Dilihat dari kaca mata ekonomi, thrifting telah tumbuh menjadi sebuah ekosistem bisnis yang bernilai fantastis. Menurut laporan IBISWorld misalnya, industri thrifting memiliki nilai mencapai 14,4 Miliar US dolar atau sekitar 205,149 triliun rupiah. Berbagai sumber memprediksi nilai tersebut kemungkinan besar masih akan terus menanjak pasca pandemi nanti.
Aku & Thrifting, Dari Enggan Hingga Berlangganan
Studi yang dilakukan peneliti asal Chonbuk National University tentang preferensi konsumen terbaru menunjukkan bahwa kaum milenial suka berbelanja dan bangga menggunakan barang bekas. Menurutku hal ini rasional, dikarenakan anak-anak muda begitu menikmati proses mendapatkannya karena menantang, berbeda dengan membeli pakaian baru. Aku senang sekali menyaksikan euforia kawan-kawan seusiaku memamerkan kreasi Outfit of The Day (OOTD) bertema pakaian bekas di akun sosial media masing-masing.
Jika dulu pakaian bekas dipandang sebelah mata karena harganya yang murah, sebaliknya kini anak muda justru akan merasa berhasil jika mendapatkan barang dengan harga semurah mungkin. Tak jarang aku menyaksikan kawan satu tongkrongan sering adu murah barang thrift yang mereka kenakan, yang paling murah akan jadi pemenangnya, meski tanpa hadiah.
Bagaimana dengan diriku, sudah berapa lusin pakaian bekas di dalam lemari ? Eits... Jangan tanya, jawabannya nihil. Kendati pernah berkecimpung di dunia thrifting tak lantas membuatku menggilai belanja pakaian bekas. Entah mengapa aku tidak bergeming sedikitpun untuk ikut meramaikan tren yang sedang marak.
Hingga suatu hari, seorang kawan yang merupakan aktivis lingkungan memberiku perspektif baru. Diutarakannya, tren thrifting tidak hanya gaya baru dalam berbelanja kebutuhan sandang, lebih dari itu tumbuhnya tren tersebut berdampak positif terhadap lingkungan, terlebih dalam mendukung gerakan Net-Zero Emissions (NZE) yang bertujuan mengurangi produksi volume emisi karbon yang merupakan penyebab krisis iklim. Tak hanya itu, melalui NZE, diharapkan emisi yang diproduksi manusia bisa diserap secara alamiah oleh pohon, laut, dan tanah sehingga tak ada yang menguap hingga ke atmosfer.
Bagaimana Krisis Iklim Bisa Terjadi ?
Berdasarkan penjelasan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), aktivitas manusia mulai dari kegiatan pertanian & peternakan, pemakaian bahan bakar fosil, hingga kebutuhan sandang, memproduksi gas Karbon Dioksida , Metana, Nitrogen. Senyawa kimia tersebut kemudian mengubah komposisi material dari atmosfer bumi atau yang dikenal Gas Rumah Kaca (GRK).
Bukankah Gas Rumah Kaca (GRK) berfungsi menjaga suhu bumi ?
Betul sekali, Gas Rumah Kaca (GRK) pada dasarnya memang dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar tetap stabil. Namun, aktivitas manusia modern meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) dari waktu ke waktu sehingga membuat lapisan atmosfer kian tebal. Nah, penebalan lapisan atmosfer inilah yang menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer semakin banyak, sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu bumi, atau yang populer dengan istilah pemanasan global (Global Warming).
Mendengar penjelasan tersebut, aku merasa ditampar Bruce Lee, sang legenda kungfu, aduh rasanya sakit sekali. Dalam hati aku berteriak “kemana aja kamu selama ini ?” Persoalan mengenai lingkungan yang begitu esensial saja tidak mengerti.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk mengubah gaya hidup dalam berbusana dengan beralih ke pakaian bekas. Bila benar-benar membutuhkan baju untuk menghadiri acara tertentu yang memang tidak ada di lemari, aku akan mengandalkan toko online langganan yang menjual beraneka pakaian bekas dengan harga miring.