tanyaku sambil merapikan tali sepatuku.

“Tau sendiri Ahmad Yani jam segini macet, daripada kita telat.”

“Emang kita mau kemana?” aku masih berdiri di sebelahnya.

“Kencan.” Jawabnya santai

“Udah ayo naik, jangan bawel.” Tambahnya lagi. Dan aku hanya menurut dengan sedikit cemberut.

. ***

Motor Ega melaju kencang melewati daerah Sidoarjo, aku masih tidak tahu dia mau membawaku kemana.

“Kita mau kemana sih?”

“Malang.” Jawabnya singkat.

“Hah!!! Malang? Ngapain? Aku belum bilang sama ibu, Ega.”

“Aku udah bilang kok, malam ini aku minjem kamu bentar. Dan aku janji balikin kamu ke rumah sebelum jam sebelas, makanya jangan bawel, ngebut ini.

“Ta…Tapi…” Belum sempat aku meneruskan kalimat, Ega malah menambah kecepatan motornya.Yap, percuma saja berdebat dengan dia di saat seperti ini, not responding. Yang penting Ega sudah meminta ijin kepada orang tuaku.

Ega terus melajukan motornya ke daerah Batu, sampai kita tiba di suatu tempat bernama BNS. Ega menggandeng tanganku, mengajakku berkeliling arena BNS.

“Kamu mau main apa?” tanyanya.

“Coba rumah hantu ya, tapi naik kereta aja ya.”

“Oke, tunggu sebentar aku beli tiketnya.”

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya giliran kami. Kami saling olok saat tembakan kami meleset, saling menertawakan saat salah satu kaget dengan boneka hantu yang tiba-tiba muncul.

“Wauw, gula kapas.”

“Kamu mau?” tanya Ega. Aku menganggukkan kepala, selang beberapa menit Ega kembali dengan dua bungkus gula kapas.

“Kita kemana lagi?” tanyanya sambil menjumput bola kapas di tanganku.

“Iiihh, kamu kan pegang satu, masih aja makan punya orang.” Aku menggerutu sebal.

“Biarin…” Ega menjulurkan lidahnya dan membuatku semakin sebal.

“Nyebelin!” kataku sambil memukulnya, tapi meleset, sehingga gula kapasku menempel ke gula kapas di tangan Ega.

“Tuh kan, kamu sih, jadi nempel gula kapasku.”

“Ga apa-apa, cara makannya gini.” Ega mendekatkan tubuhnya, melingkarkan sebelah tangannya ke pinggangku. Aku kaget, aku menatap lurus ke arahnya.

“Ga apa-apa Nik, ga apa-apa.” katanya sambil tersenyum. Sementara dentuman keras di jantungku membuat tubuhku sedikit bergetar.

“Ikut aku nyari action figure ya.” Katanya sambil berjalan menuju pusat oleh-oleh dan kerajinan tanpa melepaskan pelukannya.

“Ega jangan kayak gini ah, diliatin orang.” Aku melepaskan diri dari pelukannya. Ega hanya tersenyum, lalu menggandeng tanganku. Kita keluar masuk toko mencari action figure, tapi tidak ada yang cocok dengannya. Akhirnya Ega memutuskan membeli sepasang anime figure Ichigo Kurosaki dan Rukia Kuchiki.

“Yang satu buat kamu.” katanya sambil memberikan Ichigo yang dipilihnya.

“Sekarang kita kemana lagi? Udah malem Ega, kita balik Surabaya jam berapa?” aku melihat jam tangan sambil memasukkan “hadiah” dari Ega ke saku jaket.

“Taman Lampion, terus pulang, oke?!”

“Iya.” jawabku cepat. Ega lalu menggandeng tanganku ke arah taman lampion. Ada bermacam-macam bentuk dan warna yang membuatnya sangat menarik malam itu. Di tempat itu, di bawah lampion berbentuk hati Ega menciumku, ciuman pertamaku.

.......... Bersambung .......

Sumber Gambar : http://eastapple.wordpress.com/2011/02/11/semanis-gula-gula-kapas/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun