Memaknai Rasa Syukur
"Ayo nak rajin belajar ya, supaya nanti..."Â
"Supaya nanti tidak jadi pemulung seperti Bapak itu kan bu?"
"Hus... bukan begitu"
Ibu pernah memarahiku karena giat sekolah supaya kelak tidak jadi pemulung. Itulah pikiranku saat anak-anak. Dengan tenang Ibu menjelaskan bahwa perkataanku bisa sangat menyakitkan jika terdengar oleh yang bersangkutan. Padahal Kita tidak tahu, bisa jadi mereka bangga dengan pekerjaannya yang jadi sumber penghidupan keluarga.
Penjelasan Ibu membuka mataku. Aku keliru dalam menilai pekerjaan orang lain. Kemudian Ibu menjelaskan lebih dalam mengenai konsep bersyukur yang beliau yakini. Ibu tidak suka melihat anak-anaknya mengucap syukur setelah menyaksikan kondisi orang lain yang kurang beruntung. Â
Misalnya melihat pengemis hanya makan dengan nasi dan kecap, kemudian bersyukur karena bisa makan nasi lengkap dengan ayam goreng. Atau bersyukur bisa sekolah tinggi karena melihat tetangga tidak dapat lanjut sekolah. Intinya tidak boleh bersyukur karena kondisi kita yang lebih beruntung dari orang lain.
Rasa syukur  dibangun dari hubungan Kita dengan Tuhan, tanpa perlu menengok nestapa atau nikmat orang lain. Jadi,tidak lantas menambah syukur ketika sekitar tertimpa musibah atau justru mengurangi rasa syukur karena iri melihat tetangga beli mobil baru. Syukur itu dari hati, independen, dan tidak dipengaruhi apapun"
Bertanggung Jawab Menjalani Beragam PeranÂ
Ibu berpesan bahwa manusia itu multi peran. Misalnya sebagai orang tua sekaligus pimpinan di kantor, sebagai Mahasiswa sekaligus ketua organisasi dan berbagai contoh lainnya. Setiap peran tersebut memiliki tanggung jawab yang harus ditunaikan.