"Hebatnya anak wedok satu ini, calon master ! Kampusnya dekat-dekat sini kan nak ?", ujar Bapak sekejap setelah memelukku yang baru saja berhasil meraih beasiswa studi master.Â
Bapak memang keberatan jika Aku jauh dari jangkauan mata. Keengganan Bapak merelakan anak perempuannya menempuh pendidikan ke luar kota karena khawatir akan keselamatanku. Terlebih, menyaksikan lalu lalang berita kekerasan seksual yang marak terjadi di kampus membuat beliau semakin yakin Aku lebih aman jika berada di dekatnya.Â
Sejujurnya, Aku juga memiliki kekhawatiran serupa. Pernah sesekali mengalami pelecehan seksual di lingkungan kampus membuatku kembali mempertanyakan mimpi meraih gelar magister pada salah satu universitas terbaik di negeri ini.Â
Apakah Aku mampu menyelesaikan pendidikan dalam bayang-bayang kekerasan seksual ?
Aku yakin banyak mahasiswi di luar sana yang merasakan hal serupa. Alih-alih fokus dengan kegiatan kuliah, energi kami justru banyak terkuras untuk menjaga diri dari kemungkinan tindak kekerasan. Misalnya, selektif memilih pakaian kuliah supaya tidak menjadi pusat perhatian, terburu-buru menyelesaikan pengamatan di laboratorium kampus sebelum hari mulai gelap, hingga merasa was-was ketika berliterasi di perpustakaan saat sedang sepi pengunjung.Â
Isu Kekerasan Seksual Masih Menjadi Bagian Kelam Perguruan Tinggi
Data Kemendikbudristek yang dihimpun dari berbagai kanal lembaga negara pada periode 2015-2020 mencatat sebanyak 27% aduan kekerasan seksual yang diterima terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Komnas Perempuan juga mencatat kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di universitas dengan total 35 kasus sepanjang periode 2015-2021.Â
Senada dengan itu, survei kementrian melaporkan sebanyak 77% dosen menyatakan dengan tegas kekerasan seksual pernah terjadi di kampus pada 2020. Namun, 63% diantaranya tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Berdasarkan data tersebut, kekerasan seksual di lingkup kampus bagaikan fenomena gunung es. Ternyata masih banyak kasus yang belum terungkap karena minimnya pelaporan.Â
Mengapa demikian ? Pertama, minimnya bukti yang dimiliki korban mengingat kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan yang sulit dibuktikan terutama kekerasan verbal dan non fisik. Kedua, ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Pelaku umumnya memiliki kuasa yang lebih tinggi dari korban baik dari segi struktural maupun sosial sehingga menempatkan korban ke dalam posisi inferior. Ketiga, stigma negatif yang berkembang. Alih-alih berpihak kepada korban, masyarakat justru memandang korban memiliki andil dalam terjadinya kekerasan. Misalnya, hubungan antara tindak kekerasan seksual dengan pakaian korban hingga waktu dan lokasi kejadian. Â Â
Keempat, belum ada peraturan perundangan yang secara komprehensif menangani permasalahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Memang benar sudah ada beberapa undang-undang mengenai tindak kekerasan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA), Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dan Undang-Undang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, berbagai peraturan tersebut tidak dapat menjangkau korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.Â
Berdasarkan data di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa isu mengenai kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi adalah isu yang besar dan urgen sehingga diperlukan solusi berupa peraturan khusus yang menangani tindak kekerasan di lingkungan kampus.Â
Semarak Merdeka Belajar, Tetaskan Solusi Kekerasan Seksual di Kampus
Aku rasa tidak perlu lagi memperkenalkan Merdeka Belajar secara khusus karena program besutan Kemendikbudristek ini telah dikenal masyarakat secara luas. Setelah berjalan selama kurang lebih empat tahun, Â Merdeka Belajar ala Mas Menteri Nadiem Makarim patut diapresiasi karena berhasil menghadirkan kegiatan pembelajaran yang mandiri, kreatif, dan menyenangkan bagi peserta didik maupun tenaga pendidik di berbagai tingkat pendidikan mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.Â
Dari 24 episode Merdeka Belajar, Aku memilih"Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual" sebagai program merdeka belajar terfavorit. Program tersebut adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai dari orang tua, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta mahasiswa/mahasiswi di seluruh Indonesia.Â
Kini, mahasiswa dan tenaga kependidikan benar-benar merdeka dalam menimba ilmu atau bekerja di lingkungan perguruan tinggi tanpa dibayangi kegelisahan akan kekerasan seksual. Terlebih, melihat keseriusan Kemendikbudristek menuntaskan isu kekerasan seksual dengan menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS).
Mengenal Lebih Jauh Permendikbudristek PPKS
Sayangnya, di tengah gegap gempita Permendikbudristek PPKS, berkembang dugaan jika peraturan ini dikhawatirkan akan melegalkan perzinaan. Perlu diketahui bahwa Permendikbudristek PPKS tidak berdiri sendiri, masih ada norma sosial, agama, dan undang-undang terkait seperti Undang-Undang Perkawinan, KUHP, dan undang-undang lainnya yang juga akan terintegrasi dengan Permendikbudristek PPKS Nomor 30 Tahun 2021. Oleh karenanya, tuduhan peraturan ini akan melegalkan perzinaan tidak benar adanya.Â
Tak kenal maka tak sayang, publik memang perlu mengenal lebih jauh Permendikbudristek PPKS supaya tidak perlu ada kegelisahan serupa. Perlu diketahui Peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) memiliki empat tujuan utama. Pertama, pemenuhan hak pendidikan setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang aman. Kedua, penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan.Â
Ketiga, peningkatan pengetahuan tentang kekerasan seksual dimana adanya peraturan ini diharapkan seluruh kampus di Indonesia semakin teredukasi tentang isu dan hak korban kekerasan seksual. Keempat, penguatan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan perguruan tinggi dalam menciptakan budaya akademik yang sehat dan aman.Â
Selama ini timbul kebingungan dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus terkait pemahaman mengenai kekerasan seksual itu sendiri. Permendikbudristek PPKS mengakomodasi hal tersebut dengan memperinci definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Peraturan ini terbukti progresif karena menyertakan kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan teknologi informasi (daring) dan verbal dimana peraturan sebelumnya hanya mengenali kekerasan yang melibatkan kontak fisik. Padahal kekerasan seksual secara verbal dan daring juga memiliki dampak serius terhadap psikologi korban dan membatasi haknya atas pendidikan dan pekerjaan akademik yang bersangkutan.Â
Siapa saja sasaran Permendikbudristek PPKS ?Â
Mengacu pada pasal 4 sasaran peraturan ini mencakup mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.Â
Permendikbudristek PPKS : Melindungi dan Mengedepankan Korban Kekerasan Seksual
Hilangnya asas keadilan sering terjadi dalam penetapan sanksi. Alih-alih berpihak kepada korban, sanksi justru berorientasi ke pelaku. Permendikbudristek PPKS mengakomodasi hal tersebut dengan melakukan kategorisasi sanksi mulai dari sanksi administratif ringan, sedang, hingga berat. Pemberlakuan sanksi kepada pelaku harus mempertimbangkan dampak akibat perbuatan kekerasan seksual terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi terkait jika ada laporan kekerasan seksual?
Terdapat empat langkah penanganan, pertama adalah pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, advokasi, bimbingan sosial, bantuan hukum hingga pendampingan khusus bagi korban disabilitas. Kedua, perlindungan yaitu jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman bagi korban, serta korban atau saksi bebas dari ancaman atas laporan atau kesaksiannya.Â
Ketiga, pemulihan kondisi korban yang melibatkan tenaga ahli seperti psikolog, tenaga medis, pemuka agama, organisasi pendamping korban. Keempat, pemberlakuan sanksi administratif kepada pelaku dengan menimbang dampak terhadap korban kekerasan. Dari sini terlihat bahwa Permendikbudristek PPKS melindungi dan mengedepankan kepentingan korban.
Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Melalui Satuan TugasÂ
Demi menjamin implementasi Permendikbudristek PPKS di lapangan dibentuk satuan tugas pada masing-masing perguruan tinggi yang secara khusus membantu Rektor dan Direktur. Satgas bertanggung jawab memberikan edukasi tentang pencegahan kekerasan seksual, menangani pelaporan berupa tindak lanjut aduan, pemulihan korban hingga mengawasi keputusan bagi pelaku. Mengingat peran vital tersebut maka penting untuk memastikan independensi satgas.Â
Bagaimana jika keputusan dirasa tidak adil oleh korban dan/atau terlapor ? Dijelaskan lebih lanjut, korban dapat meminta Dirjen Diktiristek dan/atau Dirjen Diksi melakukan pemeriksaan ulang.Â
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemendikbudristek, pembentukan satgas PPKS di tingkat perguruan tinggi negeri telah mencapai 100% pada periode Juli-Oktober 2022. Sementara itu, sebanyak 49 perguruan tinggi vokasi dan 75 perguruan tinggi akademik sudah memiliki satgas PPKS. Capaian ini tentunya sangat menggembirakan karena dalam waktu kurang dari setahun sejak penetapan Permendikbudristek  PPKS masing-masing perguruan tinggi telah responsif dengan membentuk satgas guna menjamin implementasi peraturan tersebut di lapang.Â
Laporan LPSK menyebut bahwa permohonan perlindungan kasus kekerasan meningkat sebesar 25,82% pada 2022. Hal ini membuktikan Permendikbudristek PPKS efektif menangani kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Kini, tidak perlu ada lagi kegelisahan orang tua yang hendak menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi. Tidak perlu lagi ada ketakutan bagi mereka yang bekerja sepenuh hati di lingkungan kampus. Tidak perlu lagi ada keraguan bagi mereka yang bermimpi menuntaskan pendidikan setinggi-tingginya.Â
Selamat menikmati pembelajaran yang aman khususnya bagi para mahasiswi calon srikandi masa depan !Â
Semarak Merdeka Belajar Warisan bagi Generasi Mendatang
Banyak pihak yang menggantungkan harapan pada Merdeka Belajar. Serangkaian program Merdeka Belajar sudah sepatutnya menjadi warisan bagi dunia pendidikan, sehingga Semarak Merdeka Belajar tidak hanya dapat dinikmati generasi saat ini tapi juga generasi mendatang.
Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, semangat para guru penggerak menyajikan yang terbaik di ruang-ruang kelas, hingga pelajar yang tertantang berpikir kreatif dan bebas berinovasi adalah potret dunia pendidikan Indonesia yang perlu terus dilestarikan antar generasi.Â
Sebagai seorang Ibu, Aku juga berharap putriku turut menikmati pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif melalui Semarak Merdeka Belajar kelak. Sehingga Ia tumbuh menjadi pribadi pembelajar sepanjang hayat (long life learner) yang mendedikasikan keilmuannya demi kemajuan bangsa. Apapun profesi yang akan Ia pilih nanti, entah sebagai seorang diplomat, pendidik, atlet, ilmuwan, atau seniman.Â
Referensi :
MB 14 Paparan Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual
Siaran Pers Kemendikbudristekjpnn.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI