Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Thrift Shopping, Aksiku Dukung NZE Dimulai dari Isi Lemari

24 Oktober 2021   20:12 Diperbarui: 24 Oktober 2021   20:18 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mbok ya kalau jualan barangnya yang bagus. Barang bekas siapa yang minat ?"

Pernyataan di atas masih terngiang, diucapkan oleh seorang kawan saat mengetahuiku memulai sebuah bisnis kecil-kecilan berjualan pakaian bekas atau yang dikenal dengan "babebo" alias Baju Bekas Bos. Entah harus bersyukur atau tidak, pernyataan pedas di atas menghentikanku untuk meneruskan usaha pakaian bekas. Aku kemudian memilih fokus menekuni karir sebagai seorang akademisi tulen yang gemar mencicipi bangku kuliah di berbagai jenjang pendidikan. Ternyata, hal-hal yang kurang menyenangkan dalam hidup memang harus terjadi untuk mengantarkan kita menuju tempat yang bisa jadi lebih membahagiakan.  

Kalau dipikir-pikir,  respon kawanku saat itu merupakan cerminan kondisi masyarakat yang memang belum dapat menerima budaya berbelanja pakaian bekas atau yang kini hits dengan istilah "thrifting". Murahan, kotor, dan berbahaya merupakan sederet citra yang lekat dengan si babebo (Baju Bekas Bos).

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Sehingga wajar jika orang-orang sampai mati-matian menyembunyikan identitas pakaian yang mereka beli di pasar loak. Intinya jangan sampai kawan, tetangga, bahkan keluarga sendiri menangkap basah kita mengenakan pakaian bekas. Hahaha... terkesan sedikit berlebihan ya ? Tapi itulah realita yang terjadi.

Ngetren di Kalangan Anak Muda, Budaya Thrifting Curi Perhatian Dunia

Dilansir dari UrbanAsia, thrifting berasal dari kata 'thrift' yang artinya berkembang atau maju dan 'thrifty' yang diartikan sebagai cara menggunakan uang dan barang secara efisien. Berdasarkan dua kata tersebut, thrifting kemudian dimaknai sebagai kegiatan membeli atau berburu barang bekas.

Jika dulu berbelanja pakaian bekas dipandang sebelah mata, berbeda dengan kondisi saat ini. Berkat berputarnya tren fesyen ke model pakaian lawas, membuat thrifting digandrungi anak-anak muda. Di Indonesia sendiri, thrifting mulai naik daun semenjak pandemi hingga menjadi pop culture. Awalnya kegiatan tersebut didorong motif ekonomi untuk menekan pengeluaran membeli kebutuhan sandang, terutama saat pandemi dimana pendapatan masyarakat cenderung menurun.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Ttingginya permintaan pakaian bekas pada segmen pasar anak-anak muda kemudian menumbuhkan peluang bisnis yang manis. Kini, banyak penjual pakaian bekas baik secara online maupun konvensional di dalam negeri. Tak hanya pakaian, jenis barang yang dijajakan kian beragam, mulai dari sepatu, tas, hingga aksesori, membuat tren thrifting kian mernarik.

Keuntungan Thrift Shopping (Dokumentasi Pribadi)
Keuntungan Thrift Shopping (Dokumentasi Pribadi)

Dilihat dari kaca mata ekonomi, thrifting telah tumbuh menjadi sebuah ekosistem bisnis yang bernilai fantastis. Menurut laporan IBISWorld misalnya, industri thrifting memiliki nilai mencapai 14,4 Miliar US dolar atau sekitar 205,149 triliun rupiah. Berbagai sumber memprediksi nilai tersebut kemungkinan besar masih akan terus menanjak pasca pandemi nanti.

Aku & Thrifting, Dari Enggan Hingga Berlangganan 

Studi yang dilakukan peneliti asal  Chonbuk National University tentang preferensi konsumen terbaru menunjukkan bahwa kaum milenial suka berbelanja dan bangga menggunakan barang bekas. Menurutku hal ini rasional, dikarenakan anak-anak muda begitu menikmati proses mendapatkannya karena menantang, berbeda dengan membeli pakaian baru. Aku senang sekali menyaksikan euforia kawan-kawan seusiaku memamerkan kreasi Outfit of The Day (OOTD) bertema pakaian bekas di akun sosial media masing-masing.

Jika dulu pakaian bekas dipandang sebelah mata karena harganya yang murah, sebaliknya kini anak muda justru akan merasa berhasil jika mendapatkan barang dengan harga semurah mungkin. Tak jarang aku menyaksikan kawan satu tongkrongan sering adu murah barang thrift yang mereka kenakan, yang paling murah akan jadi pemenangnya, meski tanpa hadiah.

Bagaimana dengan diriku, sudah berapa lusin pakaian bekas di dalam lemari ? Eits... Jangan tanya, jawabannya nihil. Kendati pernah berkecimpung di dunia thrifting tak lantas membuatku menggilai belanja pakaian bekas. Entah mengapa aku tidak bergeming sedikitpun untuk ikut meramaikan tren yang sedang marak.

Hingga suatu hari, seorang kawan yang merupakan aktivis lingkungan memberiku perspektif baru. Diutarakannya, tren thrifting tidak hanya gaya baru dalam berbelanja kebutuhan sandang, lebih dari itu tumbuhnya tren tersebut berdampak positif terhadap lingkungan, terlebih dalam mendukung gerakan Net-Zero Emissions (NZE) yang bertujuan mengurangi produksi volume emisi karbon yang merupakan penyebab krisis iklim. Tak hanya itu, melalui NZE, diharapkan emisi yang diproduksi manusia bisa diserap secara alamiah oleh pohon, laut, dan tanah sehingga tak ada yang menguap hingga ke atmosfer. 

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Terjadi ?

Berdasarkan penjelasan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), aktivitas manusia mulai dari kegiatan pertanian & peternakan, pemakaian bahan bakar fosil, hingga kebutuhan sandang, memproduksi gas Karbon Dioksida , Metana, Nitrogen. Senyawa kimia tersebut kemudian mengubah komposisi material dari atmosfer bumi atau yang dikenal Gas Rumah Kaca (GRK).

Bukankah Gas Rumah Kaca (GRK) berfungsi menjaga suhu bumi ?

Betul sekali, Gas Rumah Kaca (GRK) pada dasarnya memang dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar tetap stabil. Namun, aktivitas manusia modern meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) dari waktu ke waktu sehingga membuat lapisan atmosfer kian tebal. Nah, penebalan lapisan atmosfer inilah yang menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer semakin banyak, sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu bumi, atau yang populer dengan istilah pemanasan global (Global Warming).

Mendengar penjelasan tersebut, aku merasa ditampar Bruce Lee, sang legenda kungfu, aduh rasanya sakit sekali. Dalam hati aku berteriak “kemana aja kamu selama ini ?” Persoalan mengenai lingkungan yang begitu esensial saja tidak mengerti.

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk mengubah gaya hidup dalam berbusana dengan beralih ke pakaian bekas. Bila benar-benar membutuhkan baju untuk menghadiri acara tertentu yang memang tidak ada di lemari, aku akan mengandalkan toko online langganan yang menjual beraneka pakaian bekas dengan harga miring. 

Outfit of The Day (OOTD) Mengenakan Pakaian Thrift (Dokumentasi Pribadi)
Outfit of The Day (OOTD) Mengenakan Pakaian Thrift (Dokumentasi Pribadi)

Aku tidak menyangka hubunganku dengan pakaian bekas akan berubah drastis, awalnya enggan kini justru berlangganan.

Tunggu Dulu, Bagaimana Thrifting Berkontribusi Menekan Emisi ? 

Dilansir dari situs World Bank, industri fesyen bertanggung jawab atas 10% dari emisi tahunan karbon dunia. Dijelaskan lebih jauh, hadirnya Fast Fashion memiliki konsekuensi terhadap produksi pakaian dengan kecepatan tinggi di seluruh pabrik tekstil global. Tak hanya itu, kegiatan pengiriman produk tekstil dan fesyen melibatkan penerbangan internasional dan pelayaran laut yang berkontribusi menghasilkan emisi. Tanpa penanganan serius, peneliti memprediksi emisi gas rumah kaca industri fesyen akan melonjak lebih dari 50% pada tahun 2030 mendatang.

Nah... selaras dengan penjelasan sebelumnya, lonjakan emisi karbon dunia tentunya akan mendorong terjadinya krisis iklim. Lalu, kita tinggal menunggu waktu menyambut dengan duka berbagai fenomena krisis iklim seperti banjir, kekeringan, kenaikan permukaan air laut,  dan kenaikan suhu bumi. Fenomena yang sebenarnya sudah kita rasakan dalam beberapa dekade belakangan ini.

Aku tidak bisa membayangkan jika lonjakan emisi karbon tidak bisa ditekan, berapa banyak bencana alam yang akan merundung masa depan anak cucu kita ? Terlebih, Climate Risk Country Profile yang dirilis World Bank Group, menyatakan Indonesia merupakan negara berstatus “highly vurnerable’ atau rentan terhadap dampak krisis iklim. Deretan panjang fakta di atas kembali menekankan pentingnya beralih menggunakan kembali (reuse) pakaian bekas sebagai upaya agresif yang dapat dilakukan anak muda dalam mengurangi jejak karbon.  Thrift Shopping juga membantu mengurangi sampah tekstil yang terbuang karena pemanfataan baju-baju tak terpakai/bekas secara berkelanjutan.

Biaya Lingkungan Yang Perlu Kita Bayar dari Selembar Pakaian Baru

“Di balik setiap gaun, celana jin, kemeja,  dan kaus kaki, ada biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan”

Setiap kita membeli pakaian baru, label harga menunjukkan angka yang harus kita bayar. Fakta yang belum diketahui sebagian besar orang, bahwa ketika kita membeli pakaian baru, ada biaya terhadap lingkungan yang juga perlu diperhitungkan.

United Nations Environment Program (UNEP) melaporkan, dibutuhkan sebanyak 3.781 liter air untuk membuat sepotong celana jin. Selain itu, diperkirakan sekitar 33,4 kilogram karbon dihasilkan dalam proses  budidaya tanaman kapas hingga distribusi produk akhir sampai ke tangan konsumen. Itu hanya satu celana jin, bayangkan berapa besar biaya lingkungan untuk semua pakaian yang ada di lemari kita ?

Data statistik yang diterbitkan oleh Ellen MacArthur Foundation bersama United Nations Environment Program (UNEP) memberi gambaran mengenai dampak industri fesyen dari sisi lingkungan.

Tercatat, proses produksi pakaian menggunakan 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya, setara dengan kebutuhan konsumsi lima juta orang. Selain itu, sekitar 20% air limbah di seluruh dunia berasal dari kegiatan pencelupan dan pengolahan kain. Aku kemudian dibuat semakin terkejut mengetahui bahwa sebanyak setengah juta ton mikro plastik yanmg berasal dari serat pakaian dibuang ke laut. Angka tersebut setara dengan 50 miliar botol plastik. Hal ini jelas membahayakan kesehatan manusia karena serat mikro tidak dapat diekstraksi dan menyebar ke seluruh rantai makanan.

Peneliti mengatakan jika pola demografi dan gaya hidup berlanjut seperti sekarang, konsumsi pakaian jadi secara global akan meningkat tajam dari 62 juta metrik ton pada 2019 menjadi 102 juta ton hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Padahal, dari dalam negeri, Indonesia menargetkan untuk mencapai Net-Zero Emissions (NZE) selambat-lambatnya tahun 2060. 

Sebagai anak muda, kita punya kesempatan besar untuk mendukung keberhasilan Net-Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 mendatang dengan cara-cara menyenangkan dan kekinian. Yap... sebuah kontribusi kecil namun nyata yang dimulai dari isi lemari, mari lebih bijaksana dalam berbelanja pakaian dan sebisa mungkin beralih ke mode thrifting. Bukankah mengurangi produksi satu pakaian akan memberi arti terhadap lingkungan ? 

Sebuah survei yang melibatkan 10.000 remaja mengungkapkan fakta menarik.  Dijelaskan bahwa krisis iklim berkorelasi secara ilmiah dengan perasaan dan emosi negatif anak-anak muda, sebanyak 68% merasa sedih dan takut, 58% merasa marah, serta 51% merasa terus-terusan bersalah. Maka dari itu, beralih menggunakan pakaian tidak hanya bentuk kepedulian terhadap bumi, namun juga terhadap diri sendiri. Wah luar biasa ya ? Yuk ikut andil sekarang juga !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun