Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Aku dan teman-teman satu kos berdiskusi kecil mengenai Virus Korona saat menyiapkan makan malam, maklum sebagai anak rantau, kami sering memasak untuk menghemat pengeluaran.Â
Semoga ya, virus ini tak sampai mewabah di negeri tercinta
Itulah kalimat penutup diskusi yang selalu kita aminkan bersama. Melihat gagahnya Virus Korona menggoyahkan perekonomian dan memakan korban jiwa di China, rasanya memang tak rela jika Ibu Pertiwi harus mengalami hal serupa. Tak ada harapan lain yang selalu disemogakan, selain kalimat di atas.
Yang ditakutkan lalu terjadi...
Pada 2 Maret, Pemerintah resmi mengkonfirmasi dua kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia. Sebelumnya, secara resmi WHO telah mengganti nama virus yang diduga berasal dari Wuhan tersebut dengan Corona Virus Disease 2019/Covid-19.Â
Seketika gawai dibombardir informasi terkait, grup Whatsapp keluarga hingga teman masa kecil yang sudah tidak aktif berbulan-bulan kembali ramai, begitupun portal berita juga banyak diisi informasi serupa.
Mewabahnya Fenomena Panic Buying
Ternyata melimpahnya informasi Covid-19 menyulut kepanikan dimana-mana. Kepanikan segelintir orang akhirnya terakumulasi menjadi kepanikan massal. Bahkan dapat dikatakan mewabahnya rasa panik lebih cepat meluas dibanding penyebaran virus itu sendiri.
"Ada yang membeli beras satu kwintal seolah tak ada lagi kesempatan"
"Ada yang menimbun masker untuk mendulang keuntungan"
"Ada yang memborong alkohol padahal tak terlalu membutuhkan"
"Ada yang sigap membeli APD padahal tenaga medis tengah kesulitan"
Beragam ekspresi kepanikan di atas muncul di tengah masyarakat baik di kota maupun daerah. Perilaku yang kita sebut dengan panic buying.
Apakah sebenarnya panic buying?
Secara sederhana Panic buying dapat didefinisikan persiapan yang berlebihan sebagai reaksi terhadap bencana. Panic buying bukan fenomena baru, krisis ekonomi 1998 menjadi pengingat bagaimana tindakan belanja secara berlebihan dan penarikan uang secara besar-besaran akan memengaruhi stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan bahkan memicu krisis ekonomi.
Dalam ekonomi, maraknya orang yang memburu suatu barang akan memengaruhi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi berlaku, jika permintaan tinggi sementara penawaran tidak mencukupi, maka harga barang akan semakin mahal. Kenaikan harga tentunya akan memicu penurunan daya beli masyarakat.
Dilihat dari aspek psikologis Panic buying dapat dijelaskan, menurut Dr. M. Grohol, Psy.D. yang merupakan pendiri dan editor in chief Psych Central, keinginan panic buying bisa dipengaruhi orang lain karena adanya penularan emosi. Saat pembeli pertama mengamati perilaku pembeli kedua yang menimbun bahan belanja, pembeli pertama mungkin bisa terpengaruh untuk melakukan hal serupa. Inilah sebabnya  Panic buying dapat menular ke orang lain bahkan meluas karena media sosial.
Lantas, apakah penimbun masker akhirnya mendulang untung seperti yang mereka harapkan. Jangan harap, karena panic buying sudah bisa dipastikan tak akan berujung manis. Belakangan ini, kita sama-sama menyaksikan para penimbun masker kesulitan menjual barang dagangan hingga mengobralnya dengan harga murah.
"Panic buying hanya akan mendatangkan nestapa bagi pelaku, bagi masyarakat, bagi perekonomian. Tak ada alasan  untuk melakukannya lagi. Mari belajar dari pengalaman."
Langkah Pasti Bank Indonesia di tengah Ketidakpastian
Di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian ini, BI sebagai otoritas keuangan telah melakukan berbagai langkah pasti melalui penerbitan beberapa ketentuan sebagai tindak lanjut penguatan bauran kebijakan untuk menghadapi pandemi, baik dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, maupun untuk mendukung pemulihan ekonomi. Â
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2020
BI menerbitkan ketentuan terkait pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional dan pemberian Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Syariah. Ketentuan ini sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Peraturan Anggota Dewan Gubenur Nomor 22/10/PADG/2020
Rapat Dewan Gubernur Bulanan April 2020 menghasilkan Peraturan Anggota Dewan Gubenur Nomor 22/10/PADG/2020 yang mengatur tentang penyesuaian kebijakan pengaturan Giro Wajib Minimum dengan menurunkan GWM dalam Rupiah. Kebijakan penurunan GWM rupiah tersebut merupakan bagian kebijakan quantitative easing Bank Indonesia sebagai upaya mendukung pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19.
Penyesuaian Pelaksanaan Ketentuan BI sebagai Dampak COVID-19
BI menerbitkan Peraturan Nomor 22/7/PBI/2020 tentang Penyesuaian Pelaksanaan Beberapa Ketentuan sebagai Dampak Pandemi Covid-19. Ketentuan tersebut dimaksudkan mengakomodir pemenuhan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan BI di sektor moneter, stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran di tengah penerapan kebijakan percepatan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah.
Komitmen BI dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan sudah tidak perlu diragukan. Namun, efektifitas kebijakan yang di terbitkan Bank Indonesia  tergantung kepada kita sebagai masyarakat dalam mendukung upaya  pemulihan ekonomi akibat Covid-19 tersebut.
Sebuah realitas bahwa Indonesia tidak hanya butuh pahlawan medis, tapi juga kita dengan berbagai peran ekonomi sebagai pahlawan keuangan. Tangan-tangan kita mampu wujudkan berbagai perilaku cerdas untuk turut serta jaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Lantas, apasajakah perilaku cerdas yang dapat kita lakukan?
Cerdas Tangkal Hoaks
Di era teknologi, media daring menjadi salah satu faktor penentu keputusan sehari-hari. Jika informasi yang didapat teruji kebenarannya serta positif maka betapa beruntungnya kita karena kemungkinan besar menjadi pribadi yang optimis dan bijaksana dalam membuat keputusan, begitu juga sebaliknya.
Sayangnya, dunia maya telah berubah menjadi ekosistem tumbuhnya berita bohong (hoaks). Berdasarkan Survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), sebanyak 44,30% masyarakat menyatakan menerima berita hoaks setiap hari. Bahkan 17,20% menyatakan menerima berita palsu ini lebih dari sekali sehari. Apalagi di tengah pandemi ini, berita bohong seputar Covid-19 berseliweran di layar ponsel tanpa henti.
Aku pernah dikejutkan dengan berita bohong yang mengatakan bahwa Kunyit dan Temulawak justru memicu perkembangan virus di dalam tubuh, nahasnya berita bohong tersebut terlihat nyata dan "seolah" diterbitkan oleh lembaga penelitian resmi universitas ternama. Kian hari emang informasi nyata dan berita bohong semakin sulit dibedakan.
Cara cerdas tangkal hoaks  yang dapat kita terapkan adalah selektif dalam menerima informasi. Sampai saat ini Aku mengandalkan portal lembaga resmi pemerintah maupun swasta yang sudah teruji kredibilitasnya dalam melihat perkembangan kondisi sosial ekonomi terkait Covid-19.
Selain itu, sebagai anak muda kita dapat turut serta menghentikan penyebaran  berita bohong dengan menjadi "Duta Anti Hoaks" bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Grup Whatsapp merupakan media yang sangat rentan terpapar hoaks, nah kita bisa membantu untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi,sehingga penyebaran berita sesat dapat dicegah agar tak meluas.
Cerdas dalam BerbelanjaÂ
Sudah kita pahami bersama bahwa Panic Buying hanya akan merugikan siapa saja, maka sudah saatnya membenahi pola pikir dalam berbelanja dan berganti ke Smart Buying, yaitu berbelanja sewajarnya dan rasional.
Tenang, kita tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga dengan Smart buying, bahkan dengan cerdas dalam berbelanja juga dapat menurunkan risiko buang-buang uang dan makanan.
Aku terbiasa menggunakan metode sederhana "Rencanakan, Hitung, dan Catat". Pertama rencanakan jauh-jauh hari kebutuhan keluarga secara periodik, misalnya tiap satu bulan. Kebutuhan yang dimaksud mencakup pangan (beras, buah-buahan, telur dsb), dan non pangan (tisu, produk menstruasi, popok bayi, obat-obatan dan persediaan medis), serta kebutuhan tambahan saat pandemi misalnya masker, disinfektan, dan handsanitizer.
Setelah itu, lanjutkan dengan menghitung jumlah kebutuhan tiap barang secara cermat dan rasional. Misalnya kebutuhan beras untuk satu bulan sebanyak 25 Kg, lakukan hal yang sama untuk kebutuhan lainnya secara menyeluruh. Terakhir, jangan lupa untuk membawa catatan tadi saat berbelanja di supermarket maupun pasar tradisional.
Jika metode Rencakan, Hitung kebutuhan dan Catat dilakukan secara disiplin, maka tidak hanya menghemat pengeluaran pribadi namun jugan membantu menjaga stabilitas ketersediaan dan harga pangan nasional. Â
Mari Bersama-sama menjadi Smart Buyer! Â
Cerdas Mengatur Keuangan KeluargaÂ
Hantaman Covid-19 membuat kita belajar banyak hal, salah satunya mengenai finansial. Terdampaknya sektor ekonomi mengakibatkan banyak pihak mengalami penurunan pendapatan. Kondisi ini tentunya mendorong kita untuk lebih cerdas melakukan perencanaan dan pengaturan keuangan.
Menyusun prioritas keuangan akan membantu bertahan di tengah ketidakpastian. Tentunya pos kebutuhan pokok seperti makanan, membayar tagihan bulanan adalah pengeluaran yang bersifat wajib dan memang tidak dapat banyak direvisi. Namun, sebagai gantinya kita dapat mengenyampingkan pos hiburan untuk sementara waktu, agar keuangan tetap sehat di masa pandemi.
Selain itu menyiapkan dana darurat ternyata sangat vital. Seperti namanya, dana darurat merupakan simpanan yang dapat digunakan pada kondisi mendesak misalnya saat sakit, mengalami kecelakaan, terkena PHK, serta kondisi tak terduga lainnya.
Idealnya dana darurat yang dimiliki untuk single adalah 3--6 kali lipat dari pengeluaran bulanan. Sedangkan, bagi yang sudah berumah tangga, idealnya memiliki dana darurat sebesar 12 kali lipat dari pengeluaran bulananmu. Â
Dana darurat tidak bisa dipersiapkan secara instan. Menurut Prita Ghozie, salah seorang ahli perencanaan keuangan menyarankan untuk menyisihkan 5% gaji bulanan sebagai tabungan dana darurat.Â
Mudah bukan ?
Banyak sekali pihak yang merasakan manfaat dana darurat di tengah ketidakpastian saat ini, namun juga sebaliknya tak sedikit yang kesulitan karena tidak memilikinya. Cerdas mengatur keuangan ada di tangan kita, mari sama-sama mempersiapkannya dengan baik dari sekarang.
Cerdas Mematuhi Imbauan PemerintahÂ
Perkembangan jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah, menuai kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah. Naiknya jumlah penyebaran Covid-19 kemungkinan besar dikarenakan sebagian masyarakat relatif kurang disiplin mengikuti imbauan pemerintah.
Rajin cuci tangan, mengurangi aktivitas di luar rumah, dan social distancing harus kita lakukan lebih disiplin lagi agar penyebaran virus dapat ditekan semaksimal mungkin. Tentu, kita harus percaya penanganan Covid-19 telah dilakukan oleh ahlinya. Berikan kritik dan masukan konstruktif secara bijaksana.
Kondisi ini memang tidak mudah bagi siapa saja. Mari memastikan diri berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian. Dengan berperilaku cerdas artinya kita sudah ikut andil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan selama pandemi ini. Â
"Karena satu-satunya yang boleh kita tularkan di tengah ketidakpastian adalah Perilaku cerdas"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H