Salah satunya adalah Ibu Tati, perempuan inspiratif asal Sumatera Barat yang sudah bertahun-tahun berjibaku dalam program pengelolaan hutan untuk kesejahteraan perempuan.
Cerita Ibu Tati mengenai pengalamannya bersama ibu-ibu lainnya di kampung halaman mengembangkan berbagai produk olahan hutan demi menopang hidup sangatlah menginspirasi dan memantik kepedulian akan hutan Indonesia bagi diri ini.
Ibu Tati tidak sendirian, ternyata ada ratusan sosok Ibu Tati lainnya yang dapat Kita jumpai lewat masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat. Mereka senantiasa berada di garda terdepan melindungi hutan, karena hutan tak hanya dimaknai sebagai ekosistem namun lebih jauh, hutan merupakan simbol dari sebuah harga diri.
Sebagai Akademisi, tumbuh keingintahuan yang begitu besar mengenai peran masyarakat adat dalam menjaga hutan. Sayangnya, karena kondisi sedang tidak memungkinkan akibat pandemi, informasi kemudian Saya gali melalui studi literatur.
Berbekal laptop dan secangkir teh hangat, Saya dibuat takjub akan kearifan lokal masyarakat sekitar hutan dalam melindungi kelestarian hutan. Usut punya usut, ternyata pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan tetap diterapkan sampai saat ini.
Misalnya Pembagian kawasan dalam hutan berdasarkan fungsinya, seperti kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian, kawasan berburu dan kawasan terlarang/hutan larangan.
Masyarakat adat sangat patuh mentaati aturan tersebut, kawasan pertanian hanya digunakan untuk kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan kawasan berburu.
Kawasan terlarang biasanya tidak boleh dijamah dikarenakan adanya situs-situs sejarah dan/atau karena merupakan kawasan konservasi yang berfungsi menjaga mata air dan mencegah tanah longsor pada wilayah-wilayah berlereng saat musim hujan.
Brubuh, Kearifan Masyarakat Jawa Menjaga Hutan
Salah satu kearifan masyarakat dalam menjaga hutan yang mencuri perhatian Saya adalah Brubuh. Brubuh adalah bentuk kearifan lokal sekaligus kekayaan budaya masyarakat Jawa yang dinilai sangat relevan menjaga hutan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Melalui tradisi Brubuh, masyarakat menerapkan sistem penebangan kayu tradisional yang didasarkan atas perhitungan kalender pertanian Jawa yang sering dikenal dengan istilah pranata mangsa.
Di dalam konsep brubuh, penebangan kayu tradisonal tidak boleh dilakukan sembarang waktu, namun dilaksanakan hanya pada musim tertentu. Pranata mangsa memiliki 12 musim (mangsa). Musim yang paling baik untuk melakukan brubuh atau penebangan pohon/bambu adalah mangsa tuwa (musim tua) yang terdiri dari mangsa kasanga, kasadasa, dan dhesta. Menurut Pranata Mangsa, musim tersebut berkisar antara bulan Maret sampai pertengahan Mei.